HUBUNGAN ANTARA KEHIDUPAN
SOSIAL EKONOMI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA
A. Kondisi
Sosial Ekonomi
Berbicara tentang kondisi sosial ekonomi suatu
komunitas masyarakat, maka tidak terlepas dari ketersediaan beberapa sarana
perekonomian, seperti tempat perbelanjaan atau pasar, tempat pelelangan seperti
pasar ikan dan pasar ternak, transfortasi serta pendukung lainnya.
Selengkapnya Hubungai
085242472483
B. Prestasi Belajar
Prestasi belajar siswa peneliti
mengukurnya dengan menggunakan 3 indikator, yaitu prestasi belajar berupa
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Analisis distribusi responden dalam
hal prestasi belajar menunjukkan bahwa pada umumnya siswa memperoleh prestasi
belajar yang tinggi. Tingginya kategori pencapaian prestasi belajar tersebut
berdasarkan besarnya jumlah jawaban responden yang menyatakan selalu memperoleh
prestasi belajar yang tinggi, yaitu
nilai bobot rata-rata mencapai 89,30 persen. Untuk memperjelas prestasi
belajar siswa, peneliti uraikan dalam Tabel 6
Tabel 6
Prestasi Belajar siswa
Tingkat prestasi belajar
Indikator
Rata-rata
Kognitif
Afektif
Psikomotorik
F
%
F
%
F
%
F
%
Sangat tinggi
25
100,00
22
88,00
20
80,00
21
84,00
Tinggi
-
-
3
12,00
5
20,00
4
16,00
Sedang
-
-
-
-
-
-
-
-
Kurang
-
-
-
-
-
-
-
-
Sangat kurang
-
-
-
-
-
-
-
-
J u m l a h
25
100,00
25
100,00
25
100,00
25
100,00
Sumber Data: Jawaban Item Nomor 1-3,
Penelitian 2010
Selengkapnya Hubungai
085242472483
C. Hubungan antara Kondisi Sosial Ekonomi
OrangTua Siswa dengan Prestasi
Belajar Siswa
Sebelum menguraikan masalah tersebut,
terlebih dahulu pnulis membahas pengaruh kehidupan sosial ekonomi orang tua
terhadap peningkatan prestasi belajar siswa.
Untuk itu, dalam mengukur pengaruh
faktor sosial ekonomi orang tua dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa, peneliti menggunakan indikator tunggal,
yaitu faktor sosial ekonomi orang tua
dapat meningkatkan prestasi belajar.
Berdasarkan data
yang diperoleh penulis, dapat dikemukakan bahwa dengan kondisi perekonomian
masyarakat atau orang tua, maka segala kebutuhan siswa dalam hal kelengkapan
alat pelajaran seperti alat tulis menulis, buku tulis dan buku paket, serta
penunjang lainnya dapat terpenuhi, sehingga siswa belajar secara efektif dan
efisien serta berdaya guna dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
Selengkapnya Hubungai
085242472483
D. Upaya yang Dilakukan dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa
Untuk mengukur upaya
yang dilakukan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, peneliti menggunakan
dua indikator, yaitu membangkitkan minat belajar siswa dengan memenuhi
kebutuhan buku paket bagi siswa, dan mengefektifkan kegiatan pembelajaran.
1. Membangkitkan minat belajar siswa
dengan memenuhi kebutuhan buku paket bagi siswa
Berdasarkan data yang diperoleh penulis, dapat dikemukakan
bahwa dengan pengadaan buku paket oleh orang tua, maka siswa termotivasi untuk
belajar tuntas sehingga prestasinya meningkat. Untuk lebih memperjelas hal
tersebut, penulis uraikan dalam Tabel 9
Untuk menguraikan masalah tersebut, peneliti terlebih dahulu membahas
tentang arti ajaran Islam.
Ajaran berasal dari suku kata "ajar", yaitu sesuatu yang
diusahakan untuk diketahui oleh orang lain. Jadi ajar merupakan faktor yang
berasal dari luar diri manusia yang dapat "mempengaruhi perkembangan
seseorang"[1] , secara
psikologis, faktor ajar merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan jiwa manusia.
Dikemukakan oleh Willem Stern, bahwa perkembangan anak itu tidak hanya
ditentukan oleh pembawaannya semata, dan juga bukan hanya ditentukan oleh
lingkungan atau faktor
ajar saja, melainkan “Perkembangan
pribadi manusia itu dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor pembawaan dan
lingkungan, faktor dalam dan luar”[2]
Jadi yang dimaksud dengan ajaran adalah sesuatu yang diusahakan untuk
diketahui oleh orang lain. Untuk itu
Amir Daien, mengatakan bahwa ajaran dalam arti mengajar, adalah “. . .
menyerahkan atau menyampaikan ilmu pengetahuan ataupun keterampilan dan sebagainya kepada orang
lain, dengan menggunakan cara-cara tertentu, . . .”[3]
Mursal H.M.Taher,
mengemukakan bahwa anak adalah “Masa dalam periode perkembangan dari
berakhirnya masa bayi (3,0) hingga menjelang pubertas”[1]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak adalah “keturunan yang kedua, manusia
yang masih kecil”[2]
Gambaran tersebut
menunjukkan bahwa anak adalah sebahagian manusia yang usianya masih muda, yaitu
antara umur 0 – 18 tahun, yang dapat diklasifikasikan secara psychologis pada empat fase, yaitu masa vital
atau bayi, masa estetis dan masa intelektual serta masa sosial. Untuk
pembahasan secara detail tentang masalah tersebut, penulis uraikan pada poin
berikut, yaitu prospek pertumbuhan dan perkembangan anak.
Jelas bahwa anak
berarti orang kecil, orang yang masih muda usia, atau dengan kata lain manusia
yang menanjak remaja.
Oleh karena itu,
anak sebagai amanat atau titipan Allah SWT, kepada kedua orangtuanya (ayah dan
ibu), adalah sangat membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari kedua orangtuanya
tersebut, mengingat seorang anak dilahirkan di dunia ini dengan serba lemah
baik fisik maupun psikisnya.
Pertumbuhan dan
perkembangan anak, penulis uraikan dalam dua bagian berikut :
a) Menurut pandangan para ahli.
Sebagaimana
diketahui bahwa setiap manusia sejak ia dilahirkan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan menuju kesempurnaannya, yang dimotori oleh faktor kemampuan dasar
yaitu bakat atau pembawaan sebagai faktor dalam diri anak, dan mendapat
pengaruh dari faktor luar atau pengalaman dan pendidikan. Pengaruh tersebut
diakui oleh aliran Konvergensi, bahwa perkembangan pribadi manusia itu dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor “pembawaan dan faktor lingkungan, faktor dalam
dan faktor luar (indogen dan eksogen)”[3]
Dikalangan para
ahli terdapat perbedaan pendapat/pandangan berdasarkan sudut peninjauannya
masing-masing, yang dapat digolongkan pada tiga bagian, yaitu:
(1) Priodisasi berdasar pada segi biologis
Menurut
Aristoteles, menggambarkan perkembangan anak sejak ia dilahirkan sampai ia
dewasa dalam tiga periode, sebagai berikut : “0,0 – 7,0 masa anak kecil, masa
bermain, 7,0 – 14,0 masa anak, masa belajar, dan 14,0 – 21,- masa pubertas,
menuju dewasa”.[4]
Priodisasi yang
dikemukakan Aristoteles tersebut, setiap fasenya berlangsung 7 tahun, batas
antara fase pertama dan kedua ditandai dengan pergantian gigi yang berlangsung
pada umur ± 14 tahun.
(2) Priodisasi berdasar pada segi paedagogis
Menurut
H.C.Witherington mengemukakan pandangannya dari sudut paedagogis dan
psikologis, dalam enam bagian yang masing-masing berlangsung tiga tahun.
Periode tersebut, adalah :
0 – 3 tahun,
periode dengan perubahan yang tercepat,
3 – 6 tahun,
periode perkembangan psikis yang terbesar,
6 – 9 tahun,
periode imitasi sosial yang terbesar,
9 – 12 tahun,
dinamakan tingkat kedua dari individualisme,
12 – 15 tahun,
periode adolesens awal dan mulailah anak melakukan penyesuaian sosial,
15 – 18 tahun,
masa adolesens akhir, dan mulailah anak memilih kehidupan yang sebenarnya.[5]
Priodisasi yang
diuraikan di atas berlangsung tiga tahun setiap fase, pada permulaan fase
pertama, yaitu selama 6 bulan pertama berat bayi 2 kali berat ketika lahir, dan
pada akhir tahun pertama beratnya menjadi 3 kali. Selama tahun pertama seorang
bayi praktis tidak dapat berbuat apa-apa, kemudian pada tahun kedua dan ketiga
sudah mengalami perubahan yang tercepat.
Periode kedua,
pertumbuhan psikis memperlihatkan kenaikan yang lebih cepat, kesanggupan
berbicara berkembang, yang merupakan periode individualisme yang intensif, dan
cenderung mengadakan reaksi yang bertentangan dengan saran orang lain.
Periode ketiga,
anak ingin melepaskan diri dari ibu demi menggabungkan diri dengan lingkungan
hidup di sekolah. Periode ini ditandai oleh aktivitas yang seolah-olah bersifat
sungguh-sungguh, dan tampaklah bermacam-macam khayal.
Periode kelima,
anak memasuki sekolah menengah dan mengadakan penyesuaian sosial, dan pada
periode ini timbullah masalah spesialisasi menurut bakat pemilihan teman hidup
dan keamanan ekonomis, dengan kata lain mereka telah berfikir tentang tanggung
jawab sosial moral, ekonomi dan keagamaan.
(3) Priodisasi berdasar segi psychologis.
KOHNSTAM
mengemukakan periodisasi tersebut sebagai berikut:
Anak pada masa
tersebut sangat membutuhkan pengawasan dan pemeliharaan kedua orangtuanya, baik
mengenai jasmani maupun rohaninya. Aktivitas emosional dalam persatuan ibu dan
anak seperti menyusui sehingga terjalin hubungan erat dan mesra serta mempunyai
pengaruh psikologis.
(b) Masa estetis
Anak pada masa
tersebut berkembang rasa keindahannya, yakni anak berkembang terutama
menyangkut fungsi panca inderanya.
(c) Masa intelektual
Pada masa ini
anak mulai mengembangkan inteleknya dengan ditandai tiga dorongan, yaitu :
Kepercayaan pada
diri anak keluar dari rumah dan memasuki kelompok teman sebaya.
Kepercayaan akan
jasmani dalam memasuki dunia permainan dan kerja yang membutuhkan kecakapan
syaraf dan otot.
Kepercayaan akan
akal dalam memasuki dunia pengertian orang dewasa, logika, syimbolisme dan
hubungan.[7]
(d) Masa sosial
Anak pada masa
tersebut merasakan bahwa masa kaku sudah berlalu, bagi anak laki-laki dan anak
perempuan benar-benar menunjukkan jati dirinya. Perspektif kehidupannya menjadi
luas, nilai kehidupannya mulai timbul, dan pengertian mulai diperdalam dan
diperluas serta muncul rasa tanggung jawab kepriaan dan kewanitaan yang dewasa
dan mandiri, dengan kata lain telah lahir kesadaan terhadap diri sendiri.
Seorang Sosiolog
CHARLES H COOLEY, membedakan tiga fase dalam proses perkembangan kesadaran
terhadap diri tersebut, yaitu :
Pertama : si anak
mulai menyadari bahwa orang lain mempunyai suatu pandangan tentang dirinya . .
.
Kedua : si anak
mulai menyadari bahwa pandangan orang lain terhadap dirinya itu, disertai
dengan suatu penilaian . . .
Ketiga :
penilaian-penilaian yang positif itu menimbulkan pada si anak suatu perasaan .
. .[8]
Berdasarkan
uraian di atas, jelas bahwa setiap manusia atau setiap anak akan mengalami
perubahan secara teratur pada struktur organismenya menuju kesempurnaan.
b) Menurut Pandangan Islam
Sebagaimana
pandangan para ahli yang membagi periodisasi pertumbuhan dan perkembangan
manusia tersebut pada tiga macam. Oleh Islam juga mengakui adanya ketiga macam periodisasi
tersebut, mengingat bahwa setiap anak sejak ia dilahirkan, mengalami
pertumbuhan dan perkembangan menuju kesempurnaannya. Untuk itu penulis uraikan
periodisasi tersebut sebagai berikut :
(1) Periodisasi berdasar pada segi biologis
Dalam menjelaskan
masalah tersebut, penulis mengemukakan firman Allah SWT, dalam al-Quran surat
al-Mukmin ayat 67, yang berbunyi :
Dia-lah yang
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian
(dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan
sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang
ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)[9]
Ayat tersebut
menunjukkan fase-fase pertumbuhan dan perkembangan manusia secaa biologis yang
berlangsung : (a) Masa dalam kandungan atau masa embrio, yaitu mulai saat
terjadinya union antara sperma pria dan ovum perempuan, kemudian segumpal darah
dan segumpal daging, (b) Masa kanak-kanak, yaitu sejak anak dilahirkan atau
masa vital (bayi) sampai masa bermain, (c) Masa remaja, yaitu masa peralihan
dari masa anak-anak ke masa remaja, (d) Masa dewasa atau masa tua, yaitu batas
puncak pertumbuhan jasmani sehingga menurun pertumbuhan tersebut, dan (e) Masa
meninggal dunia
Memperhatikan
keterangan-keterangan tersebut, jelas bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak
secara biologis berlangsung pada fase dalam kandungan ibu dan fase masa
kanak-kanak.
(2) Periodisasi berdasar pada segi paedagogis.
Untuk menguraikan
masalah tersebut, penulis bertitik tolak dari keterangan nash sebagai berikut :
(a) Sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan
Imam Ahmad dari Samurah RA, yang berbunyi :
Artinya : Perintahkanlah anak-anak kamu untuk
melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pertegaslah mereka, jika
umurnya telah sampai sepuluh tahun, dan berpisah tempat tidurlah.
(c) Firman Allah SWT, dalam al-Quran surat
al-A’raf ayat 172, yang berbunyi :
Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu ?”. Mereka menjawab : Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi . . .[12]
Keterangan-keterangan
yang bersumber dari nash al-Quran dan hadits tersebut menunjukkan adanya
pertumbuhan secara paedagogis, yang dapat dibagi sebagai berikut :
Fase dalam
kandungan ibu, sebagaimana tertuang dalam ayat 172 surat al-A’raf tersebut,
dalam hal ini terjadi pertumbuhan naluri/indogen yang kelak akan dibawa ketika
lahir menuju pertumbuhan seluruh perwatakannya dengan bantuan faktor
lingkungan/eksogen sehingga sempurna.
Fase dalam umur 0
– 6 tahun, adalah masa pendidikan secara dressur terhadap hal-hal yang baik.
Justeru itu, untuk menjaga kesucian jasmani dan rohani anak, maka ia
diaqiqahkan, digunting rambutnya serta diberi nama, sebagaimana yang dimaksud
oleh hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad tersebut.
Fase untuk
menenangkan seksual anak, yaitu orangtua berpisah tempat tidur dengan anak,
mengingat pada masa tersebut, anak mempunyai watak dan kecenderungan untuk
meniru perbuatan orang lain, terutama perbuatan kedua orangtuanya. Fase
tersebut berlangsung sejak berumur 11 tahun dan seterusnya.
(3) Periodisasi berdasar pada segi psikologis
Seorang Sarjana
Islam : Ali Fikri, berpendapat bahwa perkembangan anak secara psikologis dibagi
sebagai berikut :
Masa kanak-kanak,
adalah sejak anak itu lahir sampai umur 7 tahun . . .
Masa berbicara,
mulai umur 8 tahun sampai tahun ke 14. Masa ini disebut periode cita-cita.
Masa aqil baligh,
dari umur 15 sampai umur 21 tahun . . .[13]
Dengan
keterangan-keterangan pada pembahasan terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa
setiap anak sejak ia lahir telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan menuju
kesempurnaannya, baik yang bersifat secara biologis, paedagogis, maupun
psikologis, baik menurut pandangan para ahli maupun pandangan agama Islam.
2) Pertumbuhan
dan perkembangan agama pada anak
Sebagaimana diketahui bahwa setiap
manusia lahir dengan bakat relegiusitasnya yang merupakan faktor dasar, namun
harus memperoleh bimbingan dan pimpinan dari luar diri anak atau dari faktor
ajar, sehingga ia mencapai tingkat kesempurnaan dan kecerdasan untuk memahami
hal-hal yang gaib atau abstrak. Jadi sebaiknya pendidikan agama bagi anak-anak
bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya, yaitu sejak
lahir, bahkan sejak dalam kandungan ibu, sebagaimana yang diuraikan oleh
Casimir, bahwa anak dalam kandungan ibunya dapat dididik beragama, dengan
“memberi suasana keagamaan dalam bentuk membaca ayat-ayat suci al Quran (surat
Yusuf, surat Yasin, dan lain-lain”[14],
kemudian anak setelah lahir, ia diadzankan pada telinga kanan atau sisi
kanannya dan diiqamahkan pada telinga kiri atau sisi kirinya, sebagaimana yang
dianjurkan oleh hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ya’la
dari Hasan Bin Ali, yang berbunyi :
Artinya : Barangsiapa lahir baginya
seorang anak, maka hendaklah ia membacakan adzan pada telinga sebelah kanannya
dan membacakan iqamah pada telinga sebelah kirinya.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa
faktor ajar atau faktor eksogen memberi andil yang sangat utama dalam
pembentukan faktor dasar/indogen. Justeru itu perkembangan agama pada anak
sangat bergantung kepada penghayatan orangtua dan keluarga terhadap ajaran
agama. Artinya, bahwa anak tidak mengalami perkembangan agama seperti yang
dianjurkan oleh orangtuanya melainkan menurut orangtua atau keluarga itu
sendiri berbuat/beramal atau mengamalkan ajaran agama, mengingat bahwa anak
menerima pembinaan atau bimbingan dan pendidikan adalah secara percontohan dan
pembiasaan, selain itu pemikiran anak hanya bersifat konkrit. Dalam menanamkan
keyakinan kepada Allah SWT, maka anak sebaiknya diajak berdoa dengan sesuatu
yang bersifat abstrak, seperti keselamatan, ketenteraman, kekuatan,
kebahagiaan, dan lain-lain. Sebaliknya jangan diajak memohon kepada Allah SWT,
tentang hal-hal yang konkrit, sebab bila tidak terwujud, maka akan memberi
kesempatan kepada anak untuk berfikir bahwa Tuhan tidak mampu memberi sesuatu
yang dibutuhkan.
Bertitik tolak dari uraian tersebut,
dapat dipahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan agama pada anak adalah
dimulai sejak lahir, hanya saja membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari
orangtua dan lingkungan sekitarnya.
Oleh orientalis barat berbeda
pandangan dengan keterangan di atas, seperti Rumke, beranggapan bahwa
kepercayaan anak terhadap Tuhan “baru tumbuh dengan leluasa setelah rasa ikatan
anak bapak terlepaskan, dan rasa keagamaan baru timbul pada anak dalam masa
pubertas”[16].
Selanjutnya Alfert Binet, seorang psikolog berkebangsaan Perancis, mengatakan
bahwa “. . . kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang abstrak, tidak
sempurna perkembangannya sebelum mencapai usia 12 tahun . . .”[17]
Keterangan di ats menunjukkan bahwa
ditinjau dari tingkat kecerdasan anak, maka belum dapat memahami hal-hal yang
abstrak, namun berdasarkan potensi dasar atau naluri beragama yang dibawa sejak
lahir yang didukung oleh bantuan faktor luar diri anak yaitu orangtua dan
keluarga, maka setiap anak secara dini dapat menerima, memahami dan menghayati
hal-hal yang abstrak.