Sabtu, 18 September 2010

Guru Pendidikan Agama Islam


Dalam kegiatan proses belajar mengajar sehari-hari di kelas, diajarkan beberapa mata pelajaran dengan mengacu kepada Struktur Pengajaran yang ditetapkan dalam Kurikulum, termasuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, sehubungan dengan hal tersebut, diantara beberapa orang guru yang bertugas pada salah satu satuan pendidikan, terdapat guru yang diangkat khusus untuk mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Untuk menguraikan secara detail tentang pengertian Guru Agama Islam tersebut, penulis terlebih dahulu akan membahas secara terpisah dan terperinci mengenai arti Guru dan Agama Islam.
1) Arti guru.
Mengenai istilah guru terdapat beberapa argumentasi para ahli. Supeno menyebutkan bahwa kata guru berarti “panutan, dapat ditiru atau dijadikan teladan”[1] Dengan demikian secara umum  “guru” dapat diartikan sebagai orang yang dalam tutur kata, gerak-gerik dan perbuatannya bisa dianut dan dijadikan teladan oleh masyarakat umum.
Roestiyah berpendapat bahwa dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai :
Seseorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Pendapat lain mengatakan bahwa “teacher is a person who causes a person to knowledge or skill” atau minimal dapat diartikan bahwa guru adalah seseorang yang menyebabkan orang lain mengetahui atau mampu melaksanakan sesuatu atau yang memberikan pengetahuan atau keterampilan kepada orang lain. [2]

Dengan demikian guru pada dasarnya adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dengan tugas utama mengajar. Jadi jabatan atau pekerjaan guru adalah pekerjaan yang bersifat profesional, artinya pekerjaan yang hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan karena tidak dapat atau tidak memperoleh pekerjaan lainnya.
Mursal H.M.Taher, mengemukakan bahwa guru adalah “. . . yang mengasuh dan memberikan mata pelajaran khusus yang dikuasainya”[3]
Jelas dipahami bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain, atau guru adalah seorang yang menyebabkan orang lain mengetahui atau mampu melaksankan sesuatu atau yang memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain..
2) Arti agama.
Hasbi as Siddieqy, mengemukakan bahwa agama adalah :
Suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntut para ummat yang berakal kuat yang suka tunduk dan patuh kepada kebaikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia, kejayaan dan kesentausaan akhirat . . .[4]

Agama adalah ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt., dan mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk sehingga memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat.
Mustafa Assiba’i, mengemukakan bahwa agama adalah :
Satu peraturan (Nidzam) yang meliputi masalah masalah kepercayaan (aqidah) adan ibadah yang menghubungkan ikatan segenap ummat manusia antara satu dengan yang lain, dan mempersatukan pemeluknya, sehingga menjadi satu ummat yang dijiwai oleh kesatuan rohani.[5]

Berdasarkan pengertian di atas, jelas bahwa agama adalah amanah yang ditetapkan oleh Allah swt, kepada manusia, guna memperoleh kebahagiaan dan kesejahtraan dunia dan akhirat kelak.
Dengan demikian pengertian guru agama Islam adalah seorang perencana dan pelaksana pelajaran agama kepada peserta didik agar dapat diketahui sekaligus diamalkan dalam kehidupannya.
Guru agama Islam adalah Guru yang mengajarkan materi bidang studi agama (Islam) pada sekolah-sekolah “. . . diangkat oleh Departemen Agama sesuai dengan Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama”.[6]
Pada hakikatnya dipahami bahwa guru Agama Islam, adalah :
Agen pembaharuan, dalam arti menjembati pengetahuan Islam generasi lalu dengan generasi sekarang, Pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat, Fasilitator memungkinkan tercapainya kondisi yang baik bagi subyek didik untuk belajar, Bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa dan bertanggung jawab secara profesional untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya, serta Menunjang tinggi kode etik profesional.[7]

Dari keterangan-keterangan di atas, penulis berkesimpulan bahwa guru Pendidikan Agama Islam adalah orang dewasa jasmani dan rohani yang dibebani tugas untuk mengarahkan peserta didik sehingga dapat menghayati sekaligus mengamalkan ajaran agama Islam.
3) Syarat menjadi GPAI
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan agama Islam merupakan suatu usaha untuk memanusiawikan manusia dalam arti membentuk kepribadiannya sehingga menjadi pribadi muslim yang senantiasa mengamalkan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya, guru yang mengemban tugas untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut, harus profesional dan memiliki kepribadian yang terpui. Untuk itu, dalam mengemukakan syarat-syarat menjadi guru Pendidikan Agama Islam, penulis uraikan dalam dua bagian, yaitu :
a) Syarat profesional.
Yaitu calon guru Pendidikan Agama Islam harus berijazah tarbiyah. Dalam hal ini calon GPAI tersebut memiliki disiplin ilmu tertentu sesuai yang akan diajarkan kepada peserta didik, sebagaimana yang disahkan dan diakui  atau dinyatakan berdasarkan kualifikasi ijazah yang dimilikinya.
b) Syarat Kepribadian.
Menurut Mohd. Atiyah al Abrosyi, syarat kepribadian yang penting dimiliki oleh seorang guru pendidikan agama Islam, adalah :
1) Zuhud, yaitu mengajar dengan maksud mencari keridhaan Tuhan.
2) Kebersihan yaitu kebersihan lahir dan batin.
3) Ikhlas dalam pekerjaan, yaitu sesuai kata dengan perbuatan, serta berterus terang.
4) Pemaaf, yaitu sanggup menahan diri dari kemarahan, lapang hati dan sabar.
5) Seorang guru merupakan seorang bapak, dalam hal ini guru menempatkan murid-murtidnya sebagai anak kandung sendiri.
6) Mengetahui tabiat murid, yaitu tentang pembawaan adat kebiasaan, serta tingkat kecerdasannya.
7) Menguasai mata pelajaran.[8]

Memperhatikan syarat kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang calon GPAI, sebagaimana yang dikemuka-kan di atas, dapat dipahami bahwa guru Pendidikan Agama Islam merupakan seorang yang memiliki sikap mental  terpuji dan patut ditauladani baik oleh peserta  didik maupun  oleh masyarakat pada umumnya.
Syarat lain yang harus dimiliki atau dipenuhi oleh seorang calon guru Pendidikan Agama Islam, adalah sehat jasmani dan rohani.
a) Sehat jasmani.
 Setiap calon guru pendidikan agama islam, harus sehat jasmani, yang dinyatakan dengan tanda bukti dari yang berwenang, bahwa yang bersangkutan :
1) Tidak menderita penyakit menahun (kronis) dan atau menular,
2)         Tidak  memiliki cacat  tubuh  yang  dapat menghambat pelaksanaan tugas sebagai pendidik.[9]
b) Sehat rohani.
Yaitu bahwa calon guru Pendidikan Agama Islam ter-sebut tidak mempunyai kelainan rohani, misalnya sakit ayan dan sebagainya.
Jadi jelas bahwa seorang calon guru Pendidikan Agama Islam harus memenuhi beberapa syarat untuk dapat diangkat sebaga tenaga pengajar  pada  mata pelajaran tersebut, baik menyangkut persyaratan formal atau profesional, maupun persyaratan yang menyangkut kepribadian dan kesehatan jasmani dan rohani.

b. Pengertian pendidikan agama Islam
Omar Mohammad al Toumi al Syaibany, mengatakan bahwa pendidikan adalah “. . . usaha yang dicurahkan untuk menolong insan menyingkap dan menemui rahasia alam, memupuk bakat dan persediaan semula jadinya, mengarahkan kecenderungannya, . . .”[10]
Konsep di atas asumsi dasarnya adalah hakikat pendidikan ditentukan oleh hakikat manusianya atau antropologi metafisikanya, dalam hal ini manusia dipandang sebagai homosapiens yaitu sejenis makhluk yang dapat berpikir dan mampu berilmu pengetahuan. Jadi pada hakikatnya setiap manusia memperoleh hak untuk berpikir guna mencari kebenaran mutlak atau kebenaran yang hakiki sebagaimana kemampuan berpikir dan menganalisa sesuatu.
Ki Hajar Dewantara, mengemukakan bahwa pendidikan adalah  “Menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik kita supaya menjadi manusia beradab dan susila”[11]
Konsep tersebut meninjau proses pendidikan dari sudut internal dalam diri manusia/anak, sehingga lebih mengarah kepeninjauan tentang hakikat psikologis.
Oleh pakar sosiologis memberi definisi mengenai pendidikan dengan argumentasinya bahwa “education in the proces by which the individual is thought loyalty in conpromity to the group and to social institutions[12]
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang mana individual dibina agar menjadi loyal serta setia dan menyesuaikan diri pada kelompok atau lembaga sosial.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk mengarahkan manusia sehingga mencapai cita-cita yang diinginkan, yaitu terwujudnya kepribadian yang utuh, baik jasmani maupun rohani. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan adalah “suatu usaha memanusiawikan seseorang, yaitu suatu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya”[13]
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang tanpa akhir (Education is the process without end). Dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (daya intelektual) maupun daya emosional (perasaan) yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Karena John Dewey berfaham behaviorisme, dimana pengaruh pendidikan “dipandang dapat membentuk manusia menjadi apa saja yang diinginkan oleh pendidik”.[14] Maka istilah pembentukan ciri khas yang menunjukkan kekuasaan pendidik terhadap anak didik.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”[15]
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan terhadap anak sehingga dapat melaksanakan peranan serta tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Jadi secara sederhana dapat dipahami bahwa pendidikan agama islam adalah proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap anak sehingga menjadi orang Islam yang mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai orang Islam..
Untuk memahami lebih lanjut tentang pengertian pendidikan agama Islam, perlu dianalisis pengertian Islam, bahwa kata Islam mempunyai konotasi dan diartikan sebagai agama Allah, atau agama yang berasal dari Allah. Agama artinya “jalan, agama Allah berarti agama atau ajaran yang bersumber dari Allah”[16]  maksudnya bahwa agama adalah jalan hidup yang ditetapkan oleh Allah bagi manusia menuju dan kepada-Nya. Jadi agama Islam sebagai agama Allah adalah jalan hidup yang ditetapkan oleh Allah yang harus dilalui oleh manusia, untuk kembali kepada-Nya.
Secara etimologis, Islam memiliki pengertian, antara lain (1) berasal dari kata kerja (fi’il) aslama yang berarti “menyerahkan diri, menyelematkan diri, taat, patuh dan tunduk”, (2) berasal dari kata salima yang pengertian dasarnya “selamat, sejahtera, sentosa, bersih, dan bebas dari cacat dan cela”, (3) juga berasal dari kata dasar salam yang berarti “damai, aman dan tenteram”.[17]
Dengan demikian, pada hakikatnya pendidikan agama Islam adalah bimbingan dari al Quran agar manusia mampu hidup dan berkehidupan (berbudaya dan berperadaban) serta mampu melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi ini.
Dalam konferensi dunia tentang pendidikan Islam (World Conference on Islamic Education) yang pertama di Mekkah Tahun 1977, memberikan rekomendasi tentang pengertian pendidikan agama Islam sebagai berikut :
The meaning of education in its totality in the context of Islam is inherent ini the connotations of the terms conveys concerning man and his society and environment in relation to God is related to the other, and together they represent the scope of education in Islam. Both formal and non formal.[18]

Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt secara vertical dan mengatur hubungan dengan sesama manusia secara horizontal.
Konfrensi tersebut telah merekomendasikan tentang pengertian pendidikan Islam dalam arti dan ruang lingkup yang luas, yang mencakup di dalamnya secara terpadu konsep-konsep tarbiyah, taklim dan ta’dib. Namun dalam pemakaian kata sebagai istilah baku yang lebih tepat untuk menyatakan konsep pendidikan Islam ini, para ahli dari peserta konperensi berbeda pendapat. Sebagian ahli menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah yang paling tepat untuk digunakan dalam menggambarkan secara utuh tentang konsep pendidikan menurut ajaran Islam, karena pada hakekatnya pendidikan Islam itu tidak lain adalah “menanamkan adab dan budi pekerti serta perilaku sopan ke dalam setiap pribadi muslim, yang akhirnya akan menumbuh kembangkan peradaban Islam”.[19]
Sementara itu sebagian ahli lainnya berpendapat bahwa istilah taklim, yang merujuk pada pengajaran dan penanaman ilmu dan pengetahuan, merupakan istilah yang paling tepat untuk menyatakan konsep pendidikan Islam. Pemakaian istilah ini berdasarkan pandangan bahwa hakekat pendidikan Islam itu tidak lain adalah pengajaran dan penanaman ilmu dan pengetahuan ini kedalam diri setiap peribadi muslim, sehingga bertumbuh kembang ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek dan cabangnya di dunia Islam.[20]
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai penggunaan dan pemilihan istilah yang dianggap baku tersebut, ketiga istilah (tabiyah, taklim, dan ta’dib) akan dianalisis pengertian dasar dan kandungan maknanya, sebagai berikut :
Secara etimologis, kata tarbiyah berasal dari kata :
1.      rabaa – yarbuw” yang berarti : tumbuh dan bertambah atau berkembang.
2.      rabiya yarbaa” yang berarti : tumbuh dan menjadi besar atau menjadi dewasa.
3.      rabba yarubbu” yang berarti : memperbaiki, mengatur, mengurus, mendidik.[21]

Dengan demikian, istilah tarbiyah yang ekwivalen dengan istilah pendidikan, mempunyai pengertian sebagai usaha atau proses untuk menumbuhkembangkan potensi pembawaan atau fitrah anak secara berangsur-angsur dan bertahap sampai mencapai tingkat kesempurnaan serta kedewasaannya dan mampu melaksanakan fungsi dan tugas-tugas hidup dengan sebaik-baiknya.
Adapun istilah taklim yang biasa diterjemahkan dengan pengajaran, berasal dari kata dan makna dasar sebagai berikut :
1.      berasal dari kata dasar “alama – ya’lamu” yang berarti mengecap atau memberi tanda.
2.      berasal dari kata dasar “alima – ya’lamu” yang berarti mengerti atau memberi tanda.[22]

Dengan demikian, istilah taklim mempunyai pengertian sebagai usaha untuk menjadikan seseorang anak mengenal tanda-tanda yang membedakan sesuatu dengan lainnya, dan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang sesuatu. Kata taklim tersebut mempunyai konotasi khusus dan merujuk kepada ilmu, sehingga konsep taklim itu mempunyai pengertian usaha menjadikan seseorang berilmu.
Al Jurjani mengemukakan batasan ilmu sebagai berikut :
1.      Ilmu adalah kesimpulan yang pasti yang sesuai dengan keadaan sesuatu
2.      Ilmu adalah menetapnya ide (gambaran) tentang sesuatu dalam jiwa atau akal seseorang.
3.      Ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakikat sesuatu.[23]

Jadi konsep taklim mengandung pengertian sebagai usaha untuk mendorong dan menggerakkan daya jiwa atau akal seseorang untuk belajar (menuntut ilmu agar sampai pada kesimpulan, ide dan hakekat yang sebenarnya tentang sesuatu.
Sedangkan istilah ta’dib yang biasa diterjemahkan dengan pelatihan atau pembiasaan, mempunyai kata dan makna dasar sebagai berikut :
1.      aduba – ya’dubu” yang berarti melatih dan mendisiplin diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
2.      adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan, juga berarti berbuat dan berperilaku sopan
3.      addaba” sebagai bentuk kata kerja dari kata “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, dan memberi tindakan.[24]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ta’dib dalam pendidikan Islam mengandung pengertian sebagai usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak terdorong dan tergerak jiwanya untuk berperilaku dan beradab atau sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan keterangan tersebut, jelas bahwa makna pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk membelajarkan siterdidik, serta membimbing dan melatih atau membiasakan kepada perilaku yang baik dan terpuji.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa, pendidikan agama Islam lebih menitikberatkan pada keseimbangan dan keserasian perkembangan hidup manusia.
Omar Muhammad al Toumy, yang dikutif Arifin, mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam, adalah :
…usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan. Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam.[25]

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan merupakan usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di alam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai Islami, yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma syariah dan akhlak al karimah.
Istilah membimbing, mengarahkan dan mengasuh serta mengajarkan atau melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan yaitu menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berkepribadian dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.
Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang di dalam dirinya diberi kelengkapan-kelengkapan psikologi dan fisik yang memiliki kecenderungan kearah yang baik dan buruk.
Tanpa melalui suatu proses kependidikan. Manusia dapat menjadi makhluk yang serba diliputi oleh doronya nafsu jahat, ingkar dan kafir terhadap Tuhannya. Hanya dengan melalui proses pendidikan manusia akan dapat dimasukkan sebagai hamba Tuhan yang mampu menaati ajaran agamanya dengan penyerahan secara total sesuai ucapan dalam sholat:
Pendidikan agama Islam adalah proses mengarahkan manusia kepada kehidupannya yang baik dan mengangkat derajat kemanusiannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar). Pendapat ini didasarkan atas firman Allah dalam surat an Nahl, 78 sebagai berikut:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Terjemahnya :
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[26]

Dengan demikian, pendidikan agama Islam memberikan kesempatakan kepada keterbukaan terhadap pengaruh dari luar dan perkembangan dari dalam diri anak didik, kemudian barulah fitrah itu diberi hak untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak.



[1] Supeno, Hadi, Potret Guru, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), 124.


[2] Roestiyah, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Jakarta : Bina Aksara, 1986), h. 73

[3]H.Mursal H.M.Taher, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, (Bandung: Alma’ arif 1981), h. 59

[4]TM Hasbi as Siddieqy, Al Islam, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 27

[5]Mustafa Assiba’i, Sekularisme, diterjemahkan oleh : Muammal Hamidy, dengan judul : “Agama dan Negara”, (t.tp: Media Da’wah, 1403H/1983M), h. 7

[6]Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama pada SMTP, (Jakarta: Proyek Pembinaan Pendidikan Agama pada Sekolah Umum, 1985/1986), h. 36 - 37


[7]“Lihat” Depdikbud RI,  Bahan Dasar Peningkatan Wawasan kependidikan Guru Agama Islam SLTA, (Jakarta : Dikdasmen, 1995), h. 98


[8]Mohd Atiyah al Abrasy, Attarbiyyah al Islamiyyah, (Beirut : Dar al ‘Ilm, t.th), h. 137-139


[9] Depdikbud RI, Bahan Dasar … Op Cit., h. 99

[10]Omar Mohammad al Toumi al Syaibani, Falsafatut Tarbiyyah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh : Hasan Langgulung, dengan judul : “Falsafah Pendidikan Islam” (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 101.

[11]Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Proyek Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, 1985), h. 77

[12]Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, t.th), h. 135

[13]M.Natsir, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang,  1973), h. 82

[14]Lihat H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 12 - 13

[15]Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Tp, t.th), h. 9

[16]Sidi Gazalba, Azas agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 33

[17]Endang Saifullah Anshari, Kuliah Islam, (Bandung : Pustaka, 1987), h. 52 
[18]Muhammad al Naquib al Attas, Aims and Objectives of Islamic education, (Jeddah: King Abdul Azis University, 1978), h. 157

[19]S.Muhammad al Naquib al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung : Mizan, 1984), h.10

[20]Abdul Fattah Jalal, Min al Ushul al Tarbiyyah fi al Islam, (Kairo : al Markaz al Dauli li al ta’lim, 1988), h. 17

[21]Abdurrahman al Nahlawi, Ushul al Tarbiyah al Islamiyah wa a salibuha, (Dimsyaq Sirya : Dar el Fikr, 1988), h. 12 - 13

[22] al Jurjani, at Ta’rifat, (Tunisia, Dar el Tunisia, t.th), h. 82

[23]Ibid.

[24]Kamus Bahasa Arab, Mu’jam al Washith, (Jakarta: Mathba’ Angkasa, t.th), h. 9

[25]Lihat Arifin, Op Cit, h. 14

[26]Departemen Agama, RI, Op Cit, h.  413

Tidak ada komentar:

Posting Komentar