Rabu, 24 November 2010

Nurhawaisa: catatan kaki

Imam Bukhary, Shohih Bukhary, Juz 1 (Beirut : Dar Ibn Katsir al Yamamah, 2007), h. 280 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz VI, (Mesir : Muhammad Ali Shobih, t.th), h. 8. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta : Tp, 2003), h. 6 - 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 735 Ibid., h. 803 Zakiah Darajat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 27 Abu Ahmadi, Kamus Pintar Agama Islam, (Solo: Aneka Ilmu, T.Th), h. 109 BKPRMI, Buku Saku dan Brosur, (Jakarta: Yayasan Penerbit, 2003), h. 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h 58 Ibid., h. 772 M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya : Usaha Nasional, 2001), h. 23 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al Quran, 2003), h. 847 Lihat, Zakiah Darajat, op. cit, h. 13 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 102 Sudjana, Metode Statistika, (Bandung: Tarsito, 2002), h. 5 Sutrisno Hadi, Metodologi Research,, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit UGM, 2006), h. 225 Sumanto, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Sinar Baru, 2000), h. 23 Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiyah, (Bandung: Sinar Baru,2008), h, 72-73

Nurhawaisa: catatan kaki

Imam Bukhary, Shohih Bukhary, Juz 1 (Beirut : Dar Ibn Katsir al Yamamah, 2007), h. 280 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz VI, (Mesir : Muhammad Ali Shobih, t.th), h. 8. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta : Tp, 2003), h. 6 - 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 735 Ibid., h. 803 Zakiah Darajat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 27 Abu Ahmadi, Kamus Pintar Agama Islam, (Solo: Aneka Ilmu, T.Th), h. 109 BKPRMI, Buku Saku dan Brosur, (Jakarta: Yayasan Penerbit, 2003), h. 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h 58 Ibid., h. 772 M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya : Usaha Nasional, 2001), h. 23 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al Quran, 2003), h. 847 Lihat, Zakiah Darajat, op. cit, h. 13 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 102 Sudjana, Metode Statistika, (Bandung: Tarsito, 2002), h. 5 Sutrisno Hadi, Metodologi Research,, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit UGM, 2006), h. 225 Sumanto, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Sinar Baru, 2000), h. 23 Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiyah, (Bandung: Sinar Baru,2008), h, 72-73

Rabu, 17 November 2010

Risqa

SKRIPSI MENGEMBANGKAN PERILAKU SOSIAL MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI TAMAN KANAK-KANAK PERTIWI PINRANG RISQA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2010 MENGEMBANGKAN PERILAKU SOSIAL MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI TAMAN KANAK-KANAK PERTIWI PINRANG SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh: RISQA NIM. 074 924 411 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2010 PERSETUJUAN PEMBIMBINA Skripsi dengan judul “Mengembangkan Perilaku Sosial Melalui Bermain Peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang” Atas Nama : Nma : Risqa Nomor Induk Mahasiswa : 074 924 411 Jurusan / Prodi : PGAUD Fakultas : Ilmu Pendidikan Setelah diperiksa dan diteliti, telah memenuhi syarat untuk diujikan Makassar, …………………2010 Pembimbing I, Pembimbing II, Dra. Sumartini, M.Pd Muhammad Akil Musi, S.Pd., M.Pd. Nip. 19491228 197803 2 002 Nip. 19752404 200604 1 001 Disahkan : Ketua Jurusan/Prodi PGAUD, Dra. Hj. Bulkis Said, M.Si Nip. 19500911 197903 2 001 PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI Skripsi diterima oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar dengan SK Dekan No. …/J38.I.3.1/PP/2010 Tanggal ………….2010 untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini pada hari ………. Tanggal……..2010. Disahkan Oleh Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Drs. Ismail Tolla, M.Pd. Nip. 19531230 198003 1 005 Panitia Ujian: 1. Ketua : (………………………...) 2. Sekertaris : (………………………...) 3. Pembimbing I : Dra. Sumartini, M.Pd. (………………………...) 4. Pembimbing II : Muhammad Akil Musi, S.Pd, M.Pd (………………………...) 5. Penguji I : (………………………...) 6. Penguji II : (………………………...)   PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : RISQA Nomor Induk Mahasiswa : 074 924 411 Jurusan / Prodi : Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Judul Skripsi : ”Mengembangkan Perilaku Sosial Melalui Merode Bermain Peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang” Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan pengambilan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran sendiri. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Parepare, 01 September 2010 Yang Membuat Pernyataan RISQA NIM. 074 924 411   MOTTO Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah Hidup adalah sebuah lagu, maka nyanyikanlah Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah Hidup adalah sebuah permainan, maka permainkanlah Hidup adalah cinta, maka nikmatilah Tidak ada rahasia iuntuk menggapai sukses Sukses itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras dan mau belajar dari Kegagalan (Hukuman) PERSEMBAHAN : Kupersembahkan skripsi ini untuk : 1. Keluarga tercinta Bapak, Ibu, Suami, dan Adik yang selalu memberi dukungan dan semangat. 2. Teman-temanku seangkatan tahun 2007 yang telah memberi dukungan moril maupun spiritual   KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan susunan skripsi dengan judul “Mengembangkan Perilaku Sosial Melalui Metode Bermain Peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang” Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagai syarat dalam menyelesaikan program Studi Strata 1 Jurusan Pendidikan Guru Anak Usia Dini pada Fakultas Ilmu Pendidikan Unifersitas Negeri Makassar Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Ibu Dra. Hj. Bulkis Said, M. Si selaku Ketua Jurusan/Prodi PGAUD Unuversitas Negeri Makassar 2. Ibu Dra. Sumartini, M.Pd. selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Muhammad Akil Musi, S.Pd., M.Pd. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Dan Ibu Dosen Jurusan/Prodi Jurusan PGAUD yang telah membari bekal kepada peneliti dalam penyusunan skripsi 5. Kepala Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang yang telah memberi dorongan dan semangat serta mengijinkan peneliti mengadakan penelitian di TK Petiwi Pinrang. 6. Bapak dan Ibu serta keluarga tercinta yang telah memberikan bimbingan, dorongan serta do’a restu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman-teman PGAUD angkatan 2007 dan saudara seperjuanganku yang telah memberi semangat, motivasi dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini Kami menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari kemajuan bersama. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya pembaca. Penulis, RISQA NIM. 074 924 411 DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii HALAMAN PENGESAHAN iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI iv KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii ABSTRAK ix BAB I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belaang Masalah 1 B. Fokus Masalah 4 C. Tujuan Penelitian 4 D. Manfaat Penelitian 5 BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 6 A. Kajian Pustaka 6 1. Perilaku Sosial 6 2. Bermain Peran 11 B. Kerangka Pikir 16 BAB III. METODE PENELITIAN 18 A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 18 B. Fokus Penelitian 18 C. Deskripswi Lokasi Penelitian 19 D. Unit Analisis 19 E. Teknik Pengumpulan Data 20 F. Anilisis dan Validasi Data 21 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 22 A. Hasil Penelitian 22 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 22 2. Mengembangkan perilaku Sosial Melalui Metode Bermain Peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang 24 B. Pembahasan 32 BAB V. PENUTUP 35 A. Kesimpulan 35 B. Saran-Saran 36 DAFTAR PUSTAKA 37 LAMPIRAN 38 ABSTRAK Risqa, 2010. Mengembangkan Perilaku Sosial Melalui Metode Bermain Peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang. Skripsi. Dibimbing oleh Sumarti dan Muhammad Akil Musi. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peningkatan perilaku sosial anak melalui metode bermain peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang menjadikan 9 orang guru Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang sebagai unit analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi terhadap aktivitas belajar anak dalam kaitannya dengan penerapan metode bermain peran, serta teknik wawancara terhadap 9 orang guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan perilaku sosial melalui metode bermain peran di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang adalah bahwa peningkatan perilaku sosial anak di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Pinrang adalahbahwa setiap anak senantiasa memberikan pujian terhadap keberhasilan orang lain dan kepada orang yang telah memberi pertolongan dan bantuan kepadanya. Anak dapat mengemukakan keluhannya pada teman curhatnya, serta menyatakan penolakan terhadap sesuatu yang tidak disetujuinya. Selain itu, anak saling bertukar pengalaman dan memberi tahu kepada teman apa yang diketahuinya, serta anak senantiasa memberi saran untuk kepentingan bersama dan anak senantiasa memelihara pertemanan dan persahabatan antara satu dengan yang lainnya.

Selasa, 16 November 2010

Nurhawaisah

PERANAN ORGANISASI REMAJA MASJID DALAM MENGANTISIPASI KENAKALAN REMAJA DI DESA UJUNGE KECAMATAN TANASITOLO KABUPATEN WAJO Draf Skripsi diajukan untuk memenuhi kewajiban dan melengkapi syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam As’adiyah (STAI) Sengkang Oleh : NURHAWAISAH NIM.06.22.0046 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AS’ADIYAH SENGKANG 2010 DRAF SKRIPSI I. IDENTITAS MAHASISWA : N a m a : NURHAWAISAH N P M : 06220046 ST/Jurusan : STAI As’adiyah Sengkang/Pendidikan Agama Islam II. JUDUL : “Peranan organisasi remaja masjid dalam Mengantisipasi Kenakalan Remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo” III. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin meluasnya peredaran narkoba yang melibatkan generasi muda dalam masyarakat, semakin seringnya terjadi tawuran massal antar sekolah di berbagai kota, dan berbagai kasus pelanggaran serta kejahatan lain yang dilakukan oleh anak usia sekolah, merupakan indikator semakin meningkatnya kenakalan remaja, baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas. Fenomena sosial ini telah mengundang keprihatinan berbagai pihak dan menyuarakan pentingnya peningkatan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Dengan demikian, diketahui bahwa menghadapi hidup mengalami perubahan multi dimensi seperti sekarang ini, diperlukan adanya kepribadian mapan dan mantap sehingga manusia tidak mudah terpengaruh oleh kondisi dan situasi yang bagaimanpun bentuknya. Kepribadian yang dimaksud penulis adalah kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai keIslaman. Dengan kata lain, kepribadian tersebut dibentuk dan didorong oleh kekuatan keimanan. Untuk menilai baik buruknya kepribadian seseorang atau mantap tidaknya kepribadian seseorang, akan tergambar dari sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kepribadian itu akan terbaca lewat sikap dan cara hidup seseorang dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan serta cara berhubungan dengan Allah swt,. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengatur tatanan kehidupan manusia dalam mencapai tujuan hidup yang mencerminkan nilai kepribadian yang Islami, Islam datang dengan ajaran yang dapat dijadikan sebagai pandangan hidup yang sempurna, khususnya dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, dengan sesamanya dan dengan lingkungannya, yang diperoleh melalui suatu usaha yang disebut dengan pendidikan agama Islam. Dengan dasar itulah, penulis menganggap bahwa pendidikan agama Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian muslim. Pembangunan pendidikan Islam adalah wajib dilaksanakan secara dini dan kontinyu sejak dalam lingkungan rumah tangga, karena diketahui bahwa ibadah sholat sebagai salah satu sasaran pendidikan Islam dan merupakan ibadah mahdah yang tidak boleh ditinggalkan apapun dan bagaimanapun keadaan seorang muslim yang mukallaf, kemudian dikatakan sah apabila dibacakan al Quran atau surat al Fatihah, sedangkan belajar membaca Al Quran dituntut ketekunan untuk mempelajarinya. Untuk itu, Nabi Muhammad saw, bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, yang berbunyi : عن أبي هريرة : لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِاْلقُرْآن (رواه مسلم) Artinya : Tidak sah salat seseorang yang tidak dibacakan padanya fatihatul kitab (al Fatihah). Dengan demikian, pembangunan pendidikan Islam adalah wajib dilaksanakan dan diarahkan kepada anak-anak sekaligus merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orangtua, karena kedua orangtua akan mempertanggung jawabkan dihadapan Allah swt, mengenai pemeliharan dan pengawasan serta bimbingan yang diberikan kepada anak atau anggota keluarganya, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar RA, yang berbunyi : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأََمِيْرُ الَّذِي عَلَى النَّا سِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتَ زَوْجِهَا وَوَا لِدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ Artinya : Semua kamu adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepimimpinanmu. Pemimpin itu adalah pengembala dan ia akan ditanya tentang gembalaannya, laki-laki itu adalah pengembala terhadap keluarganya dan ia akan ditanya tentang gembalaannya, perempuan atau ibu adalah pengembala dalam rumah tangga suaminya, dan ia akan ditanya tentang gembalaannya . . . Oleh karena itu, jelas bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya adalah peletak dasar pertama pendidikan Islam bagi setiap anak, yaitu mengenai pembangunan pendidikan Islam yang kelak sebagai bekal menuju/menghadapi lingkungan sekolah dan masyarakat. Undang-Undang Sispenas Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa : Pasal 8. Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu BKPRMI sebagai wadah remaja masjid sangat berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi kenakalan remaja. Bertolak dari fenomena tersebut, penulis membahas skripsi yang berjudul “Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kab. Wajo" . B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penulis akan mengajukan problematika sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo ? 2. Bagaimana Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo ? C. Hipotesis Adapun sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan di atas, adalah: 1. Kenakalan remaja yang tampak di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah remaja selalu membuat kegaduhan, pencurian, dan minum khamr. 2. Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo adalah sebagai pembaharu dalam arti bahwa remaja dapat mentransfer dan menjabarkan sikap mental yang terpuji termasuk sikap kreatif dalam kehidupannya, baik sebagai makhluk yang sosio individual maupun sebagai makhluk yang kulturil relegius. D. Pengertian Judul 1. Pengertian Judul Peranan, berarti "daya, kekuatan, andil dalam suatu kegiatan" . Peranan menunjukan adanya bagian yang diperankan dalam suatu kegiatan. Organisasi, berarti “kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama” Remaja berarti “masa peralihan yang penuh kegoncangan, yang sangat membutuhkan bimbingan dari orangtua”. sedangkan masjid adalah “tempat sujud” Remaja masjid adalah orang muda atau generasi muda yang secara psikologis mereka berada pada pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sedang menanjak menuju kedewasaannya. Remaja tersebut beraktivitas dalam kegiatan remaja masjid atau melibatkan diri dalam satu wadah berkomunikasi dengan rekan-rekan sebaya dan sekeyakinannya. BKPRMI sebagai satu-satunya organisasi remaja masjid di Indonesia. BKPRMI, akronim dari “Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia, yaitu wadah generasi muda Islam untuk menyalurkan bakat keagamaan dan memperluas wawasan keagamaan dalam satu ikatan iman dan taqwa kepada Allah swt” Dengan demikian, Peranan organisasi remaja masjid adalah tugas yang diemban oleh suatu wadah atau kelompok dalam kegiatan dan proses bantuan kepada remaja yang dapat membentuk watak atau sikap dan prilaku hidup yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Mengantisipasi, berarti “membuat perhitungan (ramalan, dugaan) tentang hal-hal yang akan terjadi; memperhitungkan sebelum terjadi” Kenakalan, berarti “tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma yang berlaku di suatu masyarakat” Jadi, mengantisipasi kenakalan remaja berarti upaya membentengi diri guna mangatasi dan menghalangi terjadinya kerusakan mental berupa perilaku yang menyalahi ajaran agama Islam. Dengan gambaran istilah yang diuraikan tersebut, jelas bahwa secara operasional, penulis membahas dalam skripsi ini tentang eksistensi organisasi remaja masjid dalam mengemban tugas sebagai wadah pembinaan dan pembentukan anak usia remaja, sebagaimana pada masa tersebut, anak mengalami perubahan psikologi dan jasmani, sehingga dengan perubahan tersebut, remaja sangat mengharapkan bantuan pendidikan untuk mengarahkannya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., sehingga dapat mengatasi terjadi kondisi mental yang berlawanan dengan ajaran Islam. Desa Ujunge merupakan lokasi penelitian, yaitu salah satu wilayah pemerintahan desa di antara beberapa desa/kelurahan dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo E. Tinjauan Pustaka Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat sekarang sedang menghadapi persoalan yang cukup mencemaskan, yaitu masalah moral, karena menyebabkan ketentraman batin terganggu, kecemasan dan kegelisahan terasa, terutama bagi mareka yang mempunyai anak/siswa dengan sikapnya yang menampakkan gejala kenakalan dan kekurang acuhan terhadap nilai moral yang dianjurkan oleh ajaran Islam, dekadensi moral tersebut, bukan saja terjadi di kota-kota besar, namun juga sudah terjadi di kota-kota kecil bahkan siswa di desapun sudah terkontaminasi dengan sikap tersebut. Kenakalan remaja sebagai akibat dekadensi, atau “keruntuhan akhlak” maksudnya sikap mental yang tidak berkesusaian dengan ajaran Islam dan dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mendatangkan kerisauan dan kekacauan dalam masyarakat. Jadi, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya kenakalan remaja sebagai akibat kerusakan atau dekadensi moral yaitu suatu situasai dan kondisi atau keadaan di dalam bermasyarakat, dimana tidak nampak lagi adanya kepentingan umum sebagai yang utama, melainkan kepentingan pribadi yang menonjol di tengah kehidupan masyarakat, sehingga dengan sendirinya, kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan baik yang terlihat ringan maupun yang berat, dimana-mana terjadi adu domba, hasud, fitnah, menjilat, menipu, berdusta, mengambil hak orang lain, serta perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Sikap mental tersebut adalah sangat tercelah dan dilarang oleh Agama Islam. Untuk itu, salah satu di antara beberapa ayat al Quran yang melarang perbuatan tersebut, adalah firman Allah dalam surat al Hujurat ayat 12, yang berbunyi : يآ أ يُّهَا ا لَّذِ يْنَ آ مَنُو ا ا جْتَنِبُو ا كَثِيْرً ا مِّنَ ا لظَّنِّ اِ نَّ بَعْدَ ا لظَّنِّ اِ ثْمٌ وَّ لاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَ يُحِبُّ اَحَدَ كُمْ اَ نْ يَاْ كُلَ لَحْمَ اَ خِيْهِ مَيْتًا فَكَرِ هْتُمُوْهُ وَا لتَّقُو ا ا للَّهَ اِ نَّ ا لله تَوَّا بٌ رَّحِيْمِ Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang. Ayat tersebut menunjukkan adanya larangan untuk mengekspresikan sikap mental yang tercelah seperti buruk sangka, mencari kejelekan orang lain, serta menggunjing atau mengumpat, karena hal tersebut merupakan salah satu pelanggaran yang mengakibatkan rusaknya hubungan antara sesama manusia, sehingga menimbulkan kerisauan dan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat. Zakiah Darajat mengemukakan faktor-faktor penyebab dari kenakalan remaja, yang terpenting adalah : 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat. 2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. 3. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di rumah tangga, sekolah maupun mjasyarakat. 4. Suasana rumah tangga yang kurang baik. F. Metode Penelitian 1. Variabel dan Desain Penelitian Variabel penelitian ini terdiri dari (1) peranan pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja, dan (2) gambaran kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Peranan pendidikan Islam adalah sebagai peletak dasar kepercayaan diri bagi setiap remaja sehingga mereka beraktivitas sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, Artinya bahwa aktivitas mereka tidak bertentangan dan tidak melanggar aturan agama dan aturan masyarakat. Dengan kata lain bahwa remaja senantiasa mendapat bimbingan untuk melakukan suatu perbuatan yang mempunyai nilai ibadah. Dengan demikian, pendidikan Islam menangkal terjadinya prilaku kejahatan atau pelanggaran yang mengganggu ketenangan masyarakat Selanjutnya dalam penelitian digunakan desain penelitian deskriptif kualitatif, yaitu rencana dan struktur penyelidikan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian berupa data deskriptif yang diperoleh dari hasil interview dan kuesioner. Studi ini dilaksanakan guna mempelajari secara mendalam mengenai peranan pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. 2. Populasi dan Sampel 1. Populasi. Populasi berarti obyek penelitian mencakup semua elemen yang terdapat dalam wilayah penelitian atau meliputi “semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel” Sudjana memberikan pengertian tentang populasi, Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin hasil menghitung atau pengurangan, kuantitatif daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Pengertian lain yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi, bahwa populasi adalah: Seluruh penduduk yang dimaksud untuk diselidiki disebut populasi atau universum. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Dengan demikian dapat dikemukakan suatu simpulan, bahwa yang dimaksud populasi adalah sekumpulan objek yang mempunyai karakteristik yang sama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo, yang berjumlah 2733 orang, tersebar pada 2 dusun. 2. Sampel. Sebagaimana lazimnya dalam suatu penelitian ilmiah tidak semua populasi harus diteliti tetapi dapat dilakukan terhadap sebagian saja dari populasi tersebut. Hal ini didasarkan atas pertimbangan keterbatasan kemampuan, biaya, tenaga, dan sebagainya sehingga penelitian ini dilakukan bukan terhadap populasi tetapi dilakukan terhadap sampel. Sampel yang diambil harus mencerminkan keadaan umum populasi, atau dengan kata lain sampel itu harus representatif dalam arti segala karakteristik populasi hendaknya tercermin pula dalam sampel yang diambil. Sumanto mengemukakan bahwa sampel adalah “proses pemilihan individu, sehingga merupakan perwakilan kelompok yang lebih besar” Sedangkan Nana Sudjana mengemukakan tentang jumlah sampel penelitian bahwa: Mengenai besarnya sampel tidak ada ketentuan yang baku atau rujukan yang pasti. Sebab keabsahan dari populasi terletak dari sifat dan karakteristiknya mendekati populasi atau tidak, bukan besar atau banyaknya . . . Artinya bahwa sampel yang dipilih mencerminkan karakteristik populasi. Berdasarkan pertimbangan waktu dan tenaga serta biaya, maka sampel yang diambil untuk penelitian ini, yaitu sebanyak 90 orang, yang dilakukan dengan terlebih dahulu menggunakan teknik cluster sampling, yaitu Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo dibagi tiga wilayah, yaitu wilayah Selatan, wilayah Tengah, dan wilayah Utara, kemudian masing-masing wilayah diwakili 30 orang melalui teknik random sampling. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, penulis telah menggunakan beberapa metode, seperti: 1. Penelitian Kepustakaan Suatu metode penelitian dengan cara membaca dan menelaah buku-buku perpustakaan serta majalah yang ada dan erat hubungannya dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Dalam penelitian kepustakaan tersebut, penulis menempu dua cara, yaitu: a. Kutipan langsung. Penulis mengutip isi buku dan majalah yang dibaca tersebut dengan tidak merubah sifat dan redaksi aslinya sedikitpun. b. Kutipan tidak langsung. Penulis mengutip isi buku dan majalah yang dibaca tersebut, dengan membuat catatan yang jauh lebih pendek dari tulisan aslinya, namun tidak merubah tujuan dan sifat bahan aslinya. 2. Penelitian Lapangan Penulis terjun dilapangan untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan terhadap suatu pokok masalah yang ada dan erat hubungannya dengan problematika yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun metode yang dipergunakan untuk memperoleh data di lapangan adalah: a. Interview. Penulis mengadakan wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama dan Kepala Dikpora Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo, serta mewawancarai beberapa orang tokoh agama, tokoh pendidik, dan tokoh masyarakat untuk memperoleh data tentang manfaat dan pengaruh pendidikan Islam dalam pembentukan kreatifitas remaja. b. Observasi. Metode penelitian dengan cara mengamati sejauhmana peranan dan pembentukan kreatifitas remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo . c. Dokumentasi. Penulis mengumpulkan data dari dokumen atau catatan-catatan yang ada dilokasi penelitian kemudian dikutip dalam bentuk tabel. 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam mengolah data yang terkumpul, penulis menempuh cara kualitatif, yaitu penulis hanya menitik beratkan pembahasan skripsi pada segi-segi nilai kemudian disusun atau dikumpul secara baik dan teratur lalu dianalisa. Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data yang terkumpul tersebut, adalah: 1. Induktif. Suatu cara berfikir dengan memecahkan persoalan yang bertitik tolak dari pengalaman atau pengetahuan yang khusus dan fakta-fakta tertentu, yang kemudian penulis mengemukakan suatu kesimpulan yang bersifat umum. 2. Deduktif. Suatu cara berfikir dengan memecahkan persoalan yang bertolak dari hal dasar serta kaedah-kaedah umum, kemudian menganalisis atau menjabarkannya ke hal-hal yang khusus. 3. Komparatif. Suatu cara berfikir dengan menganalisis data dan mengambil kesimpulan dengan terlebih dahulu membandingkan antara beberapa pendapat atau beberapa data yang ada. G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Untuk menguraikan masalah tersebut, penulis terlebih dahulu membahas tujuan penelitian kemudian kegunaannya. 1. Tujuan Penelitian. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah untuk: a. Untuk mengetahui Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo. b. Untuk mendeskripsikan bentuk kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. 2. Kegunaan Penelitian. Kegunaan penelitian yang dilakukan oleh penulis tersebut, adalah : a. Kegunaan ilmiah yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan di era sekarang ini, menuntut adanya usaha mengatasi kenakalan remaja melalui pemberdayaan pendidikan Islam. b. Kegunaan praktis yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara serta agama. Bahwa dengan pembahasan tentang upaya mengantisipasi kenakalan remaja, maka diharapkan setiap anak memiliki sikap mental yang terpuji sebagaimana yang dikehendaki ajaran Islam. H. Sistematika Pembahasan Sebelum penulis lebh jauh membahas judul skripsi ini, terebih dahulu diuraikan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, pendahuluan meliputi subbahasan latar belakang masalah sebagai alasan memilih judul yang melahirkan rumusan masalah, lalu diajukan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah diajukan. Pengertian judul, tinjauan pustaka serta metode yang dipergunakan dalam meneliti dan tujuan maupun kegunaan penelitian serta sistematika pembahasan. Bab kedua, deskripsi lokasi lokasi penelitian meliputi subbahasan gambaran umum Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo, keadaan demografis, serta keadaan agama, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo. Bab ketiga, adalah tinjauan pustaka tentang eksistensi BKPRMI sebagai wadah pemuda remaja masjid, yang meliputi pengertian dan eksistensi BKPRMI, dasar yang melatar belakangi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan, urgensi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan. Masalah kenakalan remaja meliputi sub bahasan pengertian kenakalan remaja dan aspek-aspek yang menyebabkan kenakalan remaja. Bab keempat, adalah hasil penelitian dan pembahasan meliputi sub bahasan bentuk-bentuk kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo, Manfaat dan pengaruh pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo dan peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kab.Wajo. Bab kelima adalah bab penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran. DAFTAR PUSTAKA Alquranul Kariem Ahmadi, Abu. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Bandunga: Armico, 2006 Anshari, Endang Saifullah. Kuliah Islam, Bandung: Pustaka, 2007 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Attas, S.Muhammad al Naquib al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2004 Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2009 _______. Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan Bintang, 2002 _______. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 2000 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab suci al Quran, 2003 _______. Psikologi Jilid I B, Cet. I Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Guru Agama, 2006 Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Proyek Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, 2005 Idris, Zahara. Dasar-Dasar Kependidikan, Padang: Angkasa Raya, t.th Indrakusuma, Amir Daien. Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.th Ja’far, M. Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 2001 Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 2000 Natsir, M. Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003 Qasyimi, Jamaluddin al. Muidzat al Mukminien, diterjemahkan oleh: Mohd Abdai Ratomy, dengan judul: “Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin”, Bandung: Deponegoro, 2005 Saifullah, Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.th Shiddieqy, Hasbi as. Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 2007 _______. al Islam, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 2007 Sidi Gazalba, Azas agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005 Soekarno, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 2000 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XVIII Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004 Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian, Jakarta: CV Rajawali, 2005 Syaibani, Omar Mohammad al Toumi al. Falsafatut Tarbiyyah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung, dengan judul: “Falsafah Pendidikan Islam” Jakarta: Bulan Bintang, 2009 Syalabi, Ahmad. Tarikh at Tarbiyyah Al Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Muchtar yahya, dengan judul: “Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2003 Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Tp, t.th Urgensi Pelaksanaan Pendidikan Agama Dalam Penanggulangaan kenakalan Remaja, “Warta Alauddin”, No. 62/XI, Maret, 2002 Witherington, H.Carl. Educational Psychologi, diterjemahkan oleh: M. Buchary, dengan judul: “Psikologi Pendidikan”, Jilid I, Bandung: Jemmars, 2006 Wulyo, Kamus Psikologi, Surabaya: Bintang Pelajar, t.th Zahrimini, H. Metodikm Khusus Pendidikan Agama, Cet. VIII Surabaya: Usaha Nasional, 2003 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukhary al Ju’fy, Shohih Bukhary, Juz 1 Beirut : Dar Ibn Katsir al Yamamah, 2007 Muslim bin al Hujjaj Abu al Husain al Qusyairy al Naisabury, Shihih Muslim, Juz 1 Beirut : Dar Ihya al Turats al Araby, t.th KOMPOSISI BAB BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Hipotesis D. Pengertian Judul E. Tinjauan Pustaka F. Metode Penelitian G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian H. Sistematika Pembahasan. BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Selayang Pandang Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kecamatan Tanasitolo Kab. Wajo B. Keadaan demografis, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya BAB III. TINJAUAN TEORITIS TENTANG BKPRMI SEBAGAI WADAH PEMUDA REMAJA MASJID, PENDIDIKAN ISLAM DAN KENAKALAN REMAJA A. Eksistensi BKPRMI 1. Eksistensi BKPRMI 2. Dasar yang melatar belakangi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan Islam 3. Urgensi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan Islam. B. Tinjauan tentang Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam 2. Dasar Pendidikan Islam 3. Tujuan Pendidikan Islam C. Masalah Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja 2. Aspek-aspek yang menyebabkan kenakalan remaja BAB IV. HASIL PENELITIAN B. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo C. Manfaat dan Pengaruh Pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo D. Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

Senin, 15 November 2010

Badruzzaman

الإستحسان AL ISTIHSAN Oleh : BADRUZZAMAN NAWAWI, S.Ag SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAREPARE AL ISTIHSAN الإستحسان I. PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Islam sebagai agama yang sempurna dibawah oleh rasulullah saw. Yang intinya adalah qidah dan syariat serta seluruh kandungannya merupakan pedopman pokok ummat Islam dalam kehidupannya berdasarkan al Quran dan sunnah Rasulullah saw. Untuk memahami syariat diperlukan pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan kaedah kebahasaan masalah untuk mengetahui dalil-dalil yang ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, mujmal, mufassr, mutasyabih, zhahir, nasikh, mansukh, amar, nahy dan sebagainya. Melalui pendekatan kebahasaan ini maka dapat dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara zhahir sehingga seluruh dalil yang ada dalam al Quran dan sunnah dapat dipahami dan dapat diamalkan. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan maqashid al syariah yang penekanannya adalah menyingkap dan menjelaskan hokum dri suatu kasus yang terjadi melalui pewrtimbangan maksud syara’ dalam menetapkan hokum. Dalam hal ini dipergunakan teori metode ijma’, qiyas, istihsan, istislah, urf dan lain-lain dimana intinya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu berbgai metode yang digunakan untuk menyingkap dan menyelesaikan hokum pada setiap kasus yang tidak jelas nashnya baik dalam al Quran maupun as Sunnah. Perinsipnya adalah berorientasi pada kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Secara etimologi Istihsan, berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi. Karen lafal yang digunakan dalam istihsan ini banyak di dapat dalam al Quran dan sunnah Rasulullah saw. Misalnya dalam surat al Zumar ayat 39 Allah berfirman : قُلْ يَاقَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ Terjemahnya : Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui, a. Al Hilwani dan Al Hanafi mengatakan istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya. b. Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi Al Hanafi pula, ia merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alasan yang lebih kukuh. c. Jumhur ulama' Usul menyatakan istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian) Istihsan dari segi istilah menurut ahli hukum dibahagikan kepada dua makna iaitu: 1. Menggunakan ijtihad dan segala buah fikiran dalam menentukan sesuatu hukum berdasarkan syara’. Contohnya hukum mut’ah yang terdapat dalam firman Allah taala (Al-Baqarah:236). لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ Terjemahnya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Mut’ah dalam ayat ini diukur mengikut keadaan suami, kaya atau miskin menurut makruf. 2. Dalil yang menyaingi qias atau meninggalkan qias dan menetapkan apa yang lebih manfaat bagi manusia Para ulama hukum sependapat pada makna istihsan yang pertama. Imam Syafie menolak sumber istihsan telah berkata: “ saya memandang sebaiknya mut’ah itu tiga puluh dirham”. Mengenai istihsan pada pengertian yang kedua, ulama hukum berselisih pendapat tentang boleh atau tidak menggunakannya kerana wujud pelbagai pendapat dalam mendefinisikannya. Perselisihan pendapat dalam mendefinisi istihsan wujud kerana pentakrifan ini muncul sesudah terjadi perdebatan yang hangat antara yang menggunakan istihsan dan yang menolaknya. Mereka yang menolak istihsan mengatakan bahawa istihsan itu ialah menetapkan suatu hukum berdasarkan hawa nafsu (syari’u bil hawa). Pihak yang menggunakan istihsan tidak langsung mengemukakan dalil-dalil yang membuktikan bahawasanya istihsan itu adalah suatu hujjah, tetapi mereka berusaha menerangkan hakikat istihsan yang sebenar, menyebabkan golongan yang menolaknya mengakui bahawa tidak ada istihsan yang diperselisihkan kecuali dalam beberapa masalah. B. Istihsan Sebagai Sumber Tasyri Yang Disepakati Dengan pengertian yang terakhir ini istihsan menjadi suatu sumber yang disepakati kerana istihsan adalah suatu pengecualian dari suatu dalil dan pertentangan dua qias lalu, diambil yang terkuat daripadanya walaupun dia khafi. Hal ini dibenarkan al-quran, assunnah dan amal fuqaha sahabat. Para ulama malikiah dengan tegas mentakrifkan istihsan dengan maksud pengecualian Ibnu Arabi berpendapat “Istihsan ialah meninggalkan sesuatu yang dikehendaki dalil dengan jaan pengecualian, kerana ada sesuatu yang mengetahui di sebahagian juziyyahnya” Ibnu Rusyd berpendapat: “Dan menggunakan qias mengakibatkan berlebih-lebihan dalam hukum, maka dia berpaling pada sebahagian tempat tertentu kerana ada sesuatu pengertian yang memberi bebas kepada hukum yang tertentu dari tempat itu sahaja.” As Syatibi berpendapat: “ Kaedah istihsan menurut Imam Malik ialah menggunakan maslahat juziyyah dalammenghadapi dalil yang kulli.” Para sahabat banyak menggunakan prinsip ini dan merekalah menjadi ikutan kita sesudah Rasulullah s.a.w, iaitu mengecualikan sesuatu dari nas yang umum kerana ada kemaslahatannya. Golongan syariah sendiri mengakui adanya pengecualian dari kaedah-kaedah syariyyah dan mereka menggunakan pengecualian itu walaupun Imam Syafie menentang istihsan. Di antara masalah itu, ialah membolehkan kita mengambil tumbuhan di tanah haram untuk mengumpan binatang untuk menhindarkan kesukaran bagi para haji. Ini merupakan suatu pengecualian dari umum nas padahal Rasulullah hanya membenarkan idzar sahaja, sebagaimana mereka membenarkan ayah ataupun abang menggadaikan harta mereka kepada mauli mereka apabila wali itu memberi hutang kepada mereka. Demikian pula sebaliknya. Dan mereka membenarkan abang mereka mengahwinkan cucu perempuannya dengan cucu lelakinya apabila dipandang ada maslahat. Inipun merupakan suatu pengecualian dari dasar yang mereka gunakan iaitu akad itu dilakukan oleh dua orang. “Tak dapat tidak sesuatu akad dari dua ibarat dari dua orang ( penjual dan pembeli.” Izuddin Ibnu Abdis Salam berkata: “Apabila seseorang menjual buah kurma yang telah nyata baiknya maka wajiblah dibiarkan buah itu tinggal di batang sehingga datang waktu memetiknya dan memungkinkan si pembeli menyirami batang kurma itu dengan airnya, kerana kedua syarat itu telah menjadi syarat pada uruf masyarakat. Maka menjadilah dia sebagai yang telah disyaratkan oleh kedua belah pihak. Dan hanyanya berlaku syarat ini di sini adalah kerana adanya keperluan masyarakat dan keadaan itu mendorong masyarakat kepada syarat ini, maka menjadilah dia hal-hal dikecualikan dari kaedah untuk memperbolehkan kemaslahatan akad.” Sesungguhnya perbezaan pendaat antara Imam As Syafie dengan pihak yang menerima istihsan bukanlah dari segi penggunaan istilah istihsan. Kerana As Syafie sendiri menggunakan istilah-istilah itu seperti yang diterangkan oleh Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam. Kalau demikian, perbezaan itu adalah kerana menurut pendapat As-Syafie bahawa istihsan yang dikehendaki golongan Hanafiah ialah menetapkan sesuatu berdasarkan akal biasa tanpa dalil, sebagai yang sering beliau dengar di masanya dari pengikut-pengikut Abu hanifah seperti Basyar Al- Miribi. Jika As-Syafie menolak istihsan dalam erti memendang baik sesuatu tanpa dalil, maka Imam Ahmad pun menolak suatu pernyataan ijmak tanpa ada dalil. C. Jenis Istihsan Umum Istihsan umum ada beberapa jenis menurut dalil yang menetapkannya: 1. Istihsan dengan nas: iaitu pada tiap-tipa masalah yang ada nas sendiri yang menimbulkan suatu hukum yang berlainan dengan hukum umum yang diterapkan oleh suatu nas yang umum atau kaedah yang umum. Dan ia melengkapi segala bentuk masalah yang dikecualikan oleh syarak sendiri dari hukum-hukum yang sebandingnya iaitu seperti khiar syarak. Imam Abu Hanifah mengatakan terhadap orang yang berkuasa makan atau minum kerana lupa: “Andaikata tiada nas yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum kerana lupa, tentulah saya memandang bata puasa itu kerana sudah rosak satu rukun iaitu menahan diri dari segala yang merosakkan puasa”. 2. Istihsan berdasarkan ijmak: iaitu apabila para mujtahid berfatwa terhadap suatu masalah yang berlawanan dengan Qiyas atau dengan kehendak dari sesuatu dalil yang umum, atau mereka berdiam diri tidak membantah sesutau uruf masyarakat yang berlawanan dengan hukum qiyas. 3. Istihsan dalam hal darurat dan untuk menghindari kesulitan: apabila kita mnggunakan dalil yang umum menimbulkan kesulitan, maka dari dalil yang umum itu dikcualikan. Seperti apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau kerana tidak sanggup menghadiri sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain. 4. Istihsan berdasarkan kemaslahatan yang belum sampai ke batas darurat: sesuatu hukum yang dicakup oleh sesuatu nas yang umum tetapi jika dilaksanakan hukum itu, timbul kerosakan atau terhapus kemaslahatan, maka ditetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan, seperti memberikan pusaka kepada suami yang isterinya murtad dalam keadaan sakit yang membawa kepada kematian. Ini juga merupakan suatu pengecualian dari kaedah umum, iaitu tidak ada lagi hak pusaka kerana hubungan mereka suami isteri putus di waktu isteri murtad. Jalan istihsan di sini ialah melayani si wanita yang murtad itu dengan yang bertentangan dengan maksudnya. Dia memurtadkan dirinya dalam keadaan sakit yang membawa maut supaya suaminya tidak dapat menerima pusaka daripadanya. 5. Istihsan dengan dasar uruf: Muhammad ibn Al Hasan membolehkan kita mewakafkan barang bergerak. Menurut kaedah, wakaf itu harus benda yang tidak bergerak kerana benda yang bergerak mudah hilang dan rosak. Seperti boleh kita menjual buah-buahan dengan syarat tetap di batangnya sampai matang padahal syarat itu tidak dikehendaki oleh akad, bahkan berlawanan dengan sabda Rasulullah yang melarang penjualan dengan memakai syarat. Tetapi kerana uruf telah berlaku demikian, maka dibolehkan untuk menghindari prtengkaran. Sebab itulah Hanafiyah membenarkan segala syarat yang diterima uruf asal saja tidak membatalkan sesuatu nas syara. III. KESIMPULAN Walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebahagian ulama mujtahidin dalam menetapkan dalil-dalil syara dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk mengelakkan kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya. Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahawa hukum-hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebahagian oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya. Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi. Oleh kerana dalam kebanyakan bentuknya merupakan pengecualian dari umum, maka bolehlah kita qiaskan kepadanya sesuatu yang lain apabila cukup syarat-syarat qias. DAFTAR PUSTAKA

H. Abdullah Botma

Ilmu Pendidikan Islam Versi Perspektif Nasional dan Lembaga Pendidikan Oleh : Drs. H. Abdullah Botma, M.Ag SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI DDI PINRANG 2008 BAB I PENDAHULUAN Pendidikan merupakan unsur elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Komitmen Islam secara teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada al-Qur’an surat al-Alaq (96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan tentang signifikansi pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan umat Islam secara khusus dan umat manusia umumnya. Abdullah Yusuf Ali menjelaskan, ungkapan “pengajaran” dan “pembacaan” yang ada pada ayat-ayat itu mengimplikasikan, pemerintah mengajar dan membaca (meneliti dan sebagainya-Red) tidak terbatas pada penyampaian risalah Allah yang harus dilakukan Rasul, tetapi juga bersifat universal, menukik pada tugas untuk menyebarkan kebenaran oleh semua orang yang membaca dan memahami ajaran Al Quran. Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan makin tampak bila dikaitkan dengan Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya wahyu (lihat al-Bukhari, 18-24), di mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada Muhammad. Pertama kali Nabi menolak karena dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan menjelaskan, “membaca” adalah kewajiban manusia; mencari dan mengamalkan pengetahuan adalah sifat intrinsik yang harus ada pada manusia. Hadits ini juga menggambarkan dengan jelas mengenai proses penyampaian pengetahuan dalam Islam, yaitu sifatnya yang sangat menekankan pada penciptaan suasana dialogis dan aktif. Pada sisi ini batasan pendidikan Islam yang ditawarkan Naquib al-Attas menjadi relevan untuk diangkat. Disebutkan, pendidikan Islam pada prinsipnya merupakan proses pengenalan dan pengakuan yang ditanamkan secara bertahap dan berkesinambungan dalam diri manusia mengenai obyek-obyek yang benar sehingga hal itu akan membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan. Selanjutnya, dengan pengetahuan itu, manusia diarahkan untuk mengembangkan kehidupan lebih baik. Berdasarkan paparan itu dapat dikatakan, pendidikan Islam dari perspektif teologis merupakan konsep yang allama ma lam ya’lam (Tuhan mengajarkan segala hal yang tidak diketahui manusia). Hal itu mengandung pengertian, Allah selalu mengajarkan suatu pengetahuan baru setiap saat kepada manusia. Karena itu, manusia dituntut untuk belajar tentang apa saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu berdialog dengan perkembangan zaman. Lebih jauh, ayat itu menjelaskan, nilai semua pengetahuan menurut Al Quran adalah sama pentingnya. Islam tidak mengenal pembedaan dikotomis antara ilmu pengetahuan “agama” dan ilmu pengetahuan “sekuler”. Selama pengetahuan bernilai baik, selama itu pula ia bernilai religius. Selain itu, konsep ilmu dalam Islam-sebagai salah satu unsur pendidikan-hendaknya mengacu kepada lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu harus bersifat applicable. Hal ini dapat dilacak dari beragamnya pengetahuan yang diberikan Allah kepada para nabi dan umat mereka, misalnya, Nuh (as) mendapatkan pengetahuan tentang pembuatan bahtera (surat Hud, 11:37), Daud diberi pengetahuan tentang pembuatan baju besi (surat al-Anbiya’, 21:80), umat Nabi Shaleh memiliki keahlian memahat gunung untuk dijadikan tempat tinggal (surat al-Hijr, 15:82). Meski ragamnya berbeda, semua memiliki nilai yang sama, yaitu karakternya bersifat teologis-transformatif. Semuanya diarahkan untuk mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya sehingga manusia selalu merasa di dekat-Nya, dan mampu mengubah dunia sesuai kebutuhan manusia sekaligus melestarikannya. Dengan demikian, pengenalan pengetahuan itu pada saat yang sama merupakan penanaman dan pembentukan serta pengembangan nilai-nilai yang mencerahkan; mengantarkan manusia kepada kehidupan yang taqwa, dan dapat menjauhkan dari kehidupan yang transgressive dan ekstrem. Di sini ketaqwaan perlu dipahami sebagai konsep yang menunjukkan kepribadian manusia untuk terintegrasi secara penuh dan utuh, yaitu semacam stabilitas yang terbentuk setelah semua unsur-unsur yang positif masuk ke dalam diri seseorang. Dengan kata lain, taqwa merupakan kualitas kedirian manusia yang mampu mengendalikan manusia dari kecenderungan-kecenderungan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan universal dan perennial. Dengan ketaqwaan itu, manusia selalu berupaya berjalan di atas jalan yang dikehendaki Tuhan, tunduk secara total kepada perintah-Nya yang diekspresikan dalam bentuk menyebarkan kesejahteraan dan kedamaian bagi sesama dan lingkungan. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami). Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori. Hakikat manusia menurut Islam adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Manusia sempurna menurut Islam adalah jasmani yang sehat serta kuat dan Berketerampilan, cerdas serta pandai. Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. BAB II PEMBAHASAN A. Pendidikan Menurut Perspektif Nasional Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan. Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bertolak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya. Dilihat dari tridomain pendidikan (domain kognitif, afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD’45 khususnya yang tertuang dalam UU No 2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak didominasi oleh domain afektif atau cendrung kepada pembentukan sikap. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (kepribadian yang luhur) berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-nilai luhur tersebut, beriman, berakhlakul karimah, dan beramal saleh adalah bagian dari nilai lihur itu. Namun demikian, urgensitas nilai yang demikian mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional pada kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti (1) buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama, (2) penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan pendidik, dan (3) lingkungan belajar (hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu peoses pembelajaran. Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) subjek didik secara utuh. Selama ini proses pembelajaran di madrasah belum mampu mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dan lain-lain. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain afektif ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang studi sains tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya. Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu (integrasi keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem pendidikan nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan antara konsep keilmuan tertentu dengan nilai-nilai yang sejatinya dimunculkan dalam setiap disiplin ilmu. B. Nilai Teologis Di antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian integral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat ‘menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’. Kalimat ini secara hierarkhis mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral. Dalam tradisi pendidikan Islam sampai sekarang ini, internalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas dalam pendidikan akidah (teologi Islam). Yaitu kajian yang menyangkut permasalahan ketuhanan yang hanya berdimensi transendental-kontemplatif. Tradisi ini sudah sejak lama berlangsung, sehingga nilai-nilai teologis belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya secara holistik. Bahkan pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pendekatan imani. Kecenderungan pendekatan dalam proses belajar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai teologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurd, abstrak, melangit, dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya. Berdasarkan pengamatan dan kajian literatur diketahui bahwa madrasah-madrasah di Indonesia pada umumnya didapati masih juga menerapkan model pembelajaran yang tidak jauh berbeda sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini terjadi hampir di semua bidang studi intern ilmu agama Islam , lebih lagi bidang studi sains. Sepertinya belum ada transformasi berarti dalam reorientasi sistemik dan filosofis baik muatan materi ajar maupun metodologi pengajaran ke arah yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Karena itu dituntut adanya pembaharuan pemahaman terhadap masalah ini sehingga memungkinkan terwujudnya pendidikan Islam yang mumpuni bagi zamannya. C. Pendidikan Islam Perspektif Lembaga Pendidikan Di Indonesia, ada dua Departemen yang menangani bidang pendidikan, yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya Departemen Pendidikan Nasional membawahi lembaga pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Departemen Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS. Menyikapi manajemen pendidikan seperti itu, menurut penulis buku ini akan membawa kita kepada pemahaman tentang adanya dikotomi penyelenggaraan pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan tersebut semua diakui sah dan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Dikotomi ternyata tidak saja menyangkut kelembagaannya, akan tetapi merambah pada jenis ilmu yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.. Pihak-pihak yang berkompeten, terutama dari kalangan UIN/IAIN/STAIN melihat terjadinya dikotomi dalam memandang ilmu tersebut, pada umumnya tidak sepakat dan harus segera diakhiri. Ilmu, kata mereka, adalah satu, akan tetapi pada kenyataannya secara operasional tidak mudah menyatukan kedua jenis ilmu tersebut. Buktinya, kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) di beberapa kota yakni UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Pekanbaru, UIN Makasar, dan UIN Bandung yang misi awalnya adalah untuk mengembangkan ilmu yang bersifat integratif antara ilmu agama Islam dan Ilmu umum, tetapi pada kenyataannya di masing-masing UIN tersebut selain mengembangkan fakultas agama juga mengembangkan fakultas-fakultas umum. Akibatnya ilmu agama dan ilmu umum lagi-lagi masih terlihat dengan jelas terpisah, yakni masih memelihara pandangan dan perlakuan dikotomi ilmu.Melalui penelusuran sejarah, ditemukan bahwa kehadiran IAIN selain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Departemen Agama, juga memiliki misi yang sangat jelas yaitu ingin menjadikan para lulusannya sebagai sarjana (intelek) sekaligus ulamaâ??. Sebutan sarjana (intelek) untuk menggambarkan seseorang yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan ulama adalah sebutan terhadap seseorang yang memiliki pengetahuan, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam secara mendalam. Mengenai dikotomi ilmu berikut upaya pemecahannya. Bangunan ilmu yang bersifat integratif adalah dengan memposisikan al-Qurâ??an dan hadits sebagai sumber ayat-ayat qawliyah. Sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kawniyah. Di buku ini juga disertai gambar dan contoh nyata seperti yang dikembangkan di UIN Malang tentang bangunan ilmu yang bersifat integratif sehingga pembaca dapat lebih mudah untuk memahaminya. Agar lebih mudah difahami, penulis juga memaparkan tentang batas materi kajian yang terdapat dalam ajaran Islam. Selama ini kita sebagai umat Islam sepakat bahwa Islam merupakan agama yang bersifat Universal. Namun, seperti yang kita saksikan di lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga perguruan tinggi, bahkan terjadi di pondok pesantren, ketika orang menyebut pelajaran agama Islam, maka yang muncul adalah pelajaran Tauhid, Fiqh, Akhlaq dan Tasawuf, al-Qurâ??an dan Hadits, Bahasa Arab, dan lain-lain. Demikian juga di perguruan tinggi, Fakultas yang dikembangkan adalah Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Dakwah, dan Adab. Bahkan pembidangan ilmu seperti ini juga terjadi di Universitas Al-Azhar yang telah berdiri lebih dari 1000 tahun yang lalu. Oleh karenanya, menurut penulis perlu untuk melakukan upaya-upaya perluasan batas terhadap pemahaman al-Qurâ??an lebih-lebih jika dikaitkan dengan kemajuan sains dan teknologi yang demikian cepat. Al-Ghazali membagi ilmu berdasarkan hukum mencarinya, yakni fardlu ain dan fardlu kifayah. Ilmu yang termasuk pertama (fardlu ain) adalah ilmu agama Islam berupa al-Qurâ??an dan hadits. Sedangkan ilmu yang termasuk jenis kedua (fardlu kifayah) adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, ilmu teknik, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu humaniora, dan sebagainya. Dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu yang bersifat integratif tersebut digunakan metafora sebuah pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Masing-masing bagian pohon dan bahkan tanah di mana sebatang pohon itu tumbuh digunakan untuk menjelaskan keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan program studinya.. Selayaknya sebatang pohon terdiri atas tanah di mana pohon itu tumbuh, akar yang menghujam ke bumi dengan kuatnya. Akar yang kuat dapat menjadikan batang sebuah pohon berdiri tegak dan kokoh. Pohon itu juga akan menumbuhkan dahan, ranting, daun, dan buah yang sehat dan segar. Bagian-bagian itu digunakan sebagai alat untuk menjelaskan posisi masing-masing jebis mata kuliah yang harus ditempuh oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan seluruh program studinya. BAB III. PENUTUP / KESIMPULAN Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu “kekuatan yang telah habis dikerahkan. “Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Krisis pendidikan di Indonesia, oleh H.A. Tilaar [1991] secara umum, diidentifikasi dalam empat krisis pokok, yaitu menyangkut masalah kualitas, relevansi, elitisme dan manajemen. Berbagai indicator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia. Memang disadari bahwa keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya [Sukamto, 1992] DAFTAR PUSTAKA

H.Abdullah Bitma

MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI DEMOKRATISASI PENDIDIKAN Oleh : Drs. H. Abdullah Botma, M.Ag SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI DDI PINRANG 2008 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani. Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat kampus. Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai. B. Rumusan Masalah Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan? BAB II PEMBAHASAN A. Landasan Teori Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah. Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani. Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta. Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam. Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur. Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan. Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan. Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik. Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah. Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi. Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai unity dan diversity, maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55). B. Pemecahan Masalah Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryadi, 1999: 23). Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan. Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 115). Di samping itu, menurut Battle seperti yang dikutip Shannon (1978: 32) demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin. Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya. Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalah-masalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal ini juga dinyatakan oleh Barnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi pendidikan. Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang dikemukakan Rodrigues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita boleh membawa kuda masuk ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu meminum air." Maknanya adalah pengajar (kita) hanya bisa memberikan dorongan (tut wuri handayani) kepada peserta didik (kuda), namun biarkan peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan informasi (air) itu. Biarlah peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi, interpretasi, tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah diterimanya. Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan. Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya kembali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak lain. Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat masukan yang konstruktif dari pihak lain. Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu. Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pendidikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal. Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dengan peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan (equity). Dengan adanya kesetaraan ini, kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi dan pendapat, dan keadilan dalam pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid seperti yang dikutip Freire (1994: xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan memang merupakan wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan kebebasan ini menurut Russel (1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan. Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top down) melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top down timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi network, sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru. Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis (Moeldjanto, 1998: 63). Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student oriented lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya. Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down namun diimbangi dengan bottom up sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya. Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan bahwa jika pengajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran menghafal, maka hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte peserta didik untuk menggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan menurut Suryadi dan Tilaar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan berbagai informasi yang tinggal ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mencari dan mencerna sendiri informasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Menurut Taroepratjeka (1996: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik sedapat mungkin harus mampu menghargai bakat, minat, dan tujuan peserta didik. Bila hal ini dilupakan, akibatnya peserta didik akan menjadi pembebek-pembebek dan bukan menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya melalui proses pendidikan tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya (1991: 147-148) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan. BAB III PENUTUP/ KESIMPULAN Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. DAFTAR PUSTAKA

Minggu, 14 November 2010

Nurhawaisah

PERANAN ORGANISASI REMAJA MASJID DALAM MENGANTISIPASI KENAKALAN REMAJA DI DESA UJUNGE KECAMATAN TANASITOLO KABUPATEN WAJO Draf Skripsi diajukan untuk memenuhi kewajiban dan melengkapi syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam As’adiyah (STAI) Sengkang Oleh : NURHAWAISAH NIM.06.22.0046 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AS’ADIYAH SENGKANG 2010 DRAF SKRIPSI I. IDENTITAS MAHASISWA : N a m a : NURHAWAISAH N P M : 06220046 ST/Jurusan : STAI As’adiyah Sengkang/Pendidikan Agama Islam II. JUDUL : “Peranan organisasi remaja masjid dalam Mengantisipasi Kenakalan Remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo” III. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin meluasnya peredaran narkoba yang melibatkan generasi muda dalam masyarakat, semakin seringnya terjadi tawuran massal antar sekolah di berbagai kota, dan berbagai kasus pelanggaran serta kejahatan lain yang dilakukan oleh anak usia sekolah, merupakan indikator semakin meningkatnya kenakalan remaja, baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas. Fenomena sosial ini telah mengundang keprihatinan berbagai pihak dan menyuarakan pentingnya peningkatan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Dengan demikian, diketahui bahwa menghadapi hidup mengalami perubahan multi dimensi seperti sekarang ini, diperlukan adanya kepribadian mapan dan mantap sehingga manusia tidak mudah terpengaruh oleh kondisi dan situasi yang bagaimanpun bentuknya. Kepribadian yang dimaksud penulis adalah kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai keIslaman. Dengan kata lain, kepribadian tersebut dibentuk dan didorong oleh kekuatan keimanan. Untuk menilai baik buruknya kepribadian seseorang atau mantap tidaknya kepribadian seseorang, akan tergambar dari sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kepribadian itu akan terbaca lewat sikap dan cara hidup seseorang dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan serta cara berhubungan dengan Allah swt,. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengatur tatanan kehidupan manusia dalam mencapai tujuan hidup yang mencerminkan nilai kepribadian yang Islami, Islam datang dengan ajaran yang dapat dijadikan sebagai pandangan hidup yang sempurna, khususnya dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, dengan sesamanya dan dengan lingkungannya, yang diperoleh melalui suatu usaha yang disebut dengan pendidikan agama Islam. Dengan dasar itulah, penulis menganggap bahwa pendidikan agama Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian muslim. Pembangunan pendidikan Islam adalah wajib dilaksanakan secara dini dan kontinyu sejak dalam lingkungan rumah tangga, karena diketahui bahwa ibadah sholat sebagai salah satu sasaran pendidikan Islam dan merupakan ibadah mahdah yang tidak boleh ditinggalkan apapun dan bagaimanapun keadaan seorang muslim yang mukallaf, kemudian dikatakan sah apabila dibacakan al Quran atau surat al Fatihah, sedangkan belajar membaca Al Quran dituntut ketekunan untuk mempelajarinya. Untuk itu, Nabi Muhammad saw, bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, yang berbunyi : عن أبي هريرة : لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِاْلقُرْآن (رواه مسلم) Artinya : Tidak sah salat seseorang yang tidak dibacakan padanya fatihatul kitab (al Fatihah). Dengan demikian, pembangunan pendidikan Islam adalah wajib dilaksanakan dan diarahkan kepada anak-anak sekaligus merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orangtua, karena kedua orangtua akan mempertanggung jawabkan dihadapan Allah swt, mengenai pemeliharan dan pengawasan serta bimbingan yang diberikan kepada anak atau anggota keluarganya, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar RA, yang berbunyi : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأََمِيْرُ الَّذِي عَلَى النَّا سِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتَ زَوْجِهَا وَوَا لِدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ Artinya : Semua kamu adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepimimpinanmu. Pemimpin itu adalah pengembala dan ia akan ditanya tentang gembalaannya, laki-laki itu adalah pengembala terhadap keluarganya dan ia akan ditanya tentang gembalaannya, perempuan atau ibu adalah pengembala dalam rumah tangga suaminya, dan ia akan ditanya tentang gembalaannya . . . Oleh karena itu, jelas bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya adalah peletak dasar pertama pendidikan Islam bagi setiap anak, yaitu mengenai pembangunan pendidikan Islam yang kelak sebagai bekal menuju/menghadapi lingkungan sekolah dan masyarakat. Undang-Undang Sispenas Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa : Pasal 8. Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu BKPRMI sebagai wadah remaja masjid sangat berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi kenakalan remaja. Bertolak dari fenomena tersebut, penulis membahas skripsi yang berjudul “Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kab. Wajo" . B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penulis akan mengajukan problematika sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo ? 2. Bagaimana Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo ? C. Hipotesis Adapun sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan di atas, adalah: 1. Kenakalan remaja yang tampak di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah remaja selalu membuat kegaduhan, pencurian, dan minum khamr. 2. Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo adalah sebagai pembaharu dalam arti bahwa remaja dapat mentransfer dan menjabarkan sikap mental yang terpuji termasuk sikap kreatif dalam kehidupannya, baik sebagai makhluk yang sosio individual maupun sebagai makhluk yang kulturil relegius. D. Pengertian Judul 1. Pengertian Judul Peranan, berarti "daya, kekuatan, andil dalam suatu kegiatan" . Peranan menunjukan adanya bagian yang diperankan dalam suatu kegiatan. Organisasi, berarti “kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama” Remaja berarti “masa peralihan yang penuh kegoncangan, yang sangat membutuhkan bimbingan dari orangtua”. sedangkan masjid adalah “tempat sujud” Remaja masjid adalah orang muda atau generasi muda yang secara psikologis mereka berada pada pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sedang menanjak menuju kedewasaannya. Remaja tersebut beraktivitas dalam kegiatan remaja masjid atau melibatkan diri dalam satu wadah berkomunikasi dengan rekan-rekan sebaya dan sekeyakinannya. BKPRMI sebagai satu-satunya organisasi remaja masjid di Indonesia. BKPRMI, akronim dari “Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia, yaitu wadah generasi muda Islam untuk menyalurkan bakat keagamaan dan memperluas wawasan keagamaan dalam satu ikatan iman dan taqwa kepada Allah swt” Dengan demikian, Peranan organisasi remaja masjid adalah tugas yang diemban oleh suatu wadah atau kelompok dalam kegiatan dan proses bantuan kepada remaja yang dapat membentuk watak atau sikap dan prilaku hidup yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Mengantisipasi, berarti “membuat perhitungan (ramalan, dugaan) tentang hal-hal yang akan terjadi; memperhitungkan sebelum terjadi” Kenakalan, berarti “tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma yang berlaku di suatu masyarakat” Jadi, mengantisipasi kenakalan remaja berarti upaya membentengi diri guna mangatasi dan menghalangi terjadinya kerusakan mental berupa perilaku yang menyalahi ajaran agama Islam. Dengan gambaran istilah yang diuraikan tersebut, jelas bahwa secara operasional, penulis membahas dalam skripsi ini tentang eksistensi organisasi remaja masjid dalam mengemban tugas sebagai wadah pembinaan dan pembentukan anak usia remaja, sebagaimana pada masa tersebut, anak mengalami perubahan psikologi dan jasmani, sehingga dengan perubahan tersebut, remaja sangat mengharapkan bantuan pendidikan untuk mengarahkannya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., sehingga dapat mengatasi terjadi kondisi mental yang berlawanan dengan ajaran Islam. Desa Ujunge merupakan lokasi penelitian, yaitu salah satu wilayah pemerintahan desa di antara beberapa desa/kelurahan dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo E. Tinjauan Pustaka Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat sekarang sedang menghadapi persoalan yang cukup mencemaskan, yaitu masalah moral, karena menyebabkan ketentraman batin terganggu, kecemasan dan kegelisahan terasa, terutama bagi mareka yang mempunyai anak/siswa dengan sikapnya yang menampakkan gejala kenakalan dan kekurang acuhan terhadap nilai moral yang dianjurkan oleh ajaran Islam, dekadensi moral tersebut, bukan saja terjadi di kota-kota besar, namun juga sudah terjadi di kota-kota kecil bahkan siswa di desapun sudah terkontaminasi dengan sikap tersebut. Kenakalan remaja sebagai akibat dekadensi, atau “keruntuhan akhlak” maksudnya sikap mental yang tidak berkesusaian dengan ajaran Islam dan dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mendatangkan kerisauan dan kekacauan dalam masyarakat. Jadi, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya kenakalan remaja sebagai akibat kerusakan atau dekadensi moral yaitu suatu situasai dan kondisi atau keadaan di dalam bermasyarakat, dimana tidak nampak lagi adanya kepentingan umum sebagai yang utama, melainkan kepentingan pribadi yang menonjol di tengah kehidupan masyarakat, sehingga dengan sendirinya, kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan baik yang terlihat ringan maupun yang berat, dimana-mana terjadi adu domba, hasud, fitnah, menjilat, menipu, berdusta, mengambil hak orang lain, serta perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Sikap mental tersebut adalah sangat tercelah dan dilarang oleh Agama Islam. Untuk itu, salah satu di antara beberapa ayat al Quran yang melarang perbuatan tersebut, adalah firman Allah dalam surat al Hujurat ayat 12, yang berbunyi : يآ أ يُّهَا ا لَّذِ يْنَ آ مَنُو ا ا جْتَنِبُو ا كَثِيْرً ا مِّنَ ا لظَّنِّ اِ نَّ بَعْدَ ا لظَّنِّ اِ ثْمٌ وَّ لاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَ يُحِبُّ اَحَدَ كُمْ اَ نْ يَاْ كُلَ لَحْمَ اَ خِيْهِ مَيْتًا فَكَرِ هْتُمُوْهُ وَا لتَّقُو ا ا للَّهَ اِ نَّ ا لله تَوَّا بٌ رَّحِيْمِ Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang. Ayat tersebut menunjukkan adanya larangan untuk mengekspresikan sikap mental yang tercelah seperti buruk sangka, mencari kejelekan orang lain, serta menggunjing atau mengumpat, karena hal tersebut merupakan salah satu pelanggaran yang mengakibatkan rusaknya hubungan antara sesama manusia, sehingga menimbulkan kerisauan dan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat. Zakiah Darajat mengemukakan faktor-faktor penyebab dari kenakalan remaja, yang terpenting adalah : 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat. 2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. 3. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di rumah tangga, sekolah maupun mjasyarakat. 4. Suasana rumah tangga yang kurang baik. F. Metode Penelitian 1. Variabel dan Desain Penelitian Variabel penelitian ini terdiri dari (1) peranan pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja, dan (2) gambaran kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Peranan pendidikan Islam adalah sebagai peletak dasar kepercayaan diri bagi setiap remaja sehingga mereka beraktivitas sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, Artinya bahwa aktivitas mereka tidak bertentangan dan tidak melanggar aturan agama dan aturan masyarakat. Dengan kata lain bahwa remaja senantiasa mendapat bimbingan untuk melakukan suatu perbuatan yang mempunyai nilai ibadah. Dengan demikian, pendidikan Islam menangkal terjadinya prilaku kejahatan atau pelanggaran yang mengganggu ketenangan masyarakat Selanjutnya dalam penelitian digunakan desain penelitian deskriptif kualitatif, yaitu rencana dan struktur penyelidikan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian berupa data deskriptif yang diperoleh dari hasil interview dan kuesioner. Studi ini dilaksanakan guna mempelajari secara mendalam mengenai peranan pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. 2. Populasi dan Sampel 1. Populasi. Populasi berarti obyek penelitian mencakup semua elemen yang terdapat dalam wilayah penelitian atau meliputi “semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel” Sudjana memberikan pengertian tentang populasi, Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin hasil menghitung atau pengurangan, kuantitatif daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Pengertian lain yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi, bahwa populasi adalah: Seluruh penduduk yang dimaksud untuk diselidiki disebut populasi atau universum. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Dengan demikian dapat dikemukakan suatu simpulan, bahwa yang dimaksud populasi adalah sekumpulan objek yang mempunyai karakteristik yang sama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo, yang berjumlah 2733 orang, tersebar pada 2 dusun. 2. Sampel. Sebagaimana lazimnya dalam suatu penelitian ilmiah tidak semua populasi harus diteliti tetapi dapat dilakukan terhadap sebagian saja dari populasi tersebut. Hal ini didasarkan atas pertimbangan keterbatasan kemampuan, biaya, tenaga, dan sebagainya sehingga penelitian ini dilakukan bukan terhadap populasi tetapi dilakukan terhadap sampel. Sampel yang diambil harus mencerminkan keadaan umum populasi, atau dengan kata lain sampel itu harus representatif dalam arti segala karakteristik populasi hendaknya tercermin pula dalam sampel yang diambil. Sumanto mengemukakan bahwa sampel adalah “proses pemilihan individu, sehingga merupakan perwakilan kelompok yang lebih besar” Sedangkan Nana Sudjana mengemukakan tentang jumlah sampel penelitian bahwa: Mengenai besarnya sampel tidak ada ketentuan yang baku atau rujukan yang pasti. Sebab keabsahan dari populasi terletak dari sifat dan karakteristiknya mendekati populasi atau tidak, bukan besar atau banyaknya . . . Artinya bahwa sampel yang dipilih mencerminkan karakteristik populasi. Berdasarkan pertimbangan waktu dan tenaga serta biaya, maka sampel yang diambil untuk penelitian ini, yaitu sebanyak 90 orang, yang dilakukan dengan terlebih dahulu menggunakan teknik cluster sampling, yaitu Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo dibagi tiga wilayah, yaitu wilayah Selatan, wilayah Tengah, dan wilayah Utara, kemudian masing-masing wilayah diwakili 30 orang melalui teknik random sampling. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, penulis telah menggunakan beberapa metode, seperti: 1. Penelitian Kepustakaan Suatu metode penelitian dengan cara membaca dan menelaah buku-buku perpustakaan serta majalah yang ada dan erat hubungannya dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Dalam penelitian kepustakaan tersebut, penulis menempu dua cara, yaitu: a. Kutipan langsung. Penulis mengutip isi buku dan majalah yang dibaca tersebut dengan tidak merubah sifat dan redaksi aslinya sedikitpun. b. Kutipan tidak langsung. Penulis mengutip isi buku dan majalah yang dibaca tersebut, dengan membuat catatan yang jauh lebih pendek dari tulisan aslinya, namun tidak merubah tujuan dan sifat bahan aslinya. 2. Penelitian Lapangan Penulis terjun dilapangan untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan terhadap suatu pokok masalah yang ada dan erat hubungannya dengan problematika yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun metode yang dipergunakan untuk memperoleh data di lapangan adalah: a. Interview. Penulis mengadakan wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama dan Kepala Dikpora Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo, serta mewawancarai beberapa orang tokoh agama, tokoh pendidik, dan tokoh masyarakat untuk memperoleh data tentang manfaat dan pengaruh pendidikan Islam dalam pembentukan kreatifitas remaja. b. Observasi. Metode penelitian dengan cara mengamati sejauhmana peranan dan pembentukan kreatifitas remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo . c. Dokumentasi. Penulis mengumpulkan data dari dokumen atau catatan-catatan yang ada dilokasi penelitian kemudian dikutip dalam bentuk tabel. 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam mengolah data yang terkumpul, penulis menempuh cara kualitatif, yaitu penulis hanya menitik beratkan pembahasan skripsi pada segi-segi nilai kemudian disusun atau dikumpul secara baik dan teratur lalu dianalisa. Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data yang terkumpul tersebut, adalah: 1. Induktif. Suatu cara berfikir dengan memecahkan persoalan yang bertitik tolak dari pengalaman atau pengetahuan yang khusus dan fakta-fakta tertentu, yang kemudian penulis mengemukakan suatu kesimpulan yang bersifat umum. 2. Deduktif. Suatu cara berfikir dengan memecahkan persoalan yang bertolak dari hal dasar serta kaedah-kaedah umum, kemudian menganalisis atau menjabarkannya ke hal-hal yang khusus. 3. Komparatif. Suatu cara berfikir dengan menganalisis data dan mengambil kesimpulan dengan terlebih dahulu membandingkan antara beberapa pendapat atau beberapa data yang ada. G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Untuk menguraikan masalah tersebut, penulis terlebih dahulu membahas tujuan penelitian kemudian kegunaannya. 1. Tujuan Penelitian. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah untuk: a. Untuk mengetahui Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo. b. Untuk mendeskripsikan bentuk kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. 2. Kegunaan Penelitian. Kegunaan penelitian yang dilakukan oleh penulis tersebut, adalah : a. Kegunaan ilmiah yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan di era sekarang ini, menuntut adanya usaha mengatasi kenakalan remaja melalui pemberdayaan pendidikan Islam. b. Kegunaan praktis yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara serta agama. Bahwa dengan pembahasan tentang upaya mengantisipasi kenakalan remaja, maka diharapkan setiap anak memiliki sikap mental yang terpuji sebagaimana yang dikehendaki ajaran Islam. H. Sistematika Pembahasan Sebelum penulis lebh jauh membahas judul skripsi ini, terebih dahulu diuraikan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, pendahuluan meliputi subbahasan latar belakang masalah sebagai alasan memilih judul yang melahirkan rumusan masalah, lalu diajukan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah diajukan. Pengertian judul, tinjauan pustaka serta metode yang dipergunakan dalam meneliti dan tujuan maupun kegunaan penelitian serta sistematika pembahasan. Bab kedua, deskripsi lokasi lokasi penelitian meliputi subbahasan gambaran umum Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo, keadaan demografis, serta keadaan agama, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo. Bab ketiga, adalah tinjauan pustaka tentang eksistensi BKPRMI sebagai wadah pemuda remaja masjid, yang meliputi pengertian dan eksistensi BKPRMI, dasar yang melatar belakangi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan, urgensi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan. Masalah kenakalan remaja meliputi sub bahasan pengertian kenakalan remaja dan aspek-aspek yang menyebabkan kenakalan remaja. Bab keempat, adalah hasil penelitian dan pembahasan meliputi sub bahasan bentuk-bentuk kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo, Manfaat dan pengaruh pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo dan peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kab.Wajo. Bab kelima adalah bab penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran. DAFTAR PUSTAKA Alquranul Kariem Ahmadi, Abu. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Bandunga: Armico, 2006 Anshari, Endang Saifullah. Kuliah Islam, Bandung: Pustaka, 2007 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Attas, S.Muhammad al Naquib al Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2004 Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2009 _______. Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan Bintang, 2002 _______. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 2000 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab suci al Quran, 2003 _______. Psikologi Jilid I B, Cet. I Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Guru Agama, 2006 Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Proyek Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, 2005 Idris, Zahara. Dasar-Dasar Kependidikan, Padang: Angkasa Raya, t.th Indrakusuma, Amir Daien. Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.th Ja’far, M. Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 2001 Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 2000 Natsir, M. Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003 Qasyimi, Jamaluddin al. Muidzat al Mukminien, diterjemahkan oleh: Mohd Abdai Ratomy, dengan judul: “Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin”, Bandung: Deponegoro, 2005 Saifullah, Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.th Shiddieqy, Hasbi as. Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 2007 _______. al Islam, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 2007 Sidi Gazalba, Azas agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005 Soekarno, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 2000 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XVIII Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004 Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian, Jakarta: CV Rajawali, 2005 Syaibani, Omar Mohammad al Toumi al. Falsafatut Tarbiyyah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung, dengan judul: “Falsafah Pendidikan Islam” Jakarta: Bulan Bintang, 2009 Syalabi, Ahmad. Tarikh at Tarbiyyah Al Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Muchtar yahya, dengan judul: “Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2003 Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Tp, t.th Urgensi Pelaksanaan Pendidikan Agama Dalam Penanggulangaan kenakalan Remaja, “Warta Alauddin”, No. 62/XI, Maret, 2002 Witherington, H.Carl. Educational Psychologi, diterjemahkan oleh: M. Buchary, dengan judul: “Psikologi Pendidikan”, Jilid I, Bandung: Jemmars, 2006 Wulyo, Kamus Psikologi, Surabaya: Bintang Pelajar, t.th Zahrimini, H. Metodikm Khusus Pendidikan Agama, Cet. VIII Surabaya: Usaha Nasional, 2003 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukhary al Ju’fy, Shohih Bukhary, Juz 1 Beirut : Dar Ibn Katsir al Yamamah, 2007 Muslim bin al Hujjaj Abu al Husain al Qusyairy al Naisabury, Shihih Muslim, Juz 1 Beirut : Dar Ihya al Turats al Araby, t.th KOMPOSISI BAB BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Hipotesis D. Pengertian Judul E. Tinjauan Pustaka F. Metode Penelitian G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian H. Sistematika Pembahasan. BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Selayang Pandang Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kecamatan Tanasitolo Kab. Wajo B. Keadaan demografis, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya BAB III. TINJAUAN TEORITIS TENTANG BKPRMI SEBAGAI WADAH PEMUDA REMAJA MASJID, PENDIDIKAN ISLAM DAN KENAKALAN REMAJA A. Eksistensi BKPRMI 1. Eksistensi BKPRMI 2. Dasar yang melatar belakangi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan Islam 3. Urgensi eksistensi BKPRMI dalam pembangunan pendidikan Islam. B. Tinjauan tentang Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam 2. Dasar Pendidikan Islam 3. Tujuan Pendidikan Islam C. Masalah Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja 2. Aspek-aspek yang menyebabkan kenakalan remaja BAB IV. HASIL PENELITIAN B. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo C. Manfaat dan Pengaruh Pendidikan Islam dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo D. Peranan organisasi remaja masjid dalam mengantisipasi kenakalan remaja di Desa Ujunge Kecamatan Tanasitolo Wajo BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA