a. Pola asuh
orangtua terhadap anak
Keluarga
merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi.
Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah
besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam
proses perkembangan anak.
Salah satu faktor
dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian
adalah praktik pengasuhan anak. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat
Brown yang mengatakan bahwa “keluarga adalah lingkungan yang pertama kali
menerima kehadiran anak”[1]
Orangtua
mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh
putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orangtua dipengaruhi oleh budaya
yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orangtua juga diwarnai
oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan
putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada
anaknya yang berbeda-beda, karena orangtua mempunyai pola pengasuhan
tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch, terdiri dari tiga
kecenderungan hubungan orangtua dengan anak dalam arti pola asuh orangtua
yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokartis, dan (3) pola asuh permisif.[2]
Sebagai pengasuh
dan pembimbing dalam keluarga, orangtua sangat berperan dalam meletakan
dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan
orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua
itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula
bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak
mengidentifikasikan diri pada orangtuanya sebelum mengadakan identifikasi
dengan orang lain.[3]
Faktor lingkungan
sosial memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak)
ialah keluarga khususnya orangtua terutama pada masa awal (kanak-kanak) sampai
masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orangtua cenderung menggunakan pola
asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan
dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku tertentu pada
anaknya. Salah satu perilaku yang muncul dapat berupa perilaku agresif.
Hubungan orangtua
dengan anak dalam arti pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan
orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti
orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Kohn dalam Taty
Krisnawaty, menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orangtua dalam
berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara
orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan
terhadap anaknya.[4]
Dalam melakukan
tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orangtua
tersebut. Peranan orangtua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan
anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
Melly Budiman,
mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak
supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik. Bila kasih
sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam
hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan
tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak.[5]
Sebenarnya,
setiap orangtua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa
sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya; perbedaan itu akan nampak
dalam pola asuh yang diterapkan.
a. Pola asuh otoriter
Menurut Stewart
dan Koch, orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai
berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik.[6] Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh
pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan
tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orangtua tidak
mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi
pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak
dewasa. Dalam penelitian Walters dalam Lindgren, ditemukan bahwa orang
yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik[7], sedangkan menurut Sri Mulyani Martaniah, orangtua yang otoriter amat berkuasa terhadap
anak, memegang kekuasaaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada
perintah-perintahnya.[8] Dengan berbagai cara, segala tingkah
laku anak dikontrol dengan ketat. Sementara itu, menurut Sutari Imam
Barnadib, dikatakan bahwa orangtua yang
otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta
mengutarakan perasaan-perasaannya.[9]
b. Pola asuh demokratis
Baumrind dan Black
dalam Hanna Wijaya, dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik
asuhan orangtua demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri
maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan
berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.[10] Stewart dan Koch, menyatakan bahwa
orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan
anak. Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi
anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi
dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan
menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya.[11] Dalam bertindak, mereka selalu
memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak
secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. Menurut
Hurlock, pola asuhan demokratik ditandai dengan ciri-ciri bahwa anak-anak
diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya, anak
diakui keberadaannya oleh orangtua, anak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan.[12] Sutari Imam Barnadib mengatakan bahwa orangtua yang demokratis
selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi
nasihat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak
berkaitan dengan persoalan-persoalannya.[13] Pola asuhan demokratik seperti dikemukakan
oleh Bowerman Elder dan Elder dalam Conger, memungkinkan semua keputusan
merupakan keputusan anak dan orangtua[14]
c. Pola asuh permisif.
Stewart dan Koch,
menyatakan bahwa orangtua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu
memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak
dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi
mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk
mengatur dirinya sendiri dan orangtua tidak banyak mengatur anaknya.[15] Menurut Spock, orangtua permisif
memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam
melaksanakan disiplin pada anak.[16] Hurlock, mengatakan bahwa pola asuhan permisif
bercirikan adanya kontrol yang kurang, orangtua bersikap longgar atau bebas,
bimbingan terhadap anak kurang.[17] Sementara itu, Bowerman, Elder dan Elder
dalam Conger, mengatakan, ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih
banyak dibuat oleh anak daripada orangtuanya.[18]
Sutari Imam
Bamadib, menyatakan bahwa orangtua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan
peraturan-peraturan yang ada, dan anak diberikan kesempatan
sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya.[19]
Lewin, Lippit,
dan White dalam Gerungan, mendapatkan keterangan bahwa kelompok anak laki-laki
yang diberi tugas tertentu di bawah asuhan seorang pengasuh yang berpola
demokratis tampak bahwa tingkah laku agresif yang timbul adalah dalam taraf
sedang. Kalau pengasuh kelompok itu adalah seorang yang otoriter maka
perilaku agresif mereka menjadi tinggi atau justru menjadi rendah.[20]
Hasil yang ditemukan oleh Lewin dkk
tersebut diteruskan oleh Meuler dalam Gerungan, dalam penelitiannya dengan
menemukan hasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua yang otoriter banyak
menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada
pengasuhnya[21]. Watson, menemukan bahwa di samping
sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus
asa.[22] Baldin dalam Gerungan, menemukan dalam
penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang
otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orangtua demokratis
menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan.[23] Sebaliknya, semakin otoriter orangtuanya
makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan
sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut. Jadi setiap
hubungan orangtua dengan anak dalam arti pola asuh orangtua akan berpengaruh
terhadap anak asuhannya dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya
keagresifan pada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar