Selasa, 21 September 2010

H. Mahmud Sapsal Barugae: Tinjauan psikologis tentang orangtua dan anak



a. Pola asuh orangtua terhadap anak

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi.  Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya.  Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak.
Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak.  Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Brown yang mengatakan bahwa “keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak”[1]
Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya.  Dalam mengasuh anaknya orangtua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya.  Di samping  itu, orangtua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya.  Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orangtua mempunyai pola pengasuhan tertentu.  Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch, terdiri dari tiga kecenderungan hubungan orangtua dengan anak dalam arti pola asuh orangtua yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokartis, dan (3) pola asuh permisif.[2]
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orangtua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya.  Sikap, perilaku, dan kebiasaan orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya.  Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orangtuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.[3]
Faktor lingkungan sosial memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak) ialah keluarga khususnya orangtua terutama pada masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja.  Dalam mengasuh anaknya orangtua cenderung menggunakan pola asuh tertentu.  Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku tertentu pada anaknya.  Salah satu perilaku yang muncul dapat berupa perilaku agresif.
Hubungan orangtua dengan anak dalam arti pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.  Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Kohn dalam Taty Krisnawaty, menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.  Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.[4]
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orangtua tersebut.  Peranan orangtua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
Melly Budiman, mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik.  Bila kasih sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak.[5]
Sebenarnya, setiap orangtua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam  penerapannya; perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan.

a. Pola asuh otoriter
Menurut Stewart dan Koch, orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik.[6]  Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak.  Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian.  Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.  Dalam penelitian Walters dalam Lindgren, ditemukan bahwa orang yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik[7], sedangkan menurut Sri Mulyani Martaniah,  orangtua yang otoriter amat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya.[8]  Dengan berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat.  Sementara itu, menurut Sutari Imam Barnadib,  dikatakan bahwa orangtua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya.[9]

b. Pola asuh demokratis
Baumrind dan Black dalam Hanna Wijaya, dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orangtua demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.[10]  Stewart dan Koch, menyatakan bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan anak.  Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.  Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya.[11]  Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.  Menurut Hurlock, pola asuhan demokratik ditandai dengan ciri-ciri bahwa anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya, anak diakui keberadaannya oleh orangtua, anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.[12]  Sutari Imam Barnadib  mengatakan bahwa orangtua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasihat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya.[13] Pola asuhan demokratik seperti dikemukakan oleh Bowerman Elder dan Elder dalam Conger, memungkinkan semua keputusan merupakan keputusan anak dan orangtua[14]





c. Pola asuh permisif.
Stewart dan Koch, menyatakan bahwa orangtua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orangtua tidak banyak mengatur anaknya.[15]  Menurut Spock, orangtua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin pada anak.[16] Hurlock, mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan adanya kontrol yang kurang, orangtua bersikap longgar atau bebas, bimbingan terhadap anak kurang.[17]  Sementara itu, Bowerman, Elder dan Elder dalam Conger, mengatakan, ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orangtuanya.[18]
Sutari Imam Bamadib, menyatakan bahwa orangtua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan anak diberikan  kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya.[19]
Lewin, Lippit, dan White dalam Gerungan, mendapatkan keterangan bahwa kelompok anak laki-laki yang diberi tugas tertentu di bawah asuhan seorang pengasuh yang berpola demokratis tampak bahwa tingkah laku agresif yang timbul adalah dalam taraf sedang.  Kalau pengasuh kelompok itu adalah seorang yang otoriter maka perilaku agresif mereka menjadi tinggi atau justru menjadi rendah.[20]
            Hasil yang ditemukan oleh Lewin dkk tersebut diteruskan oleh Meuler dalam Gerungan, dalam penelitiannya dengan menemukan hasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya[21].  Watson, menemukan bahwa di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa.[22]  Baldin dalam Gerungan, menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orangtua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan.[23]  Sebaliknya, semakin otoriter orangtuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut.  Jadi setiap hubungan orangtua dengan anak dalam arti pola asuh orangtua akan berpengaruh terhadap anak asuhannya dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya keagresifan pada anak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar