Selasa, 21 September 2010

III. TINJAUAN TEORITIS TENTANG GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN MASALAH ANAK PUTUS SEKOLAH


Muhlis. M


A. Guru Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam
Dalam kegiatan proses belajar mengajar sehari-hari di kelas, diajarkan beberapa mata pelajaran dengan mengacu kepada Struktur Pengajaran yang ditetapkan dalam Kurikulum, termasuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, sehubungan dengan hal tersebut, diantara beberapa orang guru yang bertugas pada salah satu satuan pendidikan, terdapat guru yang diangkat khusus untuk mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yang selanjutnya disebut guru PAI.
Untuk menguraikan secara detail tentang pengertian Guru PAI tersebut, penulis terlebih dahulu akan membahas secara terpisah dan terperinci mengenai arti Guru dan Agama Islam.
a. Arti guru.
Mengenai istilah guru terdapat beberapa argumentasi para ahli. Supeno menyebutkan bahwa kata guru berarti “panutan, dapat ditiru atau dijadikan teladan”[1] Dengan demikian secara umum  “guru” dapat diartikan sebagai orang yang dalam tutur kata, gerak-gerik dan perbuatannya bisa dianut dan dijadikan teladan oleh masyarakat umum.
Roestiyah berpendapat bahwa dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai :
Seseorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Pendapat lain mengatakan bahwa “teacher is a person who causes a person to knowledge or skill” atau minimal dapat diartikan bahwa guru adalah seseorang yang menyebabkan orang lain mengetahui atau mampu melaksanakan sesuatu atau yang memberikan pengetahuan atau keterampilan kepada orang lain. [2]

Dengan demikian guru pada dasarnya adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dengan tugas utama mengajar. Jadi jabatan atau pekerjaan guru adalah pekerjaan yang bersifat profesional, artinya pekerjaan yang hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan karena tidak dapat atau tidak memperoleh pekerjaan lainnya.
Mursal H.M.Taher, mengemukakan bahwa guru adalah “. . . yang mengasuh dan memberikan mata pelajaran khusus yang dikuasainya”[3]
Jelas dipahami bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain, atau guru adalah seorang yang menyebabkan orang lain mengetahui atau mampu melaksankan sesuatu atau yang memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain.
b. Arti agama.
Hasbi as Siddieqy, mengemukakan bahwa agama adalah :
Suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntut para ummat yang berakal kuat yang suka tunduk dan patuh kepada kebaikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia, kejayaan dan kesentausaan akhirat . . .[4]

Agama adalah ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt., dan mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk sehingga memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat.
Mustafa Assiba’i, mengemukakan bahwa agama adalah :
Satu peraturan (Nidzam) yang meliputi masalah masalah kepercayaan (aqidah) adan ibadah yang menghubungkan ikatan segenap ummat manusia antara satu dengan yang lain, dan mempersatukan pemeluknya, sehingga menjadi satu ummat yang dijiwai oleh kesatuan rohani.[5]

Berdasarkan pengertian di atas, jelas bahwa agama adalah amanah yang ditetapkan oleh Allah swt, kepada manusia, guna memperoleh kebahagiaan dan kesejahtraan dunia dan akhirat kelak.
Dengan demikian pengertian guru agama Islam adalah seorang perencana dan pelaksana pelajaran agama kepada peserta didik agar dapat diketahui sekaligus diamalkan dalam kehidupannya.
Guru agama Islam adalah Guru yang mengajarkan materi bidang studi agama (Islam) pada sekolah-sekolah “. . . diangkat oleh Departemen Agama sesuai dengan Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama”.[6]
Pada hakikatnya dipahami bahwa guru Agama Islam, adalah :
Agen pembaharuan, dalam arti menjembati pengetahuan Islam generasi lalu dengan generasi sekarang, Pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat, Fasilitator memungkinkan tercapainya kondisi yang baik bagi subyek didik untuk belajar, Bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa dan bertanggung jawab secara profesional untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya, serta Menunjang tinggi kode etik profesional.[7]

Dari keterangan-keterangan di atas, penulis berkesimpulan bahwa guru Pendidikan Agama Islam adalah orang dewasa jasmani dan rohani yang dibebani tugas untuk mengarahkan peserta didik sehingga dapat menghayati sekaligus mengamalkan ajaran agama Islam.
c. Syarat menjadi GPAI
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan agama Islam merupakan suatu usaha untuk memanusiawikan manusia dalam arti membentuk kepribadiannya sehingga menjadi pribadi muslim yang senantiasa mengamalkan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya, guru yang mengemban tugas untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut, harus profesional dan memiliki kepribadian yang terpui. Untuk itu, dalam mengemukakan syarat-syarat menjadi guru Pendidikan Agama Islam, penulis uraikan dalam dua bagian, yaitu :
1) Syarat profesional.
Yaitu calon guru Pendidikan Agama Islam harus berijazah tarbiyah. Dalam hal ini calon GPAI tersebut memiliki disiplin ilmu tertentu sesuai yang akan diajarkan kepada peserta didik, sebagaimana yang disahkan dan diakui  atau dinyatakan berdasarkan kualifikasi ijazah yang dimilikinya.
2) Syarat Kepribadian.
Menurut Mohd. Atiyah al Abrosyi, syarat kepribadian yang penting dimiliki oleh seorang guru pendidikan agama Islam, adalah :
1) Zuhud, yaitu mengajar dengan maksud mencari keridhaan Tuhan.
2) Kebersihan yaitu kebersihan lahir dan batin.
3) Ikhlas dalam pekerjaan, yaitu sesuai kata dengan perbuatan, serta berterus terang.
4) Pemaaf, yaitu sanggup menahan diri dari kemarahan, lapang hati dan sabar.
5) Seorang guru merupakan seorang bapak, dalam hal ini guru menempatkan murid-murtidnya sebagai anak kandung sendiri.
6) Mengetahui tabiat murid, yaitu tentang pembawaan adat kebiasaan, serta tingkat kecerdasannya.
7) Menguasai mata pelajaran.[8]

Memperhatikan syarat kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang calon GPAI, sebagaimana yang dikemuka-kan di atas, dapat dipahami bahwa guru Pendidikan Agama Islam merupakan seorang yang memiliki sikap mental  terpuji dan patut ditauladani baik oleh peserta  didik maupun  oleh masyarakat pada umumnya.
Syarat lain yang harus dimiliki atau dipenuhi oleh seorang calon guru Pendidikan Agama Islam, adalah sehat jasmani dan rohani.
1) Sehat jasmani.
 Setiap calon guru pendidikan agama islam, harus sehat jasmani, yang dinyatakan dengan tanda bukti dari yang berwenang, bahwa yang bersangkutan :
1) Tidak menderita penyakit menahun (kronis) dan atau menular,
2)         Tidak  memiliki cacat  tubuh  yang  dapat menghambat pelaksanaan tugas sebagai pendidik.[9]
2) Sehat rohani.
Yaitu bahwa calon guru Pendidikan Agama Islam ter-sebut tidak mempunyai kelainan rohani, misalnya sakit ayan dan sebagainya.
Jadi jelas bahwa seorang calon guru Pendidikan Agama Islam harus memenuhi beberapa syarat untuk dapat diangkat sebaga tenaga pengajar  pada  mata pelajaran tersebut, baik menyangkut persyaratan formal atau profesional, maupun persyaratan yang menyangkut kepribadian dan kesehatan jasmani dan rohani.

2. Kompetensi Guru PAI

Sebagaimana telah diketahui bahwa perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya terletak pada tugas dan tanggung jawab,  dalam  hal ini tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan dasar yang disyaratkan untuk memangku profesi guru, sebagai suatu kompetensi dasar guru tersebut.
Broke and stone dikutif Uzer, mengatakan Descriptive of cualitative natur or teacher behavior appears to be entirely meaningful. Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti. [10]
Kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Mohd. Uzer Usman, mengemukakan bahwa kompetensi, adalah “kemampuan dan kewenangan guru  dalam melaksanakan profesi keguruannya”.[11]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “profesional” berarti memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Selanjutnya Sudjana mengemukakan bahwa :
Kata profesional berasal dari kata sifat  yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus  dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.[12]

Kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Roestiyah dalam Masalah Ilmu Keguruan, mengemukakan  bahwa :
Competence is ordinarily defined as adecuacy for a task or as possession of require knowledge, skill and abilities. Kompetensi sebagai suatu tugas yang memadai atau suatu pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang, dalam arti lebih dititik beratkan pada tugas seorang guru dalam kegiatan proses belajar mengajar.[13]

Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab dan layak.
Dikemukakan oleh Cooper yang dikutip Sujana, bahwa  kompetensi guru, yaitu :
 . . . pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia; Mempunyai pengetahuan dan penguasaan bidang studi yang dibinanya; Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya; Mempunyai keterampilan teknik mengajar.[14]

Sedangkan Glasser ada 4 hal yang harus dikuasai oleh guru, yakni :
Kemampuan menguasai bahan/materi pelajaran; Kemampuan mendiagnosa tingkah laku siswa : Kemampuan melaksanakan proses pengajaran; dan kemampuan mengukur hasil belajar siswa.[15]

Mengenai kompetensi dasar guru, juga telah dikembangkan oleh Proyek Pembinaan dan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud, yang melihat kompetensi berdasar dari analisis tugas guru, baik sebagai pengajar, pembimbing, maupun sebagai administrator kelas. Untuk itu terdapat 10 kompetensi dasar guru, yaitu :
1) Mengenai bahan;
2) Kemampuan mengelola program belajar mengajar;
3) Kemampaun mengelola kelas;
4) Menggunakan media/sumber belajar;
5) Menguasai landasan kependidikan; 
6) Mengelola interaksi belajar mengajar;
7) Menilai/mengevaluasi prestasi belajar;
8)   Kemampuan mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan.
9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah;
10)  Kemampuan memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.[16]

Dengan penguasaan kompetensi dasar tersebut secara mantap dan menyeluruh, seorang guru akan lebih profesional dan akurat serta mapan dalam melaksanakan tugas yang diembannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik, sehingga hasil belajar mengajar dapat dicapai secara optimal oleh peserta didik.
Dari beberapa keterangan yang telah diuraikan, dipahami bahwa kompetensi dasar guru pada hakikatnya dapat dirangkum menjadi tiga bidang, yaitu :
Bidang kognitif, yang berarti kemampuan intelektual, seperti penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, strategi dan interaksi belajar mengajar, pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan, kemampuan mengelola kelas dengan baik dan benar, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan, dan pengetahuan umum lainnya.
Bidang afektif. Kompetensi dibidang sikap tersebut  adalah  dimaksudkan  sebagai kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Seperti menghargai pekerjaannya, mencintai dan senang terhadap bidang studi yang diajarkannya, sikap toleransi terhadap sesama teman seprofesi, memiliki tekad dan kemauan keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya, dengan kata lain siap mental terhadap berbagai hal.
Bidang prilaku atau perfomance; artinya kemampuan guru dalam berbagai bidang keterampilan atau perilaku. Seperti keterampilan mengajar, keterampilan membimbing, menilai, menggunakan alat bantu atau media pendidikan, bergaul dan berkomunikasi dengan anak didik, keterampilan menyusun materi pelajaran atau membuat Satuan Acara Pengajaran, melaksanakan administrasi sekolah, mengelola kelas dan sebagainya. Perbedaan kompetensi tersebut dengan kompetensi kognitif terletak pada sifatnya, yaitu pada kompetensi kognitif ditekankan aspek teori atau pengetahuan, sedangkan kompetensi prilaku ditekankan pada masalah praktek atau keterampilan pelaksanaan.
Dengan penguasaan kompetensi dasar tersebut secara mantap dan menyeluruh, seorang guru akan lebih profesional dan akurat serta mapan dalam melaksanakan tugas yang diembannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik, sehingga hasil belajar mengajar dapat dicapai secara optimal oleh peserta didik.

3. Peranan dan Tugas Guru PAI
Untuk membahas secara detail tentang masalah tersebut, penulis akan menguraikan secara terpisah dan terperinci mengenai peranan guru dalam proses belajar kemudian tugas-tugas yang diemban guru.
a. Peranan guru
Peranan guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adam dan Decey yang dikutif Uzer, antara lain bahwa peranan guru adalah : “Sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator, dan konselor.”[17]
Seorang guru pada dasarnya mempunyai fungsi ganda atau multi fungsi yang harus diketahui dan dikuasai dengan baik, seperti :
1) Sebagai fasilitator; ia bertugas dalam proses belajar mengajar dengan disertai persiapan dan perencanaan pembelajaran, memperbaiki dan mengubah cara mengajar sehingga menjadi efektif dan efisien, guna membangkitkan kreativitas siswa dan mewujudkan suasana yang kompetitif.
2) Sebagai motivator; ia harus berusaha mendorong anak didiknya agar selalu berusaha mencapai hasil belajar yang maksimal. Untuk mencapainya, guru harus menjadi penggerak atau pendorong semangat yang tinggi kepada peserta didik.
3) Sebagai komunikator; dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, guru harus mampu menyediakan informasi atau menyalurkan pengetahuan terhadap siterdidik yang sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya dan lebih khusus kepada anak didik itu sendiri.
4) Sebagai  transformator; Guru dapat bertindak sebagai sosok yang mampu membelajarkan anak didik, sehingga memperoleh perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan.
5) Sebagai  informator;  guru adalah digugu, sehingga sikap mental yang terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk tindakan dan ucapan maupun cara berfikirnya, harus bernilai educatif bagi peserta didik.
6) Sebagai Agent of change, guru harus mampu menjembatani pengetahuan dan penemuan-penemuan generasi terdahulu kepada generasi muda atau anak didik.
7) Sebagai administrator; guru dapat menjadi administrator dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, atau adminstrasi instruksional dalam melaksanakan tugasnya yang multi fungsional.[18]

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa seorang guru berperan sebagai sebagai pembaharu bagi siterdidik. Artinya bahwa guru menjembatani pengetahuan antara generasi terdahulu dengan peserta didik.
Balnadi Sutradipura mengatakan, peranan guru adalah sebagai berikut :
Membimbing anak didik kearah pengalaman-pengalaman dimana kegiatan belajar itu dapat berlangsung; Memberikan kepada anak didik suatu kekuatan dan motivasi serta memberikan kepadanya kewaspadaan yang memadai. Pada suatu saat mengusahakan perhatian mereka terhadap suatu tujuan.[19]

Guru pada hakikatnya berperan untuk memberikan dorongan dan motivasi kepada peserta didik kemudian mengarahkannya menuju tujuan yang dicita-citakan.
Gunarsah, mengemukakan peran guru sebagai berikut :
Mengawasi dan membantu anak dalam menghadapi kesukaran yang tak teratasi Memberikan sejumlah ilmu pengetahuan sesuai dengan tugasnya. Di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemimpin, dalam arti memimpin segala aktivitas yang ada di dalam kelas dan membuka acara pelajaran.[20]

Peran guru disini adalah sebagai pendampin peserta didik dalam hal memberi bimbingan kepada peserta didik sehingga dapat mengatasi masalah yang dihadapinya.
Selanjutnya Groply dalam Sarjan Kadir, bahwa pada dasarnya peranan seorang guru antara lain :
Untuk memberikan pengetahuan dan menanamkan konsep dasar tentang nilai-nilai moral dan nilai agama bagi anak didik. Sebagai tenaga pembentuk sikap dan karakter dalam arti menciptakan pola tingkah laku sebagai sendi dan corak dalam bentuk pergaulan yang dilandasi oleh azas kemanusiaan yang adil dan beradab. Menanamkan keterampilan pada anak didik.[21]

Sardiman menyatakan bahwa peranan seorang guru adalah :

Sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasehat-nasehat, motivasi, sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan.[22]

Bertitik tolak dari keterangan-keterangan di atas, jelas dapat dipahami bahwa peran yang diemban guru adalah sebagai sumber belajar bagi anak atau peserta didik, dan akan membelajarkan anak atau peserta didik tersebut dengan berbagai pendekatan, sehingga memperoleh perubahan sikap, baik dari segi kognitif, maupun dai segi afektif dan psikomotorik.

b. Tugas guru
Guru sebagai tenaga pendidik mempunyai tugas utama, yaitu membimbing, mengajar dan melatih peserta didik, maka dalam perkembangan pendidikan dewasa ini, tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Tugas profesional, yaitu tugas karena jabatannya sebagai guru. Dalam hal ini guru bertugas sebagai pendidik (pembina kepribadian), pengajar (pembina intelek), pelatih (pembina keterampilan), peneliti, pengelola, pembimbing dan konsultan (pemberi nasehat).
2) Tugas kemanusiaan, yaitu transformasi dirinya sendiri. Dalam hal ini guru bertugas mendidik dirinya sendiri dan menempatkan dirinya pada kepentingan anak didik. Guru di sekolah merupakan orang tua kedua.
3) Tugas kemasyarakatan, terutama untuk membentuk manusia menjadi warga negara Indonesia yang baik (berdasarkan Pancasila dan UUD’45). Dalam hal ini guru adalah pahlawan yang menciptakan masa depan dan penggerak kemajuan.[23]

Tugas profesional guru sebagaimana yang disebutkan di atas, terkait dengan kualifikasi profesional (professional role) yang dimiliki guru, yang berarti kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidangnya, sehingga diharapkan dengan kemampuan dan keahliannya dapat memberi dan mentransfer sejumlah pengetahuan dan pengalaman kepada siswa. Dalam konteks ini, guru mempunyai tanggung jawab dalam pemberian disiplin sekaligus mampu berbuat secara disiplin.
Tugas kemanusiaan, terkait dengan pribadi guru itu sendiri dalam kapasitasnya sebagai pendidik. Untuk itu, guru perlu senantiasa menatap diri dan memahami dirinya sebagai orang yang selalu ditiru dan diteladani. Guru harus mampu memahami dirinya dalam tiga dimensi dan dalam wujud yang satu, yaitu saya dengan konsep diri saya yang sebenarnya (self concept), saya dengan ide diri saya (self idea), dan saya dengan realita diri saya (self reality). Pengenalan guru terhadap diri dan eksistensinya sebagai seorang guru dapat mengantar dalam mengadakan refleksi diri terhadap tugas yang dilakukan.
Tugas kemasyarakat, sebagai salah satu misi yang harus diemban oleh guru dalam proses memanusiawikan manusia, maka guru dituntut untuk dapat mengabdikan diri kepada masyarkat sebagai wujud pelayanan kepada manusia (gogos humaniora). Oleh karena itu, diperlukan kemampuan guru dalam memahami perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk adat istiadat, yang terdiri dari kultur dan kondisi social masyarakat yang bervariasi dan beragama.
Keterangan tentang tugas guru yang diuraikan tersebut, identik dengan tugas guru yang diuraikan oleh Moh. Uzer Usman, sebagai berikut :
1) Tugas guru sebagai profesi, meliputi tugas mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup,  mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
2) Tugas guru dalam bidang kemanusiaan  di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.
3) Tugas kemasyarakatan, terutama untuk membentuk manusia menjadi warga negara Indonesia yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam hal ini guru adalah pahlawan yang menciptakan masa depan dan penggerak kemajuan.[24]

Dengan demikian tugas guru meliputi segala aspek kehidupan manusia, sehingga ia dituntut profesionalisme untuk memperoleh kinerja yang positif dalam memanusiawikan manusia.  Oleh karena itulah, untuk diangkat menjadi seorang guru, harus memenuhi syarat profesional, yaitu berijazah guru/tarbiyah, dan memenuhi syarat kepribadian, antara lain :
Zuhud, yaitu mengajar dengan maksud mencari keredhaan Tuhan Kebersihan, yaitu bersih lahir dan bathin. Ikhlas dlam pekerjaan, yaitu sesuai kata dengan perbuatan, serta berterus terang. Pemaaf, yaitu sanggup menahan diri  dari kemarahan, lapang hati dan sabar. Seorang guru merupakan seorang bapak, dalam hal ini guru menempatkan murid-muridnya sebagai anak sendiri. Mengetahui tabiat murid, yaitu tentang pembawaan dan adat kebiasaan, serta tingkat kecerdasannya. Menguasai mata pelajaran.[25]

Bertitik tolak dari keterangan-keterangan pada sub ini, penulis menarik kesimpulan, bahwa peranan dan tugas guru adalah sebagai pembimbing, pengajar, pelatih terhadap siterdidik sehingga memperoleh perubahan sikap, baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya.
4. Kode Etik Guru
Kode Etik Guru, sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konprensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik berfungsi untuk mendinamisit setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya demi kemaslahatan orang lain. Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pilihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihlnya.
Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik.[26]
Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik.

 

B. Masalah Anak Putus Sekolah
Hampir di setiap tempat banyak anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tua yang memprihatinkan. Disadari bahwa kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan. Kondisi ekonomi seperti ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya.[27]
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak putus sekolah (drop out) antara lain adalah:
1.      Keadaan Kehidupan Keluarga
Kita ketahui bahwa pendidikan itu tidak hanya berlangsung di sekolah (pendidikan formal), akan tetapi dapat juga berlangsung di dalam keluarga (pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya anak dalam pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan utama diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Begitu anak dilahirkan ke dunia masih dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat ini sangat membutuhkan bantuan terutama dari kedua orang tua dan anggota keluarga yang lainnya sampai anak menjadi dewasa. Di sinilah anak memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap kepemimpinan orang tuanya, kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.[28]
Jika orang tua selalu menunjukkan sikap keras terhadap anak-anaknya, maka anak akan menjadi bimbangan atau ragu-raguan di dalam dirinya, sehingga bagi mereka merupakan malapetaka yang bakal membawanya ke arah kehancuran.
Kehidupan keluarga yang harmonis dan penuh dengan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak serta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan anak.
Dalam hal ini Winarno Surachmad mengemukakan sebagai berikut:
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak, keluarga besar atau kecil, keluarga miskin atau berada. Situasi keluarga tenang, damai gembira atau keluarga yang sering cekcok, bersikap keras, ini akan mewarnai sikap anak, jumlah orang yang tinggal di dalam keluarga tersebut, nenek, paman, bibi, ini juga turut mempengaruhi perkembangan anak, pengaruh baik tetapi juga buruk dapat dipelajari anak dalam keluarga.[29]

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa keadaan sebuah rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan anak, karena di dalam keluargalah anak menerima kesan-kesan yang merupakan pengalaman pertama setelah seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan berakibat pada mentalnya si anak dan akan mengakibatkan keminderannya dalam pergaulan, sehingga anak akan malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan anak meninggalkan bangku sekolahnya.
Dalam pendidikan agama, peranan keluarga, terutama ibu adalah sangat dominan. Dalam pepatah Arab disebutkan:
الأُمُّ الْمَدْرَسَةُ الْكُبْرَا وَاْلأَفْضَالَ
Seorang ibu adalah sekolah yang besar dan utama.[30]
Dari pepatah di atas dapat disimpulkan bahwa ibulah fondasi utama dalam pendidikan anak. Jika ibu berhasil dalam mendidik dan mengasuh anak, berarti dia telah berhasil menciptakan bangsa yang baik.
Dari sinilah keluarga sangat menentukan pendidikan yang akan menentukan corak kehidupan anak. Selanjutnya juga tingkat pendidikan orang tua ikut mempengaruhinya. Hal ini seperti sering kita lihat keluarga yang mampu ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum tentu bisa berhasil dalam masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya keadaan keluarga yang ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang dimiliki maka sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang pendidikan.
Kemudian dari pada itu kehidupan seorang anak dalam keluarga sangat mendambakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Disini orang tua dituntut sangat hati-hati dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, agar tidak terlalu dimanjakan.
Dalam hal ini St. Vembriarto mengemukakan bahwa:
Anak yang dimanjakan sering berwatak tidak patuh, tidak dapat menahan emosinya dan menuntut orang lain secara berlebih-lebihan. Faktor manja dibiasakan dengan hal yang sifatnya tidak mendidik dengan kekhawatiran orang tua terhadap anak yang berlebihan, akan mengantarkan anak tidak suka pergi sekolah.[31]

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan kasih sayang kepada anak tidak perlu berlebih-lebihan, karena hal itu dapat menghilangkan rasa tanggung jawab yang ada pada diri anak dan memungkinkan si anak dapat menunjukkan sikap-sikap dan cara bertingkah laku yang tidak baik.
Apabila seorang anak yang mendapat kasih sayang secara berlebih-lebihan dari keluarganya, maka dalam tindakan mereka sering menuruti kata hatinya sendiri (menurut kehendaknya). Dengan demikian setiap perbuatan yang mereka lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang tidak baik, yang dapat menjadikan dirinya sebagai penjahat, pemalas dan sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak putus sekolah serta terbengkalai pendidikannya karena terlalu lalai dengan uang.
2.      Keadaan Ekonomi Orang Tua
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan.
Sayyidina Ali Kw. berkata yang artinya: “Dalam menuntut ilmu ada tiga Al yang harus diperhatikan: 1) Panjang masa dalam menuntut ilmu, 2) Ekonomi yang mendukung, 3) Ada keinginan. Ketiga hal tersebut adalah sejalan”.[32]
Dari perkataan Sayyidina Ali Kw di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam menuntut ilmu masa harus panjang (bukan cuma sebentar dalam menuntut ilmu), kemudian ada keinginan dari peserta didik, supaya dalam dia menuntut ilmu tidak lalai dan tidak mengingat yang lain selain belajar, serta ekonomi yang mendukung, yaitu dalam menuntut ilmu tersebut ekonomilah yang menentukan sukses tidaknya pendidikan seseorang serta tinggi rendahnya pendidikan.
Jelas bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor pendukung yang paling besar untuk kelanjutan pendidikan anak-anak, sebab pendidikan juga membutuhkan biaya besar. Selanjutnya Baharuddin M juga mengatakan bahwa: “Nampaknya di negara kita faktor dana merupakan penghambat utama, untuk mengejar ketinggalan kita dalam dunia pendidikan. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa dana yang cukup, tidak akan dapat diharapkan pendidikan yang sempurna.[33] Jadi, kurangnya biaya pendidikan, maka akan mengakibatkan pendidikan tertunda.
Bila dilihat dari segi perkembangan zaman sekarang ini, yaitu biaya pendidikan yang setiap tahun terus meningkat, kebutuhan pokok masyarakat terus meningkatkan harganya sedangkan mata pencahariannya semakin merosot, sehingga keadaan kehidupan semakin sulit dan melarat. Keadaan semacam ini bisa kita lihat secara langsung di negara kita sendiri Indonesia. Hal seperti ini akan mengakibatkan antara lain: anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena terpaksa membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itulah pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja.[34]
Hal yang seperti ini sering terjadi di kalangan keluarga yang kurang mampu dan akibatnya pendidikan anak terhambat. Dalam hal ini faktor dana dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa adanya dana yang cukup, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang sempurna. Hal-hal seperti inilah yang dapat menjadikan seorang anak menjadi putus.
3.      Keadaan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau menerima pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di sekolah guru mengajarkan seorang anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.
Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan, seperti fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya.
Baharuddin M, mengemukakan bahwa:
Apabila faktor sarana ini tidak terpenuhi, maka banyak murid usia  sekolah, maupun berbagi tingkat pendidikan yang tidak bisa bersekolah, atau tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Bila hal tersebut terjadi berarti “putus sekolah” pun terciptalah dikarenakan faktor tersebut. Yang vital adalah kurangnya pengadaan sarana tempat belajar dan pengadaan guru.[35]

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai. Sedangkan di negara Republik Indonesia sarana baik gedung sekolah maupun ruangan sekolah masih adanya kekurangan, jumlah gedung atau ruangan yang ada tidak dapat menampung seluruh aspek usia sekolah, sehingga masih ada anak yang ada lowongan untuk sekolah dan akhirnya si anak terpaksa meninggalkan masa sekolahnya.
Selanjutnya di samping kekurangan masalah sarana dan alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru.
Dalam hal ini Baharuddin M mengemukakan bahwa:
Apalagi di daerah telah di bangun fasilitas sekolah (sarana).Lalu guru tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak akan terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Kalau saja hal ini terjadi di jenjang lanjutan sekolah, ini berarti mereka disebut sebagai “putus sekolah sebelum bersekolah, dikarenakan oleh kekurangan tenaga guru tadi”.[36]

Dari kutipan di atas guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah. Di samping perlu banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat diperlukan kemampuan dan sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup menciptakan suasana yang harmonis. Di sekolah para guru dapat memberikan contoh-contoh yang baik dalam proses pendidikan dan pengajaran pada murid, agar mereka menjadi generasi yang handal dan utuh, beriman, berpegang teguh kepada agama, membela dan bertanggung jawab kepada tanah airnya, berwawasan luas, mempunyai kepribadian yang kuat, senang belajar dan mencintai orang seperti mencintai dirinya sendiri dan memiliki semangat gotong-royong.
Dalam hal ini, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:

Bagi anak didik, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang yang pertama sesudah orang tua yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Apa saja yang dilakukan oleh guru dinilai baik oleh anak dan sebaliknya apa saja yang tidak baik menurut guru juga tidak baik menurut anak. Jadi guru memegang tanggung jawab dan peranan yang amat penting terhadap pendidikan anak dalam rangka pembentukan kepribadiannya menjadi seorang yang bertakwa dan berintelektual.[37]

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru juga mempunyai peranan sangat penting dalam pendidikan anak. Jika guru tidak ada maka bisa mengakibatkan anak putus sekolah. Jika diperhatikan tentang masalah-masalah tersebut, maka akan tampak persoalannya walaupun masalah itu kelihatannya banyak dan bermacam-macam, tetapi sebenarnya dapat dikembalikan kepada sebab-sebab yang sedikit saja.

4.      Keadaan Masyarakat
Masalah kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebahagian besar kehidupannya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
A.H. Harahap mengemukakan bahwa:
Lingkungan masyarakat merupakan faktor yang cukup kuat dalam mempengaruhi perkembangan anak remaja yang sulit dikontrol pengaruhnya. Orang tua dan sekolah adalah lembaga yang khusus, mempunyai anggota tertentu, serta mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang pasti dalam mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat, di mana di dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Berlaku untuk segala tingkatan umur dan ruang lingkup yang sangat luas.[38]

Dari kutipan di atas, masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena di lingkungan masyarakat terdapat berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang positif dan ada yang negatif. yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat
Keadaan anak sejak ia dibesarkan di tengah-tengah masyarakat, maka apa saja yang ditemukan di dalamnya itulah menjadi pedoman yang bakal dicontohinya. Sebagaimana diketahui bahwa insting pada anak cukup kuat, sehingga anak akan sangat mudah terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana ia berada.
Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa mengemukakan bahwa: “Masyarakat sebagai ruang gerak di mana para remaja  dalam pengembangan diri, menemukan diri dan menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak khusus sesuai dengan yang masyarakat”.[39]  Namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat.
Jadi kehidupan manusia di dalam masyarakat adanya hubungan timbal balik dalam mengembangkan, menetapkan dirinya serta turut berperan dalam memberikan corak yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya. di sinilah peranan orang tua sangat diharapkan oleh anak. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Sunardi, bahwa:
Dalam pergaulan anak perlu di bekali dan didorong untuk bergaul dan bermasyarakat. Jika ada hal-hal yang membahayakan diri akibat pergaulan dengan teman-teman, maka sebagai orang tua kita harus mengadakan pendekatan dengan memberikan pengertian sebab akibat dari suatu perbuatan, sehingga anak dapat menganalisa dengan kemampuan daya nalarnya.[40]
Sejalan dengan hal tersebut di atas, bila orang tua kurang memperhatikan tentang kehidupan anak dalam masyarakat, maka segala tindak tanduk dan sikap serta perbuatan masyarakat yang tidak baik dengan mudah akan diterima oleh anak begitu saja. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tanggapan terhadap pendidikan anak, dan perkataan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tantangan terhadap pendidikan anak, dengan demikian cepat atau lambatnya hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak putus sekolahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya anak putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keadaan ekonomi orang tua yang tidak stabil, juga sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah satu penunjang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar