Muhlis. M
A. Guru Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Guru Pendidikan
Agama Islam
Dalam kegiatan
proses belajar mengajar sehari-hari di kelas, diajarkan beberapa mata pelajaran
dengan mengacu kepada Struktur Pengajaran yang ditetapkan dalam Kurikulum,
termasuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, sehubungan dengan hal tersebut,
diantara beberapa orang guru yang bertugas pada salah satu satuan pendidikan,
terdapat guru yang diangkat khusus untuk mengajarkan mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam, yang selanjutnya disebut guru PAI.
Untuk menguraikan
secara detail tentang pengertian Guru PAI tersebut, penulis terlebih dahulu
akan membahas secara terpisah dan terperinci mengenai arti Guru dan Agama
Islam.
a. Arti guru.
Mengenai istilah
guru terdapat beberapa argumentasi para ahli. Supeno menyebutkan bahwa kata
guru berarti “panutan, dapat ditiru atau dijadikan teladan”[1]
Dengan demikian secara umum “guru” dapat
diartikan sebagai orang yang dalam tutur kata, gerak-gerik dan perbuatannya
bisa dianut dan dijadikan teladan oleh masyarakat umum.
Roestiyah
berpendapat bahwa dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai :
Seseorang yang berdiri di depan
kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
“teacher is a person who causes a person to knowledge or skill” atau minimal
dapat diartikan bahwa guru adalah seseorang yang menyebabkan orang lain
mengetahui atau mampu melaksanakan sesuatu atau yang memberikan pengetahuan
atau keterampilan kepada orang lain. [2]
Dengan demikian guru pada dasarnya
adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dengan tugas utama mengajar. Jadi
jabatan atau pekerjaan guru adalah pekerjaan yang bersifat profesional, artinya
pekerjaan yang hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang secara khusus
dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan karena tidak dapat
atau tidak memperoleh pekerjaan lainnya.
Mursal H.M.Taher,
mengemukakan bahwa guru adalah “. . . yang mengasuh dan memberikan mata
pelajaran khusus yang dikuasainya”[3]
Jelas dipahami
bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada
orang lain, atau guru adalah seorang yang menyebabkan orang lain mengetahui
atau mampu melaksankan sesuatu atau yang memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada orang lain.
b. Arti agama.
Hasbi as
Siddieqy, mengemukakan bahwa agama adalah :
Suatu kumpulan peraturan yang
ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntut para ummat yang berakal kuat yang
suka tunduk dan patuh kepada kebaikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan
dunia, kejayaan dan kesentausaan akhirat . . .[4]
Agama adalah
ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt., dan mengatur hubungan
manusia dengan sesama makhluk sehingga memperoleh keselamatan di dunia dan di
akhirat.
Mustafa Assiba’i,
mengemukakan bahwa agama adalah :
Satu peraturan (Nidzam) yang
meliputi masalah masalah kepercayaan (aqidah) adan ibadah yang menghubungkan
ikatan segenap ummat manusia antara satu dengan yang lain, dan mempersatukan
pemeluknya, sehingga menjadi satu ummat yang dijiwai oleh kesatuan rohani.[5]
Berdasarkan
pengertian di atas, jelas bahwa agama adalah amanah yang ditetapkan oleh Allah
swt, kepada manusia, guna memperoleh kebahagiaan dan kesejahtraan dunia dan
akhirat kelak.
Dengan demikian
pengertian guru agama Islam adalah seorang perencana dan pelaksana pelajaran
agama kepada peserta didik agar dapat diketahui sekaligus diamalkan dalam
kehidupannya.
Guru agama Islam
adalah Guru yang mengajarkan materi bidang studi agama (Islam) pada
sekolah-sekolah “. . . diangkat oleh Departemen Agama sesuai dengan Peraturan
bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama”.[6]
Pada hakikatnya
dipahami bahwa guru Agama Islam, adalah :
Agen pembaharuan, dalam arti menjembati
pengetahuan Islam generasi lalu dengan generasi sekarang, Pemimpin dan
pendukung nilai-nilai masyarakat, Fasilitator memungkinkan tercapainya kondisi
yang baik bagi subyek didik untuk belajar, Bertanggung jawab atas tercapainya
hasil belajar siswa dan bertanggung jawab secara profesional untuk terus
menerus meningkatkan kemampuannya, serta Menunjang tinggi kode etik
profesional.[7]
Dari
keterangan-keterangan di atas, penulis berkesimpulan bahwa guru Pendidikan
Agama Islam adalah orang dewasa jasmani dan rohani yang dibebani tugas untuk
mengarahkan peserta didik sehingga dapat menghayati sekaligus mengamalkan
ajaran agama Islam.
c. Syarat menjadi GPAI
Sebagaimana
diketahui bahwa pendidikan agama Islam merupakan suatu usaha untuk
memanusiawikan manusia dalam arti membentuk kepribadiannya sehingga menjadi
pribadi muslim yang senantiasa mengamalkan ajaran agamanya, maka dengan
sendirinya, guru yang mengemban tugas untuk mengajarkan mata pelajaran
tersebut, harus profesional dan memiliki kepribadian yang terpui. Untuk itu,
dalam mengemukakan syarat-syarat menjadi guru Pendidikan Agama Islam, penulis
uraikan dalam dua bagian, yaitu :
1) Syarat profesional.
Yaitu calon guru
Pendidikan Agama Islam harus berijazah tarbiyah. Dalam hal ini calon GPAI
tersebut memiliki disiplin ilmu tertentu sesuai yang akan diajarkan kepada
peserta didik, sebagaimana yang disahkan dan diakui atau dinyatakan berdasarkan kualifikasi
ijazah yang dimilikinya.
2) Syarat Kepribadian.
Menurut Mohd.
Atiyah al Abrosyi, syarat kepribadian yang penting dimiliki oleh seorang guru
pendidikan agama Islam, adalah :
1) Zuhud, yaitu mengajar dengan maksud mencari
keridhaan Tuhan.
2) Kebersihan
yaitu kebersihan lahir dan batin.
3) Ikhlas dalam pekerjaan, yaitu sesuai kata
dengan perbuatan, serta berterus terang.
4) Pemaaf, yaitu sanggup menahan
diri dari kemarahan, lapang hati dan sabar.
5) Seorang guru merupakan seorang
bapak, dalam hal ini guru menempatkan murid-murtidnya sebagai anak kandung
sendiri.
6) Mengetahui tabiat murid, yaitu tentang
pembawaan adat kebiasaan, serta tingkat kecerdasannya.
7) Menguasai mata
pelajaran.[8]
Memperhatikan
syarat kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang calon GPAI, sebagaimana
yang dikemuka-kan di atas, dapat dipahami bahwa guru Pendidikan Agama Islam
merupakan seorang yang memiliki sikap mental
terpuji dan patut ditauladani baik oleh peserta didik maupun
oleh masyarakat pada umumnya.
Syarat lain yang
harus dimiliki atau dipenuhi oleh seorang calon guru Pendidikan Agama Islam,
adalah sehat jasmani dan rohani.
1) Sehat jasmani.
Setiap calon guru pendidikan agama islam,
harus sehat jasmani, yang dinyatakan dengan tanda bukti dari yang berwenang,
bahwa yang bersangkutan :
1) Tidak
menderita penyakit menahun (kronis) dan atau menular,
2) Tidak memiliki cacat tubuh
yang dapat menghambat pelaksanaan
tugas sebagai pendidik.[9]
2) Sehat rohani.
Yaitu bahwa calon
guru Pendidikan Agama Islam ter-sebut tidak mempunyai kelainan rohani, misalnya
sakit ayan dan sebagainya.
Jadi jelas bahwa
seorang calon guru Pendidikan Agama Islam harus memenuhi beberapa syarat untuk
dapat diangkat sebaga tenaga pengajar
pada mata pelajaran tersebut,
baik menyangkut persyaratan formal atau profesional, maupun persyaratan yang
menyangkut kepribadian dan kesehatan jasmani dan rohani.
2. Kompetensi Guru PAI
Sebagaimana telah diketahui bahwa perbedaan pokok
antara profesi guru dengan profesi lainnya terletak pada tugas dan tanggung
jawab, dalam hal ini tugas dan tanggung jawab tersebut
erat kaitannya dengan kemampuan dasar yang disyaratkan untuk memangku profesi
guru, sebagai suatu kompetensi dasar guru tersebut.
Broke and stone dikutif Uzer, mengatakan Descriptive
of cualitative natur or teacher behavior appears to be entirely meaningful.
Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak
sangat berarti. [10]
Kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan. Mohd. Uzer Usman, mengemukakan bahwa
kompetensi, adalah “kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya”.[11]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“profesional” berarti memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Selanjutnya Sudjana mengemukakan bahwa :
Kata profesional berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata
benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim,
dan sebagainya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan
yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.[12]
Kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk
mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Roestiyah dalam Masalah Ilmu Keguruan,
mengemukakan bahwa :
Competence is ordinarily defined as adecuacy for a task or as
possession of require knowledge, skill and abilities.
Kompetensi sebagai suatu tugas yang memadai atau suatu pemilikan pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang, dalam arti
lebih dititik beratkan pada tugas seorang guru dalam kegiatan proses belajar
mengajar.[13]
Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab dan
layak.
Dikemukakan oleh Cooper yang dikutip Sujana,
bahwa kompetensi guru, yaitu :
. . . pengetahuan tentang
belajar dan tingkah laku manusia; Mempunyai pengetahuan dan penguasaan bidang
studi yang dibinanya; Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah,
teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya; Mempunyai keterampilan teknik
mengajar.[14]
Sedangkan Glasser ada 4 hal yang harus dikuasai
oleh guru, yakni :
Kemampuan menguasai bahan/materi pelajaran; Kemampuan mendiagnosa
tingkah laku siswa : Kemampuan melaksanakan proses pengajaran; dan kemampuan
mengukur hasil belajar siswa.[15]
Mengenai kompetensi dasar guru, juga telah
dikembangkan oleh Proyek Pembinaan dan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud, yang
melihat kompetensi berdasar dari analisis tugas guru, baik sebagai pengajar,
pembimbing, maupun sebagai administrator kelas. Untuk itu terdapat 10
kompetensi dasar guru, yaitu :
1) Mengenai bahan;
2) Kemampuan mengelola program belajar mengajar;
3) Kemampaun mengelola kelas;
4) Menggunakan media/sumber belajar;
5) Menguasai landasan kependidikan;
6) Mengelola interaksi belajar mengajar;
7) Menilai/mengevaluasi prestasi belajar;
8) Kemampuan mengenal fungsi layanan
bimbingan dan penyuluhan.
9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah;
10) Kemampuan
memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.[16]
Dengan penguasaan kompetensi dasar tersebut secara
mantap dan menyeluruh, seorang guru akan lebih profesional dan akurat serta
mapan dalam melaksanakan tugas yang diembannya sebagai tenaga pengajar dan
pendidik, sehingga hasil belajar mengajar dapat dicapai secara optimal oleh
peserta didik.
Dari beberapa keterangan yang telah diuraikan,
dipahami bahwa kompetensi dasar guru pada hakikatnya dapat dirangkum menjadi
tiga bidang, yaitu :
Bidang kognitif, yang berarti kemampuan
intelektual, seperti penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, strategi dan
interaksi belajar mengajar, pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan,
kemampuan mengelola kelas dengan baik dan benar, pengetahuan tentang cara
menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan, dan
pengetahuan umum lainnya.
Bidang afektif. Kompetensi dibidang sikap
tersebut adalah dimaksudkan
sebagai kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan
dengan tugas dan profesinya. Seperti menghargai pekerjaannya, mencintai dan
senang terhadap bidang studi yang diajarkannya, sikap toleransi terhadap sesama
teman seprofesi, memiliki tekad dan kemauan keras untuk meningkatkan hasil
pekerjaannya, dengan kata lain siap mental terhadap berbagai hal.
Bidang prilaku atau perfomance; artinya kemampuan
guru dalam berbagai bidang keterampilan atau perilaku. Seperti keterampilan
mengajar, keterampilan membimbing, menilai, menggunakan alat bantu atau media
pendidikan, bergaul dan berkomunikasi dengan anak didik, keterampilan menyusun
materi pelajaran atau membuat Satuan Acara Pengajaran, melaksanakan
administrasi sekolah, mengelola kelas dan sebagainya. Perbedaan kompetensi
tersebut dengan kompetensi kognitif terletak pada sifatnya, yaitu pada
kompetensi kognitif ditekankan aspek teori atau pengetahuan, sedangkan
kompetensi prilaku ditekankan pada masalah praktek atau keterampilan
pelaksanaan.
Dengan penguasaan kompetensi dasar tersebut secara
mantap dan menyeluruh, seorang guru akan lebih profesional dan akurat serta
mapan dalam melaksanakan tugas yang diembannya sebagai tenaga pengajar dan
pendidik, sehingga hasil belajar mengajar dapat dicapai secara optimal oleh
peserta didik.
3. Peranan dan Tugas Guru PAI
Untuk membahas secara detail tentang masalah tersebut,
penulis akan menguraikan secara terpisah dan terperinci mengenai peranan guru
dalam proses belajar kemudian tugas-tugas yang diemban guru.
a. Peranan
guru
Peranan guru dalam proses belajar mengajar
meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adam dan Decey yang
dikutif Uzer, antara lain bahwa peranan guru adalah : “Sebagai pengajar,
pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor,
perencana, supervisor, motivator, dan konselor.”[17]
Seorang guru pada dasarnya mempunyai fungsi ganda
atau multi fungsi yang harus diketahui dan dikuasai dengan baik, seperti :
1) Sebagai fasilitator; ia bertugas dalam proses
belajar mengajar dengan disertai persiapan dan perencanaan pembelajaran,
memperbaiki dan mengubah cara mengajar sehingga menjadi efektif dan efisien,
guna membangkitkan kreativitas siswa dan mewujudkan suasana yang kompetitif.
2) Sebagai motivator; ia harus berusaha mendorong
anak didiknya agar selalu berusaha mencapai hasil belajar yang maksimal. Untuk
mencapainya, guru harus menjadi penggerak atau pendorong semangat yang tinggi
kepada peserta didik.
3) Sebagai komunikator; dalam era globalisasi
seperti sekarang ini, kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat,
guru harus mampu menyediakan informasi atau menyalurkan pengetahuan terhadap
siterdidik yang sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya dan lebih
khusus kepada anak didik itu sendiri.
4) Sebagai
transformator; Guru dapat bertindak sebagai sosok yang mampu
membelajarkan anak didik, sehingga memperoleh perubahan pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
5) Sebagai
informator; guru adalah digugu,
sehingga sikap mental yang terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
bentuk tindakan dan ucapan maupun cara berfikirnya, harus bernilai educatif
bagi peserta didik.
6) Sebagai Agent of change, guru harus mampu
menjembatani pengetahuan dan penemuan-penemuan generasi terdahulu kepada
generasi muda atau anak didik.
7) Sebagai administrator; guru dapat menjadi
administrator dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, atau adminstrasi
instruksional dalam melaksanakan tugasnya yang multi fungsional.[18]
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa seorang guru
berperan sebagai sebagai pembaharu bagi siterdidik. Artinya bahwa guru
menjembatani pengetahuan antara generasi terdahulu dengan peserta didik.
Balnadi Sutradipura mengatakan, peranan guru
adalah sebagai berikut :
Membimbing anak didik kearah
pengalaman-pengalaman dimana kegiatan belajar itu dapat berlangsung; Memberikan
kepada anak didik suatu kekuatan dan motivasi serta memberikan kepadanya
kewaspadaan yang memadai. Pada suatu saat mengusahakan perhatian mereka
terhadap suatu tujuan.[19]
Guru pada hakikatnya berperan
untuk memberikan dorongan dan motivasi kepada peserta didik kemudian
mengarahkannya menuju tujuan yang dicita-citakan.
Gunarsah, mengemukakan peran
guru sebagai berikut :
Mengawasi dan membantu anak dalam menghadapi kesukaran yang tak
teratasi Memberikan sejumlah ilmu pengetahuan sesuai dengan tugasnya. Di dalam
kelas, guru bertindak sebagai pemimpin, dalam arti memimpin segala aktivitas
yang ada di dalam kelas dan membuka acara pelajaran.[20]
Peran guru disini adalah
sebagai pendampin peserta didik dalam hal memberi bimbingan kepada peserta
didik sehingga dapat mengatasi masalah yang dihadapinya.
Selanjutnya Groply dalam
Sarjan Kadir, bahwa pada dasarnya peranan seorang guru antara lain :
Untuk memberikan pengetahuan dan menanamkan konsep dasar tentang
nilai-nilai moral dan nilai agama bagi anak didik. Sebagai tenaga pembentuk
sikap dan karakter dalam arti menciptakan pola tingkah laku sebagai sendi dan
corak dalam bentuk pergaulan yang dilandasi oleh azas kemanusiaan yang adil dan
beradab. Menanamkan keterampilan pada anak didik.[21]
Sardiman menyatakan bahwa peranan seorang guru adalah :
Sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasehat-nasehat,
motivasi, sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan
sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang
diajarkan.[22]
Bertitik tolak dari keterangan-keterangan
di atas, jelas dapat dipahami bahwa peran yang diemban guru adalah sebagai
sumber belajar bagi anak atau peserta didik, dan akan membelajarkan anak atau
peserta didik tersebut dengan berbagai pendekatan, sehingga memperoleh perubahan
sikap, baik dari segi kognitif, maupun dai segi afektif dan psikomotorik.
b. Tugas guru
Guru
sebagai tenaga pendidik mempunyai tugas utama, yaitu membimbing, mengajar dan
melatih peserta didik, maka dalam perkembangan pendidikan dewasa ini, tugas
guru dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Tugas
profesional, yaitu tugas karena jabatannya sebagai guru. Dalam hal ini guru
bertugas sebagai pendidik (pembina kepribadian), pengajar (pembina intelek),
pelatih (pembina keterampilan), peneliti, pengelola, pembimbing dan konsultan
(pemberi nasehat).
2) Tugas
kemanusiaan, yaitu transformasi dirinya sendiri. Dalam hal ini guru bertugas
mendidik dirinya sendiri dan menempatkan dirinya pada kepentingan anak didik.
Guru di sekolah merupakan orang tua kedua.
3) Tugas
kemasyarakatan, terutama untuk membentuk manusia menjadi warga negara Indonesia
yang baik (berdasarkan Pancasila dan UUD’45). Dalam hal ini guru adalah
pahlawan yang menciptakan masa depan dan penggerak kemajuan.[23]
Tugas profesional guru sebagaimana
yang disebutkan di atas, terkait dengan kualifikasi profesional (professional
role) yang dimiliki guru, yang berarti kemampuan dan penguasaan ilmu
pengetahuan dalam bidangnya, sehingga diharapkan dengan kemampuan dan
keahliannya dapat memberi dan mentransfer sejumlah pengetahuan dan pengalaman
kepada siswa. Dalam konteks ini, guru mempunyai tanggung jawab dalam pemberian
disiplin sekaligus mampu berbuat secara disiplin.
Tugas kemanusiaan, terkait dengan
pribadi guru itu sendiri dalam kapasitasnya sebagai pendidik. Untuk itu, guru
perlu senantiasa menatap diri dan memahami dirinya sebagai orang yang selalu
ditiru dan diteladani. Guru harus mampu memahami dirinya dalam tiga dimensi dan
dalam wujud yang satu, yaitu saya dengan konsep diri saya yang sebenarnya (self
concept), saya dengan ide diri saya (self idea), dan
saya dengan realita diri saya (self reality). Pengenalan guru terhadap
diri dan eksistensinya sebagai seorang guru dapat mengantar dalam mengadakan
refleksi diri terhadap tugas yang dilakukan.
Tugas kemasyarakat, sebagai salah
satu misi yang harus diemban oleh guru dalam proses memanusiawikan manusia,
maka guru dituntut untuk dapat mengabdikan diri kepada masyarkat sebagai wujud
pelayanan kepada manusia (gogos humaniora). Oleh karena itu, diperlukan
kemampuan guru dalam memahami perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat, termasuk adat istiadat, yang terdiri dari kultur dan kondisi social
masyarakat yang bervariasi dan beragama.
Keterangan tentang tugas guru yang
diuraikan tersebut, identik dengan tugas guru yang diuraikan oleh Moh. Uzer
Usman, sebagai berikut :
1) Tugas
guru sebagai profesi, meliputi tugas mendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup,
mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
2) Tugas
guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah
harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik
simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.
3) Tugas
kemasyarakatan, terutama untuk membentuk manusia menjadi warga negara Indonesia
yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam hal ini guru adalah
pahlawan yang menciptakan masa depan dan penggerak kemajuan.[24]
Dengan demikian tugas guru meliputi segala aspek
kehidupan manusia, sehingga ia dituntut profesionalisme untuk memperoleh
kinerja yang positif dalam memanusiawikan manusia. Oleh karena itulah, untuk diangkat menjadi
seorang guru, harus memenuhi syarat profesional, yaitu berijazah guru/tarbiyah,
dan memenuhi syarat kepribadian, antara lain :
Zuhud, yaitu mengajar dengan maksud mencari keredhaan Tuhan Kebersihan,
yaitu bersih lahir dan bathin. Ikhlas dlam pekerjaan, yaitu sesuai kata dengan
perbuatan, serta berterus terang. Pemaaf, yaitu sanggup menahan diri dari kemarahan, lapang hati dan sabar.
Seorang guru merupakan seorang bapak, dalam hal ini guru menempatkan
murid-muridnya sebagai anak sendiri. Mengetahui tabiat murid, yaitu tentang
pembawaan dan adat kebiasaan, serta tingkat kecerdasannya. Menguasai mata
pelajaran.[25]
Bertitik tolak dari
keterangan-keterangan pada sub ini, penulis menarik kesimpulan, bahwa peranan
dan tugas guru adalah sebagai pembimbing, pengajar, pelatih terhadap siterdidik
sehingga memperoleh perubahan sikap, baik dari segi kognitif, afektif, maupun
psikomotoriknya.
4. Kode Etik
Guru
Kode Etik
Guru, sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik,
seperti yang dinyatakan dalam Konprensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa
profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu
sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan
landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap
anggotanya. Kode etik berfungsi untuk
mendinamisit setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan
meningkatkan layanan profesionalismenya demi kemaslahatan orang lain. Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat
mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam
melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya
kemampuan untuk membuat pilihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan
sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihlnya.
Memiliki rasa pengabdian kepada
masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk
mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam
mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki
pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak
didik.[26]
Bekerja atas panggilan hati nurani.
Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas
dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam
melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik.
B. Masalah Anak Putus Sekolah
Hampir di setiap tempat banyak anak
yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan
disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya
disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tua yang memprihatinkan. Disadari bahwa
kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi
keinginannya dalam melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan. Kondisi ekonomi
seperti ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai
pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan
dan faktor lainnya.[27]
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi
masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi
yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu
pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua
tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun
mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya anak putus sekolah (drop out) antara lain adalah:
1.
Keadaan Kehidupan Keluarga
Kita ketahui bahwa pendidikan itu
tidak hanya berlangsung di sekolah (pendidikan formal), akan tetapi dapat juga
berlangsung di dalam keluarga (pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan
berhasil tidaknya anak dalam pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan
utama diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Begitu anak dilahirkan ke
dunia masih dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat ini
sangat membutuhkan bantuan terutama dari kedua orang tua dan anggota keluarga
yang lainnya sampai anak menjadi dewasa. Di sinilah anak memperoleh
bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan
kebiasaan-kebiasaan lain, seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap
kepemimpinan orang tuanya, kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik
secara langsung ataupun tidak langsung.[28]
Jika orang tua selalu menunjukkan
sikap keras terhadap anak-anaknya, maka anak akan menjadi bimbangan atau
ragu-raguan di dalam dirinya, sehingga bagi mereka merupakan malapetaka yang bakal
membawanya ke arah kehancuran.
Kehidupan keluarga yang harmonis dan
penuh dengan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga dapat memberikan
ketenangan dan kebahagiaan, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa
anak serta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan anak.
Dalam hal ini Winarno Surachmad
mengemukakan sebagai berikut:
Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama yang memberikan pengaruh terhadap
perkembangan anak, keluarga besar atau kecil, keluarga miskin atau berada.
Situasi keluarga tenang, damai gembira atau keluarga yang sering cekcok,
bersikap keras, ini akan mewarnai sikap anak, jumlah orang yang tinggal di
dalam keluarga tersebut, nenek, paman, bibi, ini juga turut mempengaruhi
perkembangan anak, pengaruh baik tetapi juga buruk dapat dipelajari anak dalam
keluarga.[29]
Dari kutipan di atas dapat diketahui
bahwa keadaan sebuah rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap proses
pendidikan anak, karena di dalam keluargalah anak menerima kesan-kesan yang
merupakan pengalaman pertama setelah seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam
rumah tangga sering terjadi pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan
berakibat pada mentalnya si anak dan akan mengakibatkan keminderannya dalam
pergaulan, sehingga anak akan malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan
anak meninggalkan bangku sekolahnya.
Dalam pendidikan agama, peranan
keluarga, terutama ibu adalah sangat dominan. Dalam pepatah Arab disebutkan:
الأُمُّ
الْمَدْرَسَةُ الْكُبْرَا وَاْلأَفْضَالَ
Dari pepatah di atas dapat disimpulkan
bahwa ibulah fondasi utama dalam pendidikan anak. Jika ibu berhasil dalam
mendidik dan mengasuh anak, berarti dia telah berhasil menciptakan bangsa yang
baik.
Dari sinilah keluarga sangat
menentukan pendidikan yang akan menentukan corak kehidupan anak. Selanjutnya
juga tingkat pendidikan orang tua ikut mempengaruhinya. Hal ini seperti sering
kita lihat keluarga yang mampu ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum
tentu bisa berhasil dalam masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya
keadaan keluarga yang ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang
dimiliki maka sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang
pendidikan.
Kemudian dari pada itu kehidupan
seorang anak dalam keluarga sangat mendambakan kasih sayang dari kedua orang
tuanya. Disini orang tua dituntut sangat hati-hati dalam memberikan kasih
sayang kepada anak-anaknya, agar tidak terlalu dimanjakan.
Dalam hal ini St. Vembriarto
mengemukakan bahwa:
Anak
yang dimanjakan sering berwatak tidak patuh, tidak dapat menahan emosinya dan
menuntut orang lain secara berlebih-lebihan. Faktor manja dibiasakan dengan hal
yang sifatnya tidak mendidik dengan kekhawatiran orang tua terhadap anak yang
berlebihan, akan mengantarkan anak tidak suka pergi sekolah.[31]
Berdasarkan kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam memberikan kasih sayang kepada anak tidak perlu
berlebih-lebihan, karena hal itu dapat menghilangkan rasa tanggung jawab yang
ada pada diri anak dan memungkinkan si anak dapat menunjukkan sikap-sikap dan
cara bertingkah laku yang tidak baik.
Apabila seorang anak yang mendapat
kasih sayang secara berlebih-lebihan dari keluarganya, maka dalam tindakan
mereka sering menuruti kata hatinya sendiri (menurut kehendaknya). Dengan
demikian setiap perbuatan yang mereka lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang
tidak baik, yang dapat menjadikan dirinya sebagai penjahat, pemalas dan
sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak putus sekolah serta terbengkalai
pendidikannya karena terlalu lalai dengan uang.
2.
Keadaan Ekonomi Orang Tua
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah
salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi
orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat
terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah
didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya
segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan.
Sayyidina Ali Kw. berkata yang
artinya: “Dalam menuntut ilmu ada tiga Al yang harus diperhatikan: 1) Panjang
masa dalam menuntut ilmu, 2) Ekonomi yang mendukung, 3) Ada keinginan. Ketiga
hal tersebut adalah sejalan”.[32]
Dari perkataan Sayyidina Ali Kw di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam menuntut ilmu masa harus panjang
(bukan cuma sebentar dalam menuntut ilmu), kemudian ada keinginan dari peserta
didik, supaya dalam dia menuntut ilmu tidak lalai dan tidak mengingat yang lain
selain belajar, serta ekonomi yang mendukung, yaitu dalam menuntut ilmu
tersebut ekonomilah yang menentukan sukses tidaknya pendidikan seseorang serta
tinggi rendahnya pendidikan.
Jelas bahwa kondisi ekonomi merupakan
faktor pendukung yang paling besar untuk kelanjutan pendidikan anak-anak, sebab
pendidikan juga membutuhkan biaya besar. Selanjutnya Baharuddin M juga
mengatakan bahwa: “Nampaknya di negara kita faktor dana merupakan penghambat
utama, untuk mengejar ketinggalan kita dalam dunia pendidikan. Sudah tidak
dapat dipungkiri bahwa tanpa dana yang cukup, tidak akan dapat diharapkan
pendidikan yang sempurna.[33]
Jadi, kurangnya biaya pendidikan, maka akan mengakibatkan pendidikan tertunda.
Bila dilihat dari segi perkembangan
zaman sekarang ini, yaitu biaya pendidikan yang setiap tahun terus meningkat,
kebutuhan pokok masyarakat terus meningkatkan harganya sedangkan mata
pencahariannya semakin merosot, sehingga keadaan kehidupan semakin sulit dan
melarat. Keadaan semacam ini bisa kita lihat secara langsung di negara kita
sendiri Indonesia. Hal seperti ini akan mengakibatkan antara lain: anak tidak
dapat melanjutkan pendidikannya karena terpaksa membantu orang tua dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itulah pendidikan anak
terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja.[34]
Hal yang seperti ini sering terjadi di
kalangan keluarga yang kurang mampu dan akibatnya pendidikan anak terhambat.
Dalam hal ini faktor dana dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa
adanya dana yang cukup, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang
sempurna. Hal-hal seperti inilah yang dapat menjadikan seorang anak menjadi
putus.
3.
Keadaan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan suatu
situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah
itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau menerima
pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di sekolah guru mengajarkan seorang
anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan
masyarakat.
Dalam upaya untuk tercapainya tujuan
pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan, seperti
fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya.
Baharuddin M, mengemukakan bahwa:
Apabila
faktor sarana ini tidak terpenuhi, maka banyak murid usia sekolah, maupun berbagi tingkat pendidikan
yang tidak bisa bersekolah, atau tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Bila hal
tersebut terjadi berarti “putus sekolah” pun terciptalah dikarenakan faktor
tersebut. Yang vital adalah kurangnya pengadaan sarana tempat belajar dan
pengadaan guru.[35]
Berdasarkan kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak,
tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai. Sedangkan di
negara Republik Indonesia sarana baik gedung sekolah maupun ruangan sekolah
masih adanya kekurangan, jumlah gedung atau ruangan yang ada tidak dapat
menampung seluruh aspek usia sekolah, sehingga masih ada anak yang ada lowongan
untuk sekolah dan akhirnya si anak terpaksa meninggalkan masa sekolahnya.
Selanjutnya di samping kekurangan
masalah sarana dan alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah
tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru.
Dalam hal ini Baharuddin M mengemukakan
bahwa:
Apalagi
di daerah telah di bangun fasilitas sekolah (sarana).Lalu guru tidak ada, tentu
saja sekolah tadi tidak akan terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah,
terpaksa tidak bersekolah. Kalau saja hal ini terjadi di jenjang lanjutan
sekolah, ini berarti mereka disebut sebagai “putus sekolah sebelum bersekolah,
dikarenakan oleh kekurangan tenaga guru tadi”.[36]
Dari kutipan di atas guru sangat
menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah. Di samping perlu
banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat diperlukan kemampuan dan
sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup menciptakan suasana yang
harmonis. Di sekolah para guru dapat memberikan contoh-contoh yang baik dalam
proses pendidikan dan pengajaran pada murid, agar mereka menjadi generasi yang
handal dan utuh, beriman, berpegang teguh kepada agama, membela dan bertanggung
jawab kepada tanah airnya, berwawasan luas, mempunyai kepribadian yang kuat,
senang belajar dan mencintai orang seperti mencintai dirinya sendiri dan
memiliki semangat gotong-royong.
Dalam hal ini, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:
Bagi
anak didik, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam
pertumbuhannya, guru adalah orang yang pertama sesudah orang tua yang
mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Apa saja yang dilakukan oleh
guru dinilai baik oleh anak dan sebaliknya apa saja yang tidak baik menurut
guru juga tidak baik menurut anak. Jadi guru memegang tanggung jawab dan
peranan yang amat penting terhadap pendidikan anak dalam rangka pembentukan
kepribadiannya menjadi seorang yang bertakwa dan berintelektual.[37]
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa guru juga mempunyai peranan sangat penting dalam pendidikan
anak. Jika guru tidak ada maka bisa mengakibatkan anak putus sekolah. Jika
diperhatikan tentang masalah-masalah tersebut, maka akan tampak persoalannya
walaupun masalah itu kelihatannya banyak dan bermacam-macam, tetapi sebenarnya
dapat dikembalikan kepada sebab-sebab yang sedikit saja.
4.
Keadaan Masyarakat
Masalah kehidupan anak bukan saja
berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebahagian besar
kehidupannya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam
masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu
faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam
lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang
sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak
akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu
dengan yang lain.
A.H. Harahap mengemukakan bahwa:
Lingkungan
masyarakat merupakan faktor yang cukup kuat dalam mempengaruhi perkembangan
anak remaja yang sulit dikontrol pengaruhnya. Orang tua dan sekolah adalah lembaga
yang khusus, mempunyai anggota tertentu, serta mempunyai tujuan dan tanggung
jawab yang pasti dalam mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat, di mana di
dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Berlaku untuk segala tingkatan umur
dan ruang lingkup yang sangat luas.[38]
Dari kutipan di atas, masyarakat
sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena di lingkungan masyarakat terdapat
berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang positif dan ada yang negatif.
yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat
Keadaan anak sejak ia dibesarkan di
tengah-tengah masyarakat, maka apa saja yang ditemukan di dalamnya itulah
menjadi pedoman yang bakal dicontohinya. Sebagaimana diketahui bahwa insting
pada anak cukup kuat, sehingga anak akan sangat mudah terpengaruh oleh
tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana ia berada.
Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa dan
Ny. Y. Singgih D. Gunarsa mengemukakan bahwa: “Masyarakat sebagai ruang gerak
di mana para remaja dalam pengembangan
diri, menemukan diri dan menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak
khusus sesuai dengan yang masyarakat”.[39] Namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk
anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat.
Jadi kehidupan manusia di dalam
masyarakat adanya hubungan timbal balik dalam mengembangkan, menetapkan dirinya
serta turut berperan dalam memberikan corak yang sesuai dengan kehidupan
masyarakat yang ada di lingkungannya. di sinilah peranan orang tua sangat
diharapkan oleh anak. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Sunardi, bahwa:
Dalam
pergaulan anak perlu di bekali dan didorong untuk bergaul dan bermasyarakat.
Jika ada hal-hal yang membahayakan diri akibat pergaulan dengan teman-teman,
maka sebagai orang tua kita harus mengadakan pendekatan dengan memberikan
pengertian sebab akibat dari suatu perbuatan, sehingga anak dapat menganalisa
dengan kemampuan daya nalarnya.[40]
Sejalan dengan hal tersebut di atas,
bila orang tua kurang memperhatikan tentang kehidupan anak dalam masyarakat,
maka segala tindak tanduk dan sikap serta perbuatan masyarakat yang tidak baik
dengan mudah akan diterima oleh anak begitu saja. Hal ini disebabkan karena
bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan
terjadinya hambatan dan tanggapan terhadap pendidikan anak, dan perkataan dari
suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tantangan terhadap
pendidikan anak, dengan demikian cepat atau lambatnya hal tersebut dapat
mengakibatkan seorang anak putus sekolahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa terjadinya anak putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain keadaan ekonomi orang tua yang tidak stabil, juga sarana dan
prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah satu penunjang bagi anak untuk
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian masyarakat
merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan
masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif
maupun yang sifatnya negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar