Jumat, 22 Oktober 2010

Al Maududi


ABUL A'LA AL MAUDUDI 

(Pemikiran dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)


Makalah


Disampaikan dalam forum seminar kelas
Mata Kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam



Oleh :
H.Abu Syakkar Lakka
NIM :

Dosen Pembimbing :
DR.H.M.Arfah Shiddieq, M.A
Drs. H.M.Ilyas Upe, M.A

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
UMI-MAKASSAR
2004

ABUL A’LA AL MAUDUDI
(Pemikiran dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)

I. Pendahuluan

Dari barisan kaum pembaharu pemikiran Islam di zaman modern, Abul A’la al Maududi jelas merupakan tokoh yang paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya. Yang paling menarik dari tulisan-tulisannya al Maududi, adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu sistem atau tata pikir yang benar-benar terpadu.
Di antara para pemikir Islam sib-kontinen (India dan Pakistan) seperti Syekh Waliyullah, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, Yusuf Ali, Muhammad Iqbal, Fazhur Rahman, an Nabawi dan lain-lain, al Maududi saja yang mencoba dengan sangat tekun menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan manusia.1 Walaupun kadang kala ada kritik keras dilontarkan oleh sementara pemikir Islam sendiri kepada al Maududi, bahkan dengan kata-kata yang jauh di luar batas kewajaran. Akan tetapi, kritik keras itu tidak sedikitpun menggoyahkan kemantapan tata piker al Maududi yang begitu solid.
Sekitar tahun 1941, al Maududi mengembangkan pikirannya untuk membentuk suatu gerakan yang lebih komprehensif, dan itulah yang menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama ‘ati Islami (Partai Islam) sekaligus merangkap sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Organisasi   Jama ‘ati Islam pimpinan al Maududi, pada hakekatnya merupakan gerakan kader-kader Islam dan bukan menjadi gerakan massa.2
Dalam perjuangannya, ia sering mengambil posisi berhadapan dengan pemerintahan Pakistan. Ketika negara Pkistan berdiri pada tanggal 14 Agustus 1947, al Maududi pindah ke sana dan mulai emusatkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk membangun negara Islam yang benar-benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.3 Berpegang teguh pada tujuan itu, ia banyak menulis untuk menerangkan aspek-aspek yang berbeda dari jalan hidup Islam, terutama aspek-aspek sosio-politik.4
Melihat adanya fenomena para pendiri negara Pakistan, yang cenderung tidak konsisten melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bernegara yang didirikan atas nama Islam itu. Keadaan ini mendorong al Maududi tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan sumber konstitusi di negara itu. Sebelum penulis mengemukakan permasalahan pokok pada makalah ini terlebih dahulu kami kemukakan pengertian Theo Demokrasi sebagai berikut :
a. Theo berasal dari bahasa Yunani yang berarti Tuhan.
b. Demokrasi berarti : (Bentuk atau system) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya.
Jadi pengertian Theo Demokrasi Islam yang penulis maksudkan adalah Sistem pemerintahan, di mana rakyat diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya dengan tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturan Tuhan.
Dari uraian di atas, pokok permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah : bagaimana ide pembaharuan al Maududi yang sebenarnya ? Dan bagaimana pula teori politik kenegaraannya dalam Islam.

 

II. Riwayat Hidup Abul A’la al Maududi

Abul A’la al Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 bertepatan dengan 25 September 1903 di Aurangabad, suatu kota terkenal di daerah yan sekarang dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ia dilahirkan dari keluarga yang terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid.5 Keluarga al Maududi adalah keturunan langsung dari Khawajah Maunuddin Ajmeri.6
Ayah al Maududi, adalah Ahmad hasan yang dilahirkan pada 1855 M, ia seorang ahli fiqih yang sangat shlmeh, disamping seorang pengacara, iua juga seorang pengikut tasawuf yang pernah belajar di Aligarh. al Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memperoleh pendidikan dasarnya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Setelah berusia 11 tahun, ia masuk ke Faqaniyat di Aurangabad sebuah sekolah menengah agama yang memadukan antara system pendidikan modern dan system pendidikan tradisional. Setamat dari sekolah ini, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Dar al ‘Ulum di Hiderabat. al Maududi terpaksa harus meninggalkan sekolah ini pada uisa 16 tahun, karena kematian ayahnya. Keadaan ini mendorong bekerja di salah satu penerbit Islam di Delhi. Sementara pada waktu kosong, ia belahar secara otodidak ; membaca buku-buku sastra Arab, tafsir, mantik dan filsafat, ditopang oleh kemampuan bahasanya yaitu ; Arab, Inggris, Persia dan Urdu (bahsa Ibu).7
Sejak mudanya al Maududi telah mempunyai kecenderungan kuat pada bidang jurnalistik, pernah menjadi editor beberapa massa. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur (India). Kemudian menjadi pemimpin al Jami’ah salah satu harian Islam yang paling berpengaruh dan populer di New Delhi (1920 an). Minatnya pada politik tumbuh pada usia sekitar 20 tahun, dan buah tangannya yang pertamadalam masalah ini adalah al Jihaad fi al Islam (Jihad dalam Islam), salah satu buku yang cermat dan tajam dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai.8
Pemikiran al Maududi, tidak saja berpengaruh dan bergema di kawasan sub kontinen Indo-Pakistan., melainkan di seluruh dunia Islam. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di samping ia pernah berkeliling dunia untuk memberikan kuliah di berbagai ibu kota negara-negara timur tengah, London, New York, Toronto dan sejumlah pusat studi di kota-kota besar lainnya. Ia pernah juga malakukan studi tour ke beberapa tempat seperti Jordan, Jerussalem, Suriah, Mesir dan Saudi Arabia, untuk mempelajari aspek-aspek geografi dan historinya.9
Akhirnya pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan masalah sekte Ahmadiyah Qadani. Akan tetapi, al Maududi bukannya minta naik banding atau memohon pengampunan pada penguasa pada waktu itu. Dengan semangat gembira ia memilih kematian dari pada meminta pengampunan kepada mereka yang memang ingin menggantungnya. Keteguhan al Maududi ini, justru menggoncangkan pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.10

 

III. Pembaharuan Abul A’la al Maududi

Pembaharuan yang ditekankan oleh al Maududi, pada prinsipnya dilandaskan pada visinya terhadap Islam yang berpangkal pada doktrin “tauhid”. Doktrin inilah yang menjadi risalah para Nabi dan Rasul Allah untuk mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan, The Unity of Godhead) kepada seluruh umat manusia dan sepanjang masa.
Doktrin tauhid terpatri dengan tepat dalam kalimat ”tiada Tuhan melainkan Allah” suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan kukuh tentang keesaan sang pencipta. Dalam pandangan al Maududi, mempunyai implikasi yang lebih jauh dari pada apa yang ditujukan oleh keterangan itu sepintas lalu. Menurut beliau, ”syahadat” itu bukan hanya menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai satu-satunya sasaran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, sebagai Maha Pengatur.11
Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan loyal, tunduk secara loyal kepada Allah. Kemudian “syahadat” merupakan deklarasi moral, suatu ajakan kepada manusia menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk beramal dan berbakti kepadaNya, dan keadaan inilah yang disebut muslim, karena ketundukannya secara total kepada hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kebebasan untuk tunduk atau tidak mematuhi hukum-hukum yang ditetapkannya. Hanya mereka yang patuh saja disebut muslim.12
Kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum Tuhan, terpenuhi dengan adanya misi keNabian. Dari al Qur’an dan sunnah dapat diketahui aturan-aturan hidup yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. al Maududi menolak adanya anggapan bahwa Islam hanyalah seperangkat doktrin tentang metafisika dan ritual belaka. Akan tetapi, ia menegaskan abhwa Islam adalah “Way of Life”, karena Islam mempunyai ajaran yang konprehensif dan mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.13
Selanjutnya untuk mendukung pernyataan di atas, al Maududi menginterprestasikan kembali ayat-ayat al Qur’an dan hadits untuk menjawab tantangan zaman. Dalam hlm ini, ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan konsep-konsep kehidupan social politik Islam dari kedua sumber ajaran tersebut di atas.14
Konsep-konsep al Maududi yang ditujukan bagi masyarakat abad ke-20, mencakup problem modernitas, menganalisis hubungan Islam dan nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern, pendidikan, hukum, kaum perempuan, pekerjaan, zionisme dan hubungan internasional.15 Dengan demikian, pemikiran al Maududi secara luas dan sistematis berusaha menunjukkan relevansi komprehnesif Islam dalam semua aspek kehidupan.

 

IV. Teori Politik Kenegaraan al Maududi

Dalam perspektif kita tentang teori politik modern atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh al Maududi kelihatan menarik, bahkan ”ganjil”. Keunikan atau keganjilan teori politik al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Oleh karena itu, teori politik al Maududi berbeda dengan teori demokrasi dari Barat pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia melihat dalam kenyatan yang tampak dari praktek demokrasi Barat adalah kegagalan menciptakan keadaan sosio-ekonomi, sosio-politik serta keadilan hukum.
Hak-hak politik rakyat hanya terbatas sampai formalitas empat atau lima tahun sekali, dan dalam prakteknya, yang memperoleh perlindungan hukum hanya mereka yang berasal dari lapisan atas. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hukum hanya merupakan slogan kosong tanpa dirahasiakan dalam kehidupan sehari-hari.16
Kedaan seperi di atas, jelas bertentangan dengan prinsip Islam. Bahwa setiap manusia adalah khlmifah Allah dan masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhlmifaan. Dengan demikian, status atau kedudukan setiap manusia adalah sederajat dalam masyarakat. Seseorang yang terpilih menjadi penguasa, kemudian ia berkuasa secara mutlak dan semena-mena, berarti ia telah merampas hak-hak orang lain sebagai khlmifah Allah, dan tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam.17
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan rakyat, tidak hanya berdasarkan adanya bukti praktek Demokrasi yang sering menyeleweng, tetapi terutama berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat al Qur’an, yang menunjukkan beberapa prinsip Negara Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :

a. Otoritas dan kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan
b. Tuhan saja yang berhak memberikan hukum bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum serta menentukan apa yang halal dan apa yang haram. Jadi, hukum di sini berarti norma-norma dasar.
c. Pemerintahan yang menjalankan aturan-aturan dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat,  karena pada dasarnya pemerintah bertindak sebagai badan politik yang memperlakukan hukum-hukum Tuhan.18
Konsep  kenegaraan Islam al Maududi, muncul karena keinginannya menjadikan Pakistan sebagai sebuah Negara yang betul-betul Islam. Konsepsi kenegaraan ini, yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas dijabarkan sebagai berikut :
a. Sistem kenegaraan Islam bukan demokrasi, karena dalam system ini, kedaulatan (kekuasaan) negara secara mutlak di tangan rakyat. Sistem kenagaraan Islam adalah “Theo demokrasi”, karena system ini mengakui bahwa kedaulatan rakyat itu dibatasi oleh hukum-hukum Tuhan dari al Qur’an dan sunnah. Manusia sebagai khalifahNya di bumi ini.
b. Pemerintah atau badan eksekutif, hanya dibentuk oleh umat Islam. Persoalan kenegaraan yang tidak diatur di dalam nash yang jelas, dipecahkan melalui kesepakatan umat Islam. Untuk mengetahui penjelasan dari al Qur’an dan sunnah diperlukan ijtihad dari orang yang mencapai tingkat mujtahid. Sedangkan hokum-hukum yang diambil dari nash-nash yang jelas, tidak seorang pun boleh mengubahnya. Seperti hokum riba, waris dan lain-lain.
c. Kekuasaan negara, dilakukan oleh tiga lembaga yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan ketentuan debagai berikut :
1. Kepala negara atau pemerintah, merupakan pemimpin tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyat. Ia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat kepercayaan umat.
2. Keputusan pada majelis syura, pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak.
3. Jabatan kepala negara dan jabatan-jabatan lain yang penting tidak boleh diduduki oleh orang yang ambisius.
4. Anggota majelis syura, tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing harus menyampaikan pendapatnya secara perorangan.
5. badan yudikatif atau lembaga peradilan berada di luar lembaga eksekutif, hakim bertugas melaksanakan hokum-hukum Allah atas hambanya, bukan mewakili kepala negara, tetapi mewakili Allah.
Persyaratan dapat dipilih menjadi kepala negara adalah beragama Islam, laki-laki dewasa, sehat fisik dan mental, shaleh dan kuat komitmennya terhadap Islam.
d. Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga negara yang beragama Islam, laki-laki dewasa, shaleh, mampu menafsirkan dan menerapkan syariah, serta menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah Nabi. Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
1. Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
2. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
3. Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka penentuan hukum dilakukan dengan memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.
e. Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yanglain, mereka tunduk kepada hokum Islam sebagai hokum mayoritas.19
Dengan demikian, negara Islam adalah negara yang berdasarkan syari’ah atau agama. Dan hanya mereka yang menerima ideology islam yang berhak mengatur negara. Jadi, inilah yang menjadi salah satu perbedaan yang mendasar antara nasional dan negara Islam. Negara nasional, mendasarkan keanggotaan warganya pada kesamaan bangsa, ras, atau etnik yang sederhana. Negara nasional mengutamakan serta mendahulukan bangsanya sendiri daripada bangsa-bangsa lain. hal ini berpeluang menimbulkan ketegangan dan permusuhan di antara mereka. Sedangkan kewarganegaraan Islam didasarkan atas ideology atau agama, mereka yang menerima prinsip-prinsip Islam tidak dibeda-bedakan, baik perbedaan kebangsaan, ras, kelas maupun negaranya.20

V. Kesimpulan

1. Abul A’la al Maududi adalah seorang tokoh paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya, sekaligus pejuang yang menginginkan terwujudnya negara Islam yang di dalamnya betul-betul berjalan sesuai dengan tuntutan syari’ah Islam.
2. Manurut al Maududi, sistem politik Islam harus berpijak pada doktrin  tauhid yang mempunyai implikasi bahwa kedaulatan berada di tangan Tuhan, dan bukan pada tangan manusia. Manusia hanyalah pelaksana (Khalifah) di muka bumi ini.
3. Konsep kenegaraan al Maududi, muncul disebabkan oleh keinginannya menjadikan Pakistan sebagai negara yang benar-benar berlandaskan ajaran Islam atau sebagai negara Islam.

KEPUSTAKAAN

al  Maududi, to Words Understanding Islam, Karachi : IIFSO, 1959
------- , al Khilifah wa al Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al Baqir dengan judul “Khalifah dan Kerajaan”, Bandung : Mizan, 1993
------- , The Islamic Low and Constitution, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul “Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam”, Bandung : Mizan 1993
------- , Nasionalisme dan Islam, dalam John J. Dodohue dan John L. Esposito, Islam in the Transition, Muslim Perspectives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul “Isalm dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995
Ali, Mukti A, Alam Pikiran Islam Modern, India dan Pakistan, Bandung : Mizan, 1993
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid III, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Esposito, John L, The Islamic Threat; Myth of reality ? diterjemahkan oleh Abdurrahman dengan judul “Ancaman Islam ; Mitos atau Realitas ?” Bandung : Mizan, 1994
Jamilah, Maryam, Who is Maudoodi, diterjemahkan oleh Dedi Djamaluddin Malik dengan judul “Biografi Abul A’la al Maududi”, Bandung : Risalah, 1984
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993




1Abdul A’la al Maududi, al-Khalifah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al Baqir dengan judul “Khalifah dan Kerajaan”, (Bandung : Mizan, 1993), h. 6

2A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern ; di India dan Pakistan, (Bandung : Mizan, 1993), hlm. 241

3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 208.

4 Lihat A. Mukti Ali, loc, cit.

5 Lihat Ibid, hlm. 238 

6 Maryam Jamilah, Who is Maudoodi, diterjemahkan oleh Dedi Djamaluddin Malik dengan judul: “Biografi Abul A’la al Maududi”, (Bandung: Risalah, 1984) hlm. 3

7 Lihat A. Mukti Ali, loc cit, bandingkan pula dengan Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : UI Press, 1993) hlm. 158-159

8 Lihat Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, loc cit

9Lihat al Maududi, op. cit. h. 11

10Ibid. h. 10

11 Lihat A. Mukti Ali, Op cit, h. 244

12 Ibid. Lihat pula al Maududi. To Words Understanding Islam, (Karachi : IIFSO, 1995), h. 3

13 John L. Esposito, The Islamic Threat : Myth of Reakity ?, diterjemahkan oleh Abdurrahman dengan judul “Ancaman Islam, Mitos atau Realitas ?” (Bandung : Mizan, 1994),  h. 136

14 Lihat A. Mukti Ali, op cit, h. 257

15 John L. Esposito, op cit, h. 135

16 Lihat al Maududi , al khilafah op cit, h. 21

17 al Maududi, The Islamic Law and Constitution, diterjemahkan oleh Asek Hikmah, dengan judul hukum dan konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1993), h. 171

18 Lihat al Maududi, al Khalifah, Loc cit

19 Lihat al Maududi, The Islamic Low, op cit, h. 306

20 al Maududi, Nasionalisme dan Islam, dalam John J. Donohue dan John L. Eposito, Islam dan pembaharuan ; Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) h. 160-164



(Pemikiran dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)



Makalah


Disampaikan dalam forum seminar kelas
Mata Kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam



Oleh :
H.Abu Syakkar Lakka
NIM :

Dosen Pembimbing :




PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
UMI-MAKASSAR
2004

ABUL A’LA AL MAUDUDI
(Pemikiran dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)

I. Pendahuluan

Dari barisan kaum pembaharu pemikiran Islam di zaman modern, Abul A’la al Maududi jelas merupakan tokoh yang paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya. Yang paling menarik dari tulisan-tulisannya al Maududi, adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu sistem atau tata pikir yang benar-benar terpadu.
Di antara para pemikir Islam sib-kontinen (India dan Pakistan) seperti Syekh Waliyullah, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, Yusuf Ali, Muhammad Iqbal, Fazhur Rahman, an Nabawi dan lain-lain, al Maududi saja yang mencoba dengan sangat tekun menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan manusia.1 Walaupun kadang kala ada kritik keras dilontarkan oleh sementara pemikir Islam sendiri kepada al Maududi, bahkan dengan kata-kata yang jauh di luar batas kewajaran. Akan tetapi, kritik keras itu tidak sedikitpun menggoyahkan kemantapan tata piker al Maududi yang begitu solid.
Sekitar tahun 1941, al Maududi mengembangkan pikirannya untuk membentuk suatu gerakan yang lebih komprehensif, dan itulah yang menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama ‘ati Islami (Partai Islam) sekaligus merangkap sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Organisasi   Jama ‘ati Islam pimpinan al Maududi, pada hakekatnya merupakan gerakan kader-kader Islam dan bukan menjadi gerakan massa.2
Dalam perjuangannya, ia sering mengambil posisi berhadapan dengan pemerintahan Pakistan. Ketika negara Pkistan berdiri pada tanggal 14 Agustus 1947, al Maududi pindah ke sana dan mulai emusatkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk membangun negara Islam yang benar-benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.3 Berpegang teguh pada tujuan itu, ia banyak menulis untuk menerangkan aspek-aspek yang berbeda dari jalan hidup Islam, terutama aspek-aspek sosio-politik.4
Melihat adanya fenomena para pendiri negara Pakistan, yang cenderung tidak konsisten melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bernegara yang didirikan atas nama Islam itu. Keadaan ini mendorong al Maududi tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan sumber konstitusi di negara itu. Sebelum penulis mengemukakan permasalahan pokok pada makalah ini terlebih dahulu kami kemukakan pengertian Theo Demokrasi sebagai berikut :
a. Theo berasal dari bahasa Yunani yang berarti Tuhan.
b. Demokrasi berarti : (Bentuk atau system) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya.
Jadi pengertian Theo Demokrasi Islam yang penulis maksudkan adalah Sistem pemerintahan, di mana rakyat diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya dengan tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturan Tuhan.
Dari uraian di atas, pokok permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah : bagaimana ide pembaharuan al Maududi yang sebenarnya ? Dan bagaimana pula teori politik kenegaraannya dalam Islam.

 

II. Riwayat Hidup Abul A’la al Maududi

Abul A’la al Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 bertepatan dengan 25 September 1903 di Aurangabad, suatu kota terkenal di daerah yan sekarang dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ia dilahirkan dari keluarga yang terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid.5 Keluarga al Maududi adalah keturunan langsung dari Khawajah Maunuddin Ajmeri.6
Ayah al Maududi, adalah Ahmad hasan yang dilahirkan pada 1855 M, ia seorang ahli fiqih yang sangat shlmeh, disamping seorang pengacara, iua juga seorang pengikut tasawuf yang pernah belajar di Aligarh. al Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memperoleh pendidikan dasarnya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Setelah berusia 11 tahun, ia masuk ke Faqaniyat di Aurangabad sebuah sekolah menengah agama yang memadukan antara system pendidikan modern dan system pendidikan tradisional. Setamat dari sekolah ini, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Dar al ‘Ulum di Hiderabat. al Maududi terpaksa harus meninggalkan sekolah ini pada uisa 16 tahun, karena kematian ayahnya. Keadaan ini mendorong bekerja di salah satu penerbit Islam di Delhi. Sementara pada waktu kosong, ia belahar secara otodidak ; membaca buku-buku sastra Arab, tafsir, mantik dan filsafat, ditopang oleh kemampuan bahasanya yaitu ; Arab, Inggris, Persia dan Urdu (bahsa Ibu).7
Sejak mudanya al Maududi telah mempunyai kecenderungan kuat pada bidang jurnalistik, pernah menjadi editor beberapa massa. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur (India). Kemudian menjadi pemimpin al Jami’ah salah satu harian Islam yang paling berpengaruh dan populer di New Delhi (1920 an). Minatnya pada politik tumbuh pada usia sekitar 20 tahun, dan buah tangannya yang pertamadalam masalah ini adalah al Jihaad fi al Islam (Jihad dalam Islam), salah satu buku yang cermat dan tajam dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai.8
Pemikiran al Maududi, tidak saja berpengaruh dan bergema di kawasan sub kontinen Indo-Pakistan., melainkan di seluruh dunia Islam. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di samping ia pernah berkeliling dunia untuk memberikan kuliah di berbagai ibu kota negara-negara timur tengah, London, New York, Toronto dan sejumlah pusat studi di kota-kota besar lainnya. Ia pernah juga malakukan studi tour ke beberapa tempat seperti Jordan, Jerussalem, Suriah, Mesir dan Saudi Arabia, untuk mempelajari aspek-aspek geografi dan historinya.9
Akhirnya pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan masalah sekte Ahmadiyah Qadani. Akan tetapi, al Maududi bukannya minta naik banding atau memohon pengampunan pada penguasa pada waktu itu. Dengan semangat gembira ia memilih kematian dari pada meminta pengampunan kepada mereka yang memang ingin menggantungnya. Keteguhan al Maududi ini, justru menggoncangkan pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.10

 

III. Pembaharuan Abul A’la al Maududi

Pembaharuan yang ditekankan oleh al Maududi, pada prinsipnya dilandaskan pada visinya terhadap Islam yang berpangkal pada doktrin “tauhid”. Doktrin inilah yang menjadi risalah para Nabi dan Rasul Allah untuk mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan, The Unity of Godhead) kepada seluruh umat manusia dan sepanjang masa.
Doktrin tauhid terpatri dengan tepat dalam kalimat ”tiada Tuhan melainkan Allah” suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan kukuh tentang keesaan sang pencipta. Dalam pandangan al Maududi, mempunyai implikasi yang lebih jauh dari pada apa yang ditujukan oleh keterangan itu sepintas lalu. Menurut beliau, ”syahadat” itu bukan hanya menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai satu-satunya sasaran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, sebagai Maha Pengatur.11
Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan loyal, tunduk secara loyal kepada Allah. Kemudian “syahadat” merupakan deklarasi moral, suatu ajakan kepada manusia menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk beramal dan berbakti kepadaNya, dan keadaan inilah yang disebut muslim, karena ketundukannya secara total kepada hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kebebasan untuk tunduk atau tidak mematuhi hukum-hukum yang ditetapkannya. Hanya mereka yang patuh saja disebut muslim.12
Kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum Tuhan, terpenuhi dengan adanya misi keNabian. Dari al Qur’an dan sunnah dapat diketahui aturan-aturan hidup yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. al Maududi menolak adanya anggapan bahwa Islam hanyalah seperangkat doktrin tentang metafisika dan ritual belaka. Akan tetapi, ia menegaskan abhwa Islam adalah “Way of Life”, karena Islam mempunyai ajaran yang konprehensif dan mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.13
Selanjutnya untuk mendukung pernyataan di atas, al Maududi menginterprestasikan kembali ayat-ayat al Qur’an dan hadits untuk menjawab tantangan zaman. Dalam hlm ini, ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan konsep-konsep kehidupan social politik Islam dari kedua sumber ajaran tersebut di atas.14
Konsep-konsep al Maududi yang ditujukan bagi masyarakat abad ke-20, mencakup problem modernitas, menganalisis hubungan Islam dan nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern, pendidikan, hukum, kaum perempuan, pekerjaan, zionisme dan hubungan internasional.15 Dengan demikian, pemikiran al Maududi secara luas dan sistematis berusaha menunjukkan relevansi komprehnesif Islam dalam semua aspek kehidupan.

 

IV. Teori Politik Kenegaraan al Maududi

Dalam perspektif kita tentang teori politik modern atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh al Maududi kelihatan menarik, bahkan ”ganjil”. Keunikan atau keganjilan teori politik al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Oleh karena itu, teori politik al Maududi berbeda dengan teori demokrasi dari Barat pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia melihat dalam kenyatan yang tampak dari praktek demokrasi Barat adalah kegagalan menciptakan keadaan sosio-ekonomi, sosio-politik serta keadilan hukum.
Hak-hak politik rakyat hanya terbatas sampai formalitas empat atau lima tahun sekali, dan dalam prakteknya, yang memperoleh perlindungan hukum hanya mereka yang berasal dari lapisan atas. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hukum hanya merupakan slogan kosong tanpa dirahasiakan dalam kehidupan sehari-hari.16
Kedaan seperi di atas, jelas bertentangan dengan prinsip Islam. Bahwa setiap manusia adalah khlmifah Allah dan masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhlmifaan. Dengan demikian, status atau kedudukan setiap manusia adalah sederajat dalam masyarakat. Seseorang yang terpilih menjadi penguasa, kemudian ia berkuasa secara mutlak dan semena-mena, berarti ia telah merampas hak-hak orang lain sebagai khlmifah Allah, dan tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam.17
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan rakyat, tidak hanya berdasarkan adanya bukti praktek Demokrasi yang sering menyeleweng, tetapi terutama berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat al Qur’an, yang menunjukkan beberapa prinsip Negara Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :

a. Otoritas dan kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan
b. Tuhan saja yang berhak memberikan hukum bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum serta menentukan apa yang halal dan apa yang haram. Jadi, hukum di sini berarti norma-norma dasar.
c. Pemerintahan yang menjalankan aturan-aturan dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat,  karena pada dasarnya pemerintah bertindak sebagai badan politik yang memperlakukan hukum-hukum Tuhan.18
Konsep  kenegaraan Islam al Maududi, muncul karena keinginannya menjadikan Pakistan sebagai sebuah Negara yang betul-betul Islam. Konsepsi kenegaraan ini, yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas dijabarkan sebagai berikut :
a. Sistem kenegaraan Islam bukan demokrasi, karena dalam system ini, kedaulatan (kekuasaan) negara secara mutlak di tangan rakyat. Sistem kenagaraan Islam adalah “Theo demokrasi”, karena system ini mengakui bahwa kedaulatan rakyat itu dibatasi oleh hukum-hukum Tuhan dari al Qur’an dan sunnah. Manusia sebagai khalifahNya di bumi ini.
b. Pemerintah atau badan eksekutif, hanya dibentuk oleh umat Islam. Persoalan kenegaraan yang tidak diatur di dalam nash yang jelas, dipecahkan melalui kesepakatan umat Islam. Untuk mengetahui penjelasan dari al Qur’an dan sunnah diperlukan ijtihad dari orang yang mencapai tingkat mujtahid. Sedangkan hokum-hukum yang diambil dari nash-nash yang jelas, tidak seorang pun boleh mengubahnya. Seperti hokum riba, waris dan lain-lain.
c. Kekuasaan negara, dilakukan oleh tiga lembaga yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan ketentuan debagai berikut :
1. Kepala negara atau pemerintah, merupakan pemimpin tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyat. Ia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat kepercayaan umat.
2. Keputusan pada majelis syura, pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak.
3. Jabatan kepala negara dan jabatan-jabatan lain yang penting tidak boleh diduduki oleh orang yang ambisius.
4. Anggota majelis syura, tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing harus menyampaikan pendapatnya secara perorangan.
5. badan yudikatif atau lembaga peradilan berada di luar lembaga eksekutif, hakim bertugas melaksanakan hokum-hukum Allah atas hambanya, bukan mewakili kepala negara, tetapi mewakili Allah.
Persyaratan dapat dipilih menjadi kepala negara adalah beragama Islam, laki-laki dewasa, sehat fisik dan mental, shaleh dan kuat komitmennya terhadap Islam.
d. Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga negara yang beragama Islam, laki-laki dewasa, shaleh, mampu menafsirkan dan menerapkan syariah, serta menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah Nabi. Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
1. Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
2. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
3. Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka penentuan hukum dilakukan dengan memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.
e. Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yanglain, mereka tunduk kepada hokum Islam sebagai hokum mayoritas.19
Dengan demikian, negara Islam adalah negara yang berdasarkan syari’ah atau agama. Dan hanya mereka yang menerima ideology islam yang berhak mengatur negara. Jadi, inilah yang menjadi salah satu perbedaan yang mendasar antara nasional dan negara Islam. Negara nasional, mendasarkan keanggotaan warganya pada kesamaan bangsa, ras, atau etnik yang sederhana. Negara nasional mengutamakan serta mendahulukan bangsanya sendiri daripada bangsa-bangsa lain. hal ini berpeluang menimbulkan ketegangan dan permusuhan di antara mereka. Sedangkan kewarganegaraan Islam didasarkan atas ideology atau agama, mereka yang menerima prinsip-prinsip Islam tidak dibeda-bedakan, baik perbedaan kebangsaan, ras, kelas maupun negaranya.20

V. Kesimpulan

1. Abul A’la al Maududi adalah seorang tokoh paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya, sekaligus pejuang yang menginginkan terwujudnya negara Islam yang di dalamnya betul-betul berjalan sesuai dengan tuntutan syari’ah Islam.
2. Manurut al Maududi, sistem politik Islam harus berpijak pada doktrin  tauhid yang mempunyai implikasi bahwa kedaulatan berada di tangan Tuhan, dan bukan pada tangan manusia. Manusia hanyalah pelaksana (Khalifah) di muka bumi ini.
3. Konsep kenegaraan al Maududi, muncul disebabkan oleh keinginannya menjadikan Pakistan sebagai negara yang benar-benar berlandaskan ajaran Islam atau sebagai negara Islam.

KEPUSTAKAAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar