(Pemikiran
dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)
Makalah
Disampaikan
dalam forum seminar kelas
Mata
Kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam
Oleh :
H.Abu Syakkar Lakka
NIM
:
Dosen Pembimbing :
DR.H.M.Arfah Shiddieq, M.A
Drs. H.M.Ilyas Upe, M.A
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
UMI-MAKASSAR
2004
ABUL A’LA AL MAUDUDI
(Pemikiran
dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)
I. Pendahuluan
Dari barisan kaum pembaharu pemikiran Islam di zaman
modern, Abul A’la al Maududi jelas merupakan tokoh yang paling produktif
mengeluarkan ide-ide pembaharuannya. Yang paling menarik dari
tulisan-tulisannya al Maududi, adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya
untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu
sistem atau tata pikir yang benar-benar terpadu.
Di antara para pemikir Islam sib-kontinen (India dan
Pakistan) seperti Syekh Waliyullah, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, Yusuf Ali,
Muhammad Iqbal, Fazhur Rahman, an Nabawi dan lain-lain, al Maududi saja yang
mencoba dengan sangat tekun menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif
bagi kehidupan manusia.1
Walaupun kadang kala ada kritik keras dilontarkan oleh sementara pemikir Islam
sendiri kepada al Maududi, bahkan dengan kata-kata yang jauh di luar batas kewajaran.
Akan tetapi, kritik keras itu tidak sedikitpun menggoyahkan kemantapan tata
piker al Maududi yang begitu solid.
Sekitar tahun 1941, al Maududi mengembangkan pikirannya
untuk membentuk suatu gerakan yang lebih komprehensif, dan itulah yang
menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama ‘ati Islami (Partai Islam) sekaligus
merangkap sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Organisasi Jama ‘ati Islam pimpinan al Maududi, pada
hakekatnya merupakan gerakan kader-kader Islam dan bukan menjadi gerakan massa.2
Dalam perjuangannya, ia sering mengambil posisi
berhadapan dengan pemerintahan Pakistan. Ketika negara Pkistan berdiri pada
tanggal 14 Agustus 1947, al Maududi pindah ke sana dan mulai emusatkan seluruh
tenaga dan pikirannya untuk membangun negara Islam yang benar-benar sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam.3
Berpegang teguh pada tujuan itu, ia banyak menulis untuk menerangkan
aspek-aspek yang berbeda dari jalan hidup Islam, terutama aspek-aspek
sosio-politik.4
Melihat adanya fenomena para pendiri negara Pakistan,
yang cenderung tidak konsisten melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan
bernegara yang didirikan atas nama Islam itu. Keadaan ini mendorong al Maududi
tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup
dan sumber konstitusi di negara itu. Sebelum penulis mengemukakan permasalahan
pokok pada makalah ini terlebih dahulu kami kemukakan pengertian Theo Demokrasi
sebagai berikut :
a.
Theo berasal dari bahasa Yunani yang berarti Tuhan.
b.
Demokrasi berarti : (Bentuk atau system) pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut serta memerintah dengan perantara wakilnya.
Jadi
pengertian Theo Demokrasi Islam yang penulis maksudkan adalah Sistem
pemerintahan, di mana rakyat diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya dengan
tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturan Tuhan.
Dari uraian di atas, pokok permasalahan yang akan
dikaji dalam makalah ini adalah : bagaimana ide pembaharuan al Maududi yang
sebenarnya ? Dan bagaimana pula teori politik kenegaraannya dalam Islam.
II. Riwayat Hidup Abul
A’la al Maududi
Abul A’la al Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321
bertepatan dengan 25 September 1903 di Aurangabad, suatu kota terkenal di
daerah yan sekarang dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ia dilahirkan dari
keluarga yang terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi
Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid.5
Keluarga al Maududi adalah keturunan langsung dari Khawajah Maunuddin Ajmeri.6
Ayah al Maududi, adalah Ahmad hasan yang dilahirkan pada
1855 M, ia seorang ahli fiqih yang sangat shlmeh, disamping seorang pengacara,
iua juga seorang pengikut tasawuf yang pernah belajar di Aligarh. al Maududi
adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memperoleh pendidikan dasarnya di
bawah bimbingan ayahnya sendiri. Setelah berusia 11 tahun, ia masuk ke
Faqaniyat di Aurangabad sebuah sekolah menengah agama yang memadukan antara
system pendidikan modern dan system pendidikan tradisional. Setamat dari
sekolah ini, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Dar al ‘Ulum di
Hiderabat. al Maududi terpaksa harus meninggalkan sekolah ini pada uisa 16
tahun, karena kematian ayahnya. Keadaan ini mendorong bekerja di salah satu
penerbit Islam di Delhi. Sementara pada waktu kosong, ia belahar secara
otodidak ; membaca buku-buku sastra Arab, tafsir, mantik dan filsafat,
ditopang oleh kemampuan bahasanya yaitu ; Arab, Inggris, Persia dan Urdu
(bahsa Ibu).7
Sejak mudanya al Maududi telah mempunyai kecenderungan
kuat pada bidang jurnalistik, pernah menjadi editor beberapa massa. Dalam usia
17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur (India). Kemudian menjadi
pemimpin al Jami’ah salah satu harian Islam yang paling berpengaruh dan populer
di New Delhi (1920 an). Minatnya pada politik tumbuh pada usia sekitar 20
tahun, dan buah tangannya yang pertamadalam masalah ini adalah al Jihaad fi al
Islam (Jihad dalam Islam), salah satu buku yang cermat dan tajam dalam
menganalisis hukum Islam, perang dan damai.8
Pemikiran al Maududi, tidak saja berpengaruh dan bergema
di kawasan sub kontinen Indo-Pakistan., melainkan di seluruh dunia Islam.
Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di samping ia
pernah berkeliling dunia untuk memberikan kuliah di berbagai ibu kota
negara-negara timur tengah, London, New York, Toronto dan sejumlah pusat studi
di kota-kota besar lainnya. Ia pernah juga malakukan studi tour ke beberapa
tempat seperti Jordan, Jerussalem, Suriah, Mesir dan Saudi Arabia, untuk
mempelajari aspek-aspek geografi dan historinya.9
Akhirnya pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi hukuman
mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan
masalah sekte Ahmadiyah Qadani. Akan tetapi, al Maududi bukannya minta naik
banding atau memohon pengampunan pada penguasa pada waktu itu. Dengan semangat
gembira ia memilih kematian dari pada meminta pengampunan kepada mereka yang
memang ingin menggantungnya. Keteguhan al Maududi ini, justru menggoncangkan
pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah
Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.10
III. Pembaharuan Abul A’la
al Maududi
Pembaharuan yang ditekankan oleh al Maududi, pada
prinsipnya dilandaskan pada visinya terhadap Islam yang berpangkal pada doktrin
“tauhid”. Doktrin inilah yang menjadi risalah para Nabi dan Rasul Allah untuk
mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan, The Unity of Godhead) kepada seluruh umat
manusia dan sepanjang masa.
Doktrin tauhid terpatri dengan tepat dalam kalimat ”tiada
Tuhan melainkan Allah” suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan
kukuh tentang keesaan sang pencipta. Dalam pandangan al Maududi, mempunyai
implikasi yang lebih jauh dari pada apa yang ditujukan oleh keterangan itu
sepintas lalu. Menurut beliau, ”syahadat” itu bukan hanya menerangkan tentang
keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai satu-satunya sasaran
penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang
menyerupai Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, sebagai Maha Pengatur.11
Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan loyal, tunduk
secara loyal kepada Allah. Kemudian “syahadat” merupakan deklarasi moral, suatu
ajakan kepada manusia menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk beramal
dan berbakti kepadaNya, dan keadaan inilah yang disebut muslim, karena
ketundukannya secara total kepada hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kebebasan untuk tunduk atau tidak mematuhi
hukum-hukum yang ditetapkannya. Hanya mereka yang patuh saja disebut muslim.12
Kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum Tuhan,
terpenuhi dengan adanya misi keNabian. Dari al Qur’an dan sunnah dapat
diketahui aturan-aturan hidup yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. al
Maududi menolak adanya anggapan bahwa Islam hanyalah seperangkat doktrin
tentang metafisika dan ritual belaka. Akan tetapi, ia menegaskan abhwa Islam
adalah “Way of Life”, karena Islam mempunyai ajaran yang konprehensif dan
mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.13
Selanjutnya untuk mendukung pernyataan di atas, al Maududi
menginterprestasikan kembali ayat-ayat al Qur’an dan hadits untuk menjawab
tantangan zaman. Dalam hlm ini, ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan
konsep-konsep kehidupan social politik Islam dari kedua sumber ajaran tersebut
di atas.14
Konsep-konsep al Maududi yang ditujukan bagi masyarakat
abad ke-20, mencakup problem modernitas, menganalisis hubungan Islam dan
nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern, pendidikan,
hukum, kaum perempuan, pekerjaan, zionisme dan hubungan internasional.15
Dengan demikian, pemikiran al Maududi secara luas dan sistematis berusaha
menunjukkan relevansi komprehnesif Islam dalam semua aspek kehidupan.
IV. Teori Politik
Kenegaraan al Maududi
Dalam perspektif kita tentang teori politik modern
atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh
al Maududi kelihatan menarik, bahkan ”ganjil”. Keunikan atau keganjilan teori
politik al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan
(souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Oleh karena itu,
teori politik al Maududi berbeda dengan teori demokrasi dari Barat pada umumnya
yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia melihat dalam
kenyatan yang tampak dari praktek demokrasi Barat adalah kegagalan menciptakan
keadaan sosio-ekonomi, sosio-politik serta keadilan hukum.
Hak-hak politik rakyat hanya terbatas sampai formalitas
empat atau lima tahun sekali, dan dalam prakteknya, yang memperoleh
perlindungan hukum hanya mereka yang berasal dari lapisan atas. Sedangkan bagi
rakyat kebanyakan, hukum hanya merupakan slogan kosong tanpa dirahasiakan dalam
kehidupan sehari-hari.16
Kedaan seperi di atas, jelas bertentangan dengan prinsip
Islam. Bahwa setiap manusia adalah khlmifah Allah dan masing-masing memikul
tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhlmifaan. Dengan demikian, status
atau kedudukan setiap manusia adalah sederajat dalam masyarakat. Seseorang yang
terpilih menjadi penguasa, kemudian ia berkuasa secara mutlak dan semena-mena,
berarti ia telah merampas hak-hak orang lain sebagai khlmifah Allah, dan
tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam.17
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan rakyat, tidak
hanya berdasarkan adanya bukti praktek Demokrasi yang sering menyeleweng, tetapi
terutama berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat al Qur’an, yang menunjukkan
beberapa prinsip Negara Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :
a. Otoritas dan kedaulatan tertinggi
berada pada Tuhan
b. Tuhan saja yang berhak memberikan
hukum bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum serta menentukan apa
yang halal dan apa yang haram. Jadi, hukum di sini berarti norma-norma dasar.
c. Pemerintahan yang menjalankan
aturan-aturan dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat, karena pada dasarnya pemerintah bertindak
sebagai badan politik yang memperlakukan hukum-hukum Tuhan.18
Konsep kenegaraan
Islam al Maududi, muncul karena keinginannya menjadikan Pakistan sebagai sebuah
Negara yang betul-betul Islam. Konsepsi kenegaraan ini, yang didasarkan pada
prinsip-prinsip di atas dijabarkan sebagai berikut :
a.
Sistem kenegaraan Islam bukan demokrasi, karena dalam system ini, kedaulatan
(kekuasaan) negara secara mutlak di tangan rakyat. Sistem kenagaraan Islam
adalah “Theo demokrasi”, karena system ini mengakui bahwa kedaulatan rakyat itu
dibatasi oleh hukum-hukum Tuhan dari al Qur’an dan sunnah. Manusia sebagai
khalifahNya di bumi ini.
b.
Pemerintah atau badan eksekutif, hanya dibentuk oleh umat Islam. Persoalan
kenegaraan yang tidak diatur di dalam nash yang jelas, dipecahkan melalui
kesepakatan umat Islam. Untuk mengetahui penjelasan dari al Qur’an dan sunnah
diperlukan ijtihad dari orang yang mencapai tingkat mujtahid. Sedangkan
hokum-hukum yang diambil dari nash-nash yang jelas, tidak seorang pun boleh
mengubahnya. Seperti hokum riba, waris dan lain-lain.
c.
Kekuasaan negara, dilakukan oleh tiga lembaga yaitu : legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Dengan ketentuan debagai berikut :
1. Kepala negara atau pemerintah,
merupakan pemimpin tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan
kepada rakyat. Ia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat
kepercayaan umat.
2. Keputusan pada majelis syura,
pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak.
3. Jabatan kepala negara dan jabatan-jabatan
lain yang penting tidak boleh diduduki oleh orang yang ambisius.
4. Anggota majelis syura, tidak
dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing
harus menyampaikan pendapatnya secara perorangan.
5. badan yudikatif atau lembaga
peradilan berada di luar lembaga eksekutif, hakim bertugas melaksanakan
hokum-hukum Allah atas hambanya, bukan mewakili kepala negara, tetapi mewakili
Allah.
Persyaratan dapat dipilih menjadi
kepala negara adalah beragama Islam, laki-laki dewasa, sehat fisik dan mental,
shaleh dan kuat komitmennya terhadap Islam.
d.
Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga negara yang beragama Islam,
laki-laki dewasa, shaleh, mampu menafsirkan dan menerapkan syariah, serta
menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah
Nabi. Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
1. Merumuskan dalam peraturan
perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al
Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
2. Jika terdapat perbedaan
penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan
mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
3. Jika terdapat petunjuk yang
jelas, maka penentuan hukum dilakukan dengan memperhatikan petunjuk umum dari
al Qur’an.
e.
Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim
dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan
dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut
ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin
agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yanglain, mereka tunduk
kepada hokum Islam sebagai hokum mayoritas.19
Dengan demikian, negara Islam adalah negara yang
berdasarkan syari’ah atau agama. Dan hanya mereka yang menerima ideology islam
yang berhak mengatur negara. Jadi, inilah yang menjadi salah satu perbedaan
yang mendasar antara nasional dan negara Islam. Negara nasional, mendasarkan
keanggotaan warganya pada kesamaan bangsa, ras, atau etnik yang sederhana.
Negara nasional mengutamakan serta mendahulukan bangsanya sendiri daripada
bangsa-bangsa lain. hal ini berpeluang menimbulkan ketegangan dan permusuhan di
antara mereka. Sedangkan kewarganegaraan Islam didasarkan atas ideology atau
agama, mereka yang menerima prinsip-prinsip Islam tidak dibeda-bedakan, baik
perbedaan kebangsaan, ras, kelas maupun negaranya.20
V. Kesimpulan
1.
Abul A’la al Maududi adalah seorang tokoh paling produktif mengeluarkan ide-ide
pembaharuannya, sekaligus pejuang yang menginginkan terwujudnya negara Islam
yang di dalamnya betul-betul berjalan sesuai dengan tuntutan syari’ah Islam.
2.
Manurut al Maududi, sistem politik Islam harus berpijak pada doktrin tauhid yang mempunyai implikasi bahwa kedaulatan
berada di tangan Tuhan, dan bukan pada tangan manusia. Manusia hanyalah
pelaksana (Khalifah) di muka bumi ini.
3.
Konsep kenegaraan al Maududi, muncul disebabkan oleh keinginannya menjadikan
Pakistan sebagai negara yang benar-benar berlandaskan ajaran Islam atau sebagai
negara Islam.
KEPUSTAKAAN
al
Maududi, to Words Understanding Islam, Karachi : IIFSO, 1959
------- , al Khilifah wa al Mulk,
diterjemahkan oleh Muhammad al Baqir dengan judul “Khalifah dan Kerajaan”,
Bandung : Mizan, 1993
------- , The Islamic Low and
Constitution, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul “Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam”, Bandung : Mizan 1993
------- , Nasionalisme dan Islam,
dalam John J. Dodohue dan John L. Esposito, Islam in the Transition, Muslim
Perspectives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul “Isalm dan
Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah”, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1995
Ali, Mukti A, Alam
Pikiran Islam Modern, India dan Pakistan, Bandung : Mizan, 1993
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid III, Jakarta : Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994
Esposito, John
L, The Islamic Threat; Myth of reality ? diterjemahkan oleh Abdurrahman
dengan judul “Ancaman Islam ; Mitos atau Realitas ?” Bandung : Mizan,
1994
Jamilah, Maryam,
Who is Maudoodi, diterjemahkan oleh Dedi Djamaluddin Malik dengan judul
“Biografi Abul A’la al Maududi”, Bandung : Risalah, 1984
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :
UI Press, 1993
1Abdul A’la al Maududi, al-Khalifah
wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al Baqir dengan judul “Khalifah
dan Kerajaan”, (Bandung : Mizan, 1993), h. 6
2A. Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern ; di India dan Pakistan, (Bandung : Mizan,
1993), hlm. 241
3 Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994) hlm. 208.
4 Lihat A. Mukti Ali, loc,
cit.
5 Lihat Ibid, hlm.
238
6 Maryam Jamilah, Who is
Maudoodi, diterjemahkan oleh Dedi Djamaluddin Malik dengan judul: “Biografi
Abul A’la al Maududi”, (Bandung: Risalah, 1984) hlm. 3
7 Lihat A. Mukti Ali, loc
cit, bandingkan pula dengan Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara, Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : UI Press, 1993) hlm. 158-159
8 Lihat Dewan Redaksi, Ensiklopedi
Islam, loc cit
9Lihat al Maududi, op. cit. h.
11
10Ibid. h. 10
11 Lihat A. Mukti Ali, Op
cit, h. 244
12 Ibid. Lihat pula al Maududi. To
Words Understanding Islam, (Karachi : IIFSO, 1995), h. 3
13 John L. Esposito, The Islamic
Threat : Myth of Reakity ?, diterjemahkan oleh Abdurrahman dengan judul “Ancaman
Islam, Mitos atau Realitas ?” (Bandung : Mizan, 1994), h. 136
14 Lihat A. Mukti Ali, op
cit, h. 257
15 John L. Esposito, op cit,
h. 135
16 Lihat al Maududi , al
khilafah op cit, h. 21
17 al Maududi, The Islamic Law
and Constitution, diterjemahkan oleh Asek Hikmah, dengan judul hukum dan
konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1993), h. 171
19
Lihat al Maududi, The Islamic Low, op cit, h. 306
20 al Maududi, Nasionalisme dan Islam,
dalam John J. Donohue dan John L. Eposito, Islam dan pembaharuan ;
Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995)
h. 160-164
(Pemikiran
dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)
Makalah
Disampaikan
dalam forum seminar kelas
Mata
Kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam
Oleh :
H.Abu Syakkar Lakka
NIM
:
Dosen Pembimbing :
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
UMI-MAKASSAR
2004
ABUL A’LA AL MAUDUDI
(Pemikiran
dan Gerakan al-Jamaah al-Islamiyah)
I. Pendahuluan
Dari barisan kaum pembaharu pemikiran Islam di zaman
modern, Abul A’la al Maududi jelas merupakan tokoh yang paling produktif
mengeluarkan ide-ide pembaharuannya. Yang paling menarik dari
tulisan-tulisannya al Maududi, adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya
untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu
sistem atau tata pikir yang benar-benar terpadu.
Di antara para pemikir Islam sib-kontinen (India dan
Pakistan) seperti Syekh Waliyullah, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, Yusuf Ali,
Muhammad Iqbal, Fazhur Rahman, an Nabawi dan lain-lain, al Maududi saja yang
mencoba dengan sangat tekun menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif
bagi kehidupan manusia.1
Walaupun kadang kala ada kritik keras dilontarkan oleh sementara pemikir Islam
sendiri kepada al Maududi, bahkan dengan kata-kata yang jauh di luar batas kewajaran.
Akan tetapi, kritik keras itu tidak sedikitpun menggoyahkan kemantapan tata
piker al Maududi yang begitu solid.
Sekitar tahun 1941, al Maududi mengembangkan pikirannya
untuk membentuk suatu gerakan yang lebih komprehensif, dan itulah yang
menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama ‘ati Islami (Partai Islam) sekaligus
merangkap sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Organisasi Jama ‘ati Islam pimpinan al Maududi, pada
hakekatnya merupakan gerakan kader-kader Islam dan bukan menjadi gerakan massa.2
Dalam perjuangannya, ia sering mengambil posisi
berhadapan dengan pemerintahan Pakistan. Ketika negara Pkistan berdiri pada
tanggal 14 Agustus 1947, al Maududi pindah ke sana dan mulai emusatkan seluruh
tenaga dan pikirannya untuk membangun negara Islam yang benar-benar sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam.3
Berpegang teguh pada tujuan itu, ia banyak menulis untuk menerangkan
aspek-aspek yang berbeda dari jalan hidup Islam, terutama aspek-aspek
sosio-politik.4
Melihat adanya fenomena para pendiri negara Pakistan,
yang cenderung tidak konsisten melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan
bernegara yang didirikan atas nama Islam itu. Keadaan ini mendorong al Maududi
tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup
dan sumber konstitusi di negara itu. Sebelum penulis mengemukakan permasalahan
pokok pada makalah ini terlebih dahulu kami kemukakan pengertian Theo Demokrasi
sebagai berikut :
a.
Theo berasal dari bahasa Yunani yang berarti Tuhan.
b.
Demokrasi berarti : (Bentuk atau system) pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut serta memerintah dengan perantara wakilnya.
Jadi
pengertian Theo Demokrasi Islam yang penulis maksudkan adalah Sistem
pemerintahan, di mana rakyat diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya dengan
tetap berpegang teguh pada peraturan-peraturan Tuhan.
Dari uraian di atas, pokok permasalahan yang akan
dikaji dalam makalah ini adalah : bagaimana ide pembaharuan al Maududi yang
sebenarnya ? Dan bagaimana pula teori politik kenegaraannya dalam Islam.
II. Riwayat Hidup Abul
A’la al Maududi
Abul A’la al Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321
bertepatan dengan 25 September 1903 di Aurangabad, suatu kota terkenal di
daerah yan sekarang dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ia dilahirkan dari
keluarga yang terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi
Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid.5
Keluarga al Maududi adalah keturunan langsung dari Khawajah Maunuddin Ajmeri.6
Ayah al Maududi, adalah Ahmad hasan yang dilahirkan pada
1855 M, ia seorang ahli fiqih yang sangat shlmeh, disamping seorang pengacara,
iua juga seorang pengikut tasawuf yang pernah belajar di Aligarh. al Maududi
adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memperoleh pendidikan dasarnya di
bawah bimbingan ayahnya sendiri. Setelah berusia 11 tahun, ia masuk ke
Faqaniyat di Aurangabad sebuah sekolah menengah agama yang memadukan antara
system pendidikan modern dan system pendidikan tradisional. Setamat dari
sekolah ini, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Dar al ‘Ulum di
Hiderabat. al Maududi terpaksa harus meninggalkan sekolah ini pada uisa 16
tahun, karena kematian ayahnya. Keadaan ini mendorong bekerja di salah satu
penerbit Islam di Delhi. Sementara pada waktu kosong, ia belahar secara
otodidak ; membaca buku-buku sastra Arab, tafsir, mantik dan filsafat,
ditopang oleh kemampuan bahasanya yaitu ; Arab, Inggris, Persia dan Urdu
(bahsa Ibu).7
Sejak mudanya al Maududi telah mempunyai kecenderungan
kuat pada bidang jurnalistik, pernah menjadi editor beberapa massa. Dalam usia
17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur (India). Kemudian menjadi
pemimpin al Jami’ah salah satu harian Islam yang paling berpengaruh dan populer
di New Delhi (1920 an). Minatnya pada politik tumbuh pada usia sekitar 20
tahun, dan buah tangannya yang pertamadalam masalah ini adalah al Jihaad fi al
Islam (Jihad dalam Islam), salah satu buku yang cermat dan tajam dalam
menganalisis hukum Islam, perang dan damai.8
Pemikiran al Maududi, tidak saja berpengaruh dan bergema
di kawasan sub kontinen Indo-Pakistan., melainkan di seluruh dunia Islam.
Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di samping ia
pernah berkeliling dunia untuk memberikan kuliah di berbagai ibu kota
negara-negara timur tengah, London, New York, Toronto dan sejumlah pusat studi
di kota-kota besar lainnya. Ia pernah juga malakukan studi tour ke beberapa
tempat seperti Jordan, Jerussalem, Suriah, Mesir dan Saudi Arabia, untuk
mempelajari aspek-aspek geografi dan historinya.9
Akhirnya pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi hukuman
mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan
masalah sekte Ahmadiyah Qadani. Akan tetapi, al Maududi bukannya minta naik
banding atau memohon pengampunan pada penguasa pada waktu itu. Dengan semangat
gembira ia memilih kematian dari pada meminta pengampunan kepada mereka yang
memang ingin menggantungnya. Keteguhan al Maududi ini, justru menggoncangkan
pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah
Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.10
III. Pembaharuan Abul A’la
al Maududi
Pembaharuan yang ditekankan oleh al Maududi, pada
prinsipnya dilandaskan pada visinya terhadap Islam yang berpangkal pada doktrin
“tauhid”. Doktrin inilah yang menjadi risalah para Nabi dan Rasul Allah untuk
mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan, The Unity of Godhead) kepada seluruh umat
manusia dan sepanjang masa.
Doktrin tauhid terpatri dengan tepat dalam kalimat ”tiada
Tuhan melainkan Allah” suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan
kukuh tentang keesaan sang pencipta. Dalam pandangan al Maududi, mempunyai
implikasi yang lebih jauh dari pada apa yang ditujukan oleh keterangan itu
sepintas lalu. Menurut beliau, ”syahadat” itu bukan hanya menerangkan tentang
keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai satu-satunya sasaran
penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang
menyerupai Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, sebagai Maha Pengatur.11
Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan loyal, tunduk
secara loyal kepada Allah. Kemudian “syahadat” merupakan deklarasi moral, suatu
ajakan kepada manusia menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk beramal
dan berbakti kepadaNya, dan keadaan inilah yang disebut muslim, karena
ketundukannya secara total kepada hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kebebasan untuk tunduk atau tidak mematuhi
hukum-hukum yang ditetapkannya. Hanya mereka yang patuh saja disebut muslim.12
Kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum Tuhan,
terpenuhi dengan adanya misi keNabian. Dari al Qur’an dan sunnah dapat
diketahui aturan-aturan hidup yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. al
Maududi menolak adanya anggapan bahwa Islam hanyalah seperangkat doktrin
tentang metafisika dan ritual belaka. Akan tetapi, ia menegaskan abhwa Islam
adalah “Way of Life”, karena Islam mempunyai ajaran yang konprehensif dan
mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.13
Selanjutnya untuk mendukung pernyataan di atas, al Maududi
menginterprestasikan kembali ayat-ayat al Qur’an dan hadits untuk menjawab
tantangan zaman. Dalam hlm ini, ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan
konsep-konsep kehidupan social politik Islam dari kedua sumber ajaran tersebut
di atas.14
Konsep-konsep al Maududi yang ditujukan bagi masyarakat
abad ke-20, mencakup problem modernitas, menganalisis hubungan Islam dan
nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern, pendidikan,
hukum, kaum perempuan, pekerjaan, zionisme dan hubungan internasional.15
Dengan demikian, pemikiran al Maududi secara luas dan sistematis berusaha
menunjukkan relevansi komprehnesif Islam dalam semua aspek kehidupan.
IV. Teori Politik
Kenegaraan al Maududi
Dalam perspektif kita tentang teori politik modern
atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh
al Maududi kelihatan menarik, bahkan ”ganjil”. Keunikan atau keganjilan teori
politik al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan
(souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Oleh karena itu,
teori politik al Maududi berbeda dengan teori demokrasi dari Barat pada umumnya
yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia melihat dalam
kenyatan yang tampak dari praktek demokrasi Barat adalah kegagalan menciptakan
keadaan sosio-ekonomi, sosio-politik serta keadilan hukum.
Hak-hak politik rakyat hanya terbatas sampai formalitas
empat atau lima tahun sekali, dan dalam prakteknya, yang memperoleh
perlindungan hukum hanya mereka yang berasal dari lapisan atas. Sedangkan bagi
rakyat kebanyakan, hukum hanya merupakan slogan kosong tanpa dirahasiakan dalam
kehidupan sehari-hari.16
Kedaan seperi di atas, jelas bertentangan dengan prinsip
Islam. Bahwa setiap manusia adalah khlmifah Allah dan masing-masing memikul
tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhlmifaan. Dengan demikian, status
atau kedudukan setiap manusia adalah sederajat dalam masyarakat. Seseorang yang
terpilih menjadi penguasa, kemudian ia berkuasa secara mutlak dan semena-mena,
berarti ia telah merampas hak-hak orang lain sebagai khlmifah Allah, dan
tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam.17
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan rakyat, tidak
hanya berdasarkan adanya bukti praktek Demokrasi yang sering menyeleweng, tetapi
terutama berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat al Qur’an, yang menunjukkan
beberapa prinsip Negara Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :
a. Otoritas dan kedaulatan tertinggi
berada pada Tuhan
b. Tuhan saja yang berhak memberikan
hukum bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum serta menentukan apa
yang halal dan apa yang haram. Jadi, hukum di sini berarti norma-norma dasar.
c. Pemerintahan yang menjalankan
aturan-aturan dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat, karena pada dasarnya pemerintah bertindak
sebagai badan politik yang memperlakukan hukum-hukum Tuhan.18
Konsep kenegaraan
Islam al Maududi, muncul karena keinginannya menjadikan Pakistan sebagai sebuah
Negara yang betul-betul Islam. Konsepsi kenegaraan ini, yang didasarkan pada
prinsip-prinsip di atas dijabarkan sebagai berikut :
a.
Sistem kenegaraan Islam bukan demokrasi, karena dalam system ini, kedaulatan
(kekuasaan) negara secara mutlak di tangan rakyat. Sistem kenagaraan Islam
adalah “Theo demokrasi”, karena system ini mengakui bahwa kedaulatan rakyat itu
dibatasi oleh hukum-hukum Tuhan dari al Qur’an dan sunnah. Manusia sebagai
khalifahNya di bumi ini.
b.
Pemerintah atau badan eksekutif, hanya dibentuk oleh umat Islam. Persoalan
kenegaraan yang tidak diatur di dalam nash yang jelas, dipecahkan melalui
kesepakatan umat Islam. Untuk mengetahui penjelasan dari al Qur’an dan sunnah
diperlukan ijtihad dari orang yang mencapai tingkat mujtahid. Sedangkan
hokum-hukum yang diambil dari nash-nash yang jelas, tidak seorang pun boleh
mengubahnya. Seperti hokum riba, waris dan lain-lain.
c.
Kekuasaan negara, dilakukan oleh tiga lembaga yaitu : legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Dengan ketentuan debagai berikut :
1. Kepala negara atau pemerintah,
merupakan pemimpin tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan
kepada rakyat. Ia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat
kepercayaan umat.
2. Keputusan pada majelis syura,
pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak.
3. Jabatan kepala negara dan jabatan-jabatan
lain yang penting tidak boleh diduduki oleh orang yang ambisius.
4. Anggota majelis syura, tidak
dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing
harus menyampaikan pendapatnya secara perorangan.
5. badan yudikatif atau lembaga
peradilan berada di luar lembaga eksekutif, hakim bertugas melaksanakan
hokum-hukum Allah atas hambanya, bukan mewakili kepala negara, tetapi mewakili
Allah.
Persyaratan dapat dipilih menjadi
kepala negara adalah beragama Islam, laki-laki dewasa, sehat fisik dan mental,
shaleh dan kuat komitmennya terhadap Islam.
d.
Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga negara yang beragama Islam,
laki-laki dewasa, shaleh, mampu menafsirkan dan menerapkan syariah, serta
menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah
Nabi. Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
1. Merumuskan dalam peraturan
perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al
Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
2. Jika terdapat perbedaan
penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan
mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
3. Jika terdapat petunjuk yang
jelas, maka penentuan hukum dilakukan dengan memperhatikan petunjuk umum dari
al Qur’an.
e.
Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim
dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan
dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut
ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin
agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yanglain, mereka tunduk
kepada hokum Islam sebagai hokum mayoritas.19
Dengan demikian, negara Islam adalah negara yang
berdasarkan syari’ah atau agama. Dan hanya mereka yang menerima ideology islam
yang berhak mengatur negara. Jadi, inilah yang menjadi salah satu perbedaan
yang mendasar antara nasional dan negara Islam. Negara nasional, mendasarkan
keanggotaan warganya pada kesamaan bangsa, ras, atau etnik yang sederhana.
Negara nasional mengutamakan serta mendahulukan bangsanya sendiri daripada
bangsa-bangsa lain. hal ini berpeluang menimbulkan ketegangan dan permusuhan di
antara mereka. Sedangkan kewarganegaraan Islam didasarkan atas ideology atau
agama, mereka yang menerima prinsip-prinsip Islam tidak dibeda-bedakan, baik
perbedaan kebangsaan, ras, kelas maupun negaranya.20
V. Kesimpulan
1.
Abul A’la al Maududi adalah seorang tokoh paling produktif mengeluarkan ide-ide
pembaharuannya, sekaligus pejuang yang menginginkan terwujudnya negara Islam
yang di dalamnya betul-betul berjalan sesuai dengan tuntutan syari’ah Islam.
2.
Manurut al Maududi, sistem politik Islam harus berpijak pada doktrin tauhid yang mempunyai implikasi bahwa kedaulatan
berada di tangan Tuhan, dan bukan pada tangan manusia. Manusia hanyalah
pelaksana (Khalifah) di muka bumi ini.
3.
Konsep kenegaraan al Maududi, muncul disebabkan oleh keinginannya menjadikan
Pakistan sebagai negara yang benar-benar berlandaskan ajaran Islam atau sebagai
negara Islam.
KEPUSTAKAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar