Selasa, 12 Oktober 2010

Amsal dalam Alquran

AMTSAL AL-QURAN (PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN) Makalah Disampaikan dalam forum seminar kelas Mata Kuliah PDPI I Oleh : MUH. SYAHRIR NIM : Dosen Pembimbing : Prof. DR. H. M. Rafii Yunus Dra. Hj. Nurul Fuadi, M.A. PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA UMI-MAKASSAR 2006 AMTSAL AL-QURAN (PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN) Oleh : Muh. Syahrir I. PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Al-Qur’an adalah kalam Allah swt, yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad saw. dan ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Salah satu aspek kemu’jizatan al-Qur’an adalah aspek bahasa yang khas tidak dapat ditiru, meskipun oleh ahli bahasa. Dalam kaitannya dengan aspek bahasa al-Qur’an, suatu kenyataan ketika seseorang yang beriman membaca al-Qur’an atau mendengarkannya, tiba-tiba merasa tertarik tanpa mampu menjelaskan alasan ketertarikannya atau bertambah imannya, dan kepada Allah saja ia bertawakkal. Menurut W. Montgommary Watt, di antara krakteristik gaya bahasa al-Qur’an mencakup; 1) irama dan bait, 2) bentuk didaktik, di antara bentuk didaktik gaya bahasa al-Qur’an adalah tamsil. Jika dikaitkan misi utama al-Qur’an untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kecemerlangan, maka tujuan utamanya adalah pendidikan. Karena itu, memahami tamsil al-Qur’an sebagai metode pendidikan atau pengajaran secara spesifik menjadi urgen agar misi kehadiran al-Qur’an dapat diwujudkan. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, penulis akan membahas dalam makalah ini tentang “bagaimana bentuk amtsal dalam al-Qur’an ?” II. PEMBAHASAN A. Pengertian Kata “amtsal” berasal dari kata مَثَلَ - مُثُوْلاً - مَثَّلَ yang berarti menyerupai; menggambarkan , Menurut Ibn al-Faris, akar kata tersebut berarti menempatkan dua hal dalam konteks pandangan perbandingan dengan melihat persamaannya. Oleh karena itu, kata tersebut juga berarti seakan-akan sama atau memiliki kesamaan. Menurut Manna’ al-Qattan, bahwa yang merupakan bentuk jamak dari masal. Kata tersebut sama dengan “syibh”, artinya sama; serupa. Menurut ulama bayan , amtsal adalah ungkapan yang disamakan dengan asalnya, karena adanya persamaan yang dalam ilmu balaghah disebut tasybih. Dan menurut ulama tafsir adalah menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat, menarik, yang mengena dalam jiwa, baik dalam bentuk tasybih maupun mijaz murshal. Munculnya perhatian terhadap amtsal dalam konteks al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan amtsal al-Qur’an secara serius, pada dasarnya didorong oleh al-Qur’an sendiri maupun Hadits. Untuk itu, Allah swt, berfirman dalam QS. Al-Zumar (39):27 ; وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِى هَذَا اْلقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ Terjemahnya : “Sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran”. Selanjutnya dalam QS. Al Angkabut (29): 43; وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ اْلعَالِمُوْنَ Terjemahnya : “Dan perumpamaan-perumpamaan ini, kami buatkan untuki manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” Dalam hadis yang bersumber dari Abi Hurairah diriwayatkan oleh Baihaqy, Rasulullah saw, bersabda : إن القرآن نزل على خمس أوجه حلال وحرام ومحكم ومتشابه وأمثال فاعلموا بالحلال واجتنبوا الحرام والتبعوا المحكم واعتبار وباالأمثال Berdasarkan keterangan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu dimensi al-Qur’an adalah amtsal, ini berarti bahwa pengkajian dan perhatian khusus pada dimensi tersebut dalam rangka memahami gagasan yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu keharusan dalam konteks al-Qur’an. B. Bentuk Amtsal dalam Al-Quran Dalam al-Qur’an, konsep amtsal pada dasarnya dikemukakan dalam dua cara, yaitu secara tegas menyebut perumpamaan dan secara samar-samar atau tidak menyebut secara tegas perumpamaan. Jalaluddin al-Suyuthiy, masal al-Qur’an terdiri dari dua macam, yaitu amtsal musarakah dan amtsal kamina. Menurut Manna al-Qattan, amtsal al-Qur’an terdiri dari 3 macam, yaitu musarakah, kaminah, dan murshal. 1. Amtsal Musarakah Di antara ayat yang masuk pada kelompok masal tersebut adalah QS. An-Nur (24): 35; اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ Terjemahnya : Allah (pemberi) cahayaNya (kepada) langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyal ka dari pohon yang banyak berkahnya (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya). Yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi. Walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) ialah membimbing kepada cahayaNya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menurut imam al-Ghazaly sebagaimana dikutip Quraish Shihab bahwa ayat tersebut menggambarkan potensi daya tagkap manusia yang bertingkat-tingkat, Misyakat atau lubang yang tak tembus dalam ayat tersebut adalah perumpamaan panca indera tingkat pertama. Sedangkan pelita adalah perumpamaan akal penerima informasi sebagai daya tangkap tingkat kedua. Adapun kaca adalah perumpamaan daya imajinasi sebagai tingkat ketiga. Sementara minyak yang bersumber dari pohon berberkah (zaitun) adalah perumpamaan wahyu sebagai tingkat keempat. Jangan berhenti pada misykat karena akan terpaku pada kemampuan panca indera yang terbatas bahkan tidak jarang keliru, bahkan boleh jadi menipu. Jangan berhenti pada misykat, karena akan mudah padam pada saat tidak ada yang menghalangi, angin menghembusnya, usahakan pelita terdapat tabung kaca agar ingin tidak menimpanya. Kukuhkanlah informasi itu dengan daya nalar. Tetapi jangan juga berhenti pada informasi akal, karena boleh jadi pelita tidak akan menyala karena kurang minyak atau tidak berminyak sama sekali. Kalau memilih minyak usahakanlah tidak memilih minyak biasa tetapi minyak istimewa yakni wahyu Ilahi atau ilham serta intuisi. Jika daya-daya tersebut dipadukan akan diperoleh cahaya di atas cahaya. Contoh lain adalah QS. Ar Ra’du (13) : 17 : أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ Terjemahnya : Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. Menurut Al-Hakim al-Turmudzi, air dalam ayat tersebut adalah perumpamaan kebenaran atau Al-Quran yang membawa manfaat, sedangkan lembah-lembah diumpamakan hati, karena cahaya terletak di hati sebagai jalan keluar lembah ini atau sebagai jalan keluar dari lubangnya. Selanjutnya hati diumpamakan arus dan menyerupakan yang bathil dengan buih yang mengambang di atas air. Hati yang tidak ber-I’tibar dan membenci yang hak akan diterlantarkan oleh Allah swt. Karena di dalam harinya terdapat kegelapan. Oleh karena itu disaat hati diterlantarkan oleh Allah, maka hati membawa yang bathil sebagaimana arus membawa buih yang mengambang. Berkaitan dengan perumpamaan Nar dalam ayat tersebut dengan iman. Dengan demikian berarti bahwa iman dapat berfungsi seperti api yang membersihkan karat-karat yang terdapat pada logam, bahkan dapat mengurai unsur-unsur yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Karat-karat pada logam adalah perumpamaan syahwat yang dapat dihilangkan oleh iman seperti air menghanyutkan sampah. 2. Amtsal kaminah Amtsal kaminah terdiri dari empat pola, yaitu (1) yang senada dengan perkataan sebaik-baik urusan adalah pertengahan, (2) senada dengan kabar itu, tidak sama dengan menyaksikan sendiri, (3) ayat yang senada dengan perkataan sebagaimana kamu telah menghilangkan maka kamu akan dibayar, dan (4) ayat yang senada dengan perkataan orang mukmin tidak akan terperosok dua kali pada lubang yang sama. a. Ayat-ayat yang termasuk pada pola pertama, di antaranya adalah QS Al-Isra’ (17) : 29, yang berbunyi : وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا Terjemahnya : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Al-Baghdady dan Az-Zamakhsyari, ketika menafsirkan ayat tersebut memberikan komentar bahwa ayat tersebut merupakan tamsil untuk menghindari kekikiran dan pemborosan. Sikap yang diambil adalah antara dua sifat tersebut, yakni al-Iqtishad atau tawassuth. a. Ayat-ayat yang termasuk pada pola kedua, di antaranya Qs. Al-Baqarah (2) : 260, yang berbunyi : . . . قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي. . . . Terjemahnya : . . . Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". . .. Menurut Fahru ar Razy, salah satu aspek dalam pertanyaan Ibrahim tersebut adalah ilmu itu harus didasarkan pada indikator-indikator yang kongkrit. Dengan demikian perumpamaan yang terkandung didalam ayat tersebut adalah bahwa hanya kualitas indikator suatu ilmu mempengaruhi kualitas tersebut. c. Adapun ayat-ayat yang termasuk pada pola ketiga di antaranya adalah QS An Nisa (4) : 123, yang berbunyi : . . . مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا Terjemahnya : . . . Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak dapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. d. Adapun ayat yang termasuk pada pola keempat yaitu QS. Yusuf (12) : 64; قَالَ هَلْ ءَامَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلَّا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. Terjemahnya : Berkata Ya’kub: Bagaimana aku akan mempercayakan (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf kepada kamu dahulu) Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. 3. Amtsal mursalah Di antara ayat yang termasuk kategori mursalah, misalnya QS. Ar-Rahman (55) : 61; فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ Terjemahnya : Maka nikmat Tuhanmu yang manakah kamu dustakan ? Menurut Manna al-Qattan bahwa di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang ayat-ayat yang digolongkan dalam amtsal mursalah, demikian juga hukum mempergunakannya sebagai mastal. Ada ulama yang memandang bahwa menggunakan al-Qur’an sebagai amtsal mursalah pada dasarnya adab al-Qur’an. Nampaknya perbedaan pandangan ulama tersebut terletak pada faktor implikasinya. Ulama yang membolehkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai amtsal mursalah tidak mengaitkan dengan kekhawatiran akan terjadinya penyalah gunaan al-Qur’an sebatas retorika belaka. Sedangkan ulama yang tidak membolehkan mengantarkan kemungkinan dijadikannya al-Qur’an sebatas retorika belaka. III. PENUTUP/KESIMPULAN Bertitik tolak dari uraian pada pembahasan sebelumnya, penulis akan mengajukan kesimpulan bahwa bentuk tamsil dalam Al-Quran adalah (1) Amtsal musarakah yaitu adalah amtsal yang di dalamnya dijelaskan adanya tasybih, (2) Amtsal kaminah yaitu amtsal yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamtsil, tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dalam kepadatan redaksinya, mempunyai pengaruh tersendiri, bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya, dan (3) Amtsal murshal yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas, tapi kalimat-kalimat itu bukankah sebagai mursal. Daftar Pustaka Paedah Amtsal Amtsal sebagai salah satu dimensi al-Qur’an tentulah bukan sekedar karakteristik gaya bahsa al-Qur’an yang tidak signifikan, atau kurang signifikan dalam rangka mencapai tujuan kehadiran al-Qur’an melalui pendidikan, akan tetapi memiliki makna yang urgen sebagai metode penyampaian gagasan-gagasan pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada manfaat yang diambil dari metode amtsal tersebut. Dalam konteks manfaat amtsal dalam al-Qur’an, Manna al-Qattan mengemukakan beberapa faedah meliputi : 1. Menonjolkan sesuatu yang abstrak menjadi kongkrit. 2. Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak nampak seolah-olah sesuatu yang nampak. 3. Mengumpulkan makna yang menarik, padat dan indah 4. Mendorong orang untuk berbuat sesuai dengan isi matsal. 5. Mendorong untuk menjauhi isi matsal. 6. Memuji orang yang diberi matsal. 7. Menggambarkan sesuatu yang dipandang memiliki keburukan oleh orang banyak. 8. Telah berpengaruh pada jiwa. Penjelasan yang tidak berbeda secara signifikan dengan penjelasan di atas kecuali rinciannya adalah penjelasan yang dikemukakan oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’, penjelasannya hanya terdiri dari lima poin meliputi : 1. Pengangkatan sesuatu yang bersifat abstrak sehingga dapat ditangkap oleh indera. 2. Mengungkjapkan kenyataan dalam bentuk yang kongkrit. 3. Mengumpulkan makan yang indah, menarik dalam ungkapan yang singkat dan padat. 4. Mendorong giat beramal. 5. Menghindarkan dari perbuatan tercela. Dari dua penjelaswan tentang faedah amtsal di atas, pada dasarnya dapat ditarik pada tiga poin saja, yaitu pertama, membuat sesuatu abstrak menjadi kongkrit atau realistis. Kedua, aspek seni dan efisiensi, dan ketiga, aspek motivasi baik untuk melakukan yang positif maupun meninggalkan yang negatif. Dengan demikian, pada dasarnya signifikan dimensi amtsal al-Qur’an terletak pada tiga aspek tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar