Sabtu, 30 Oktober 2010

Darmawati Lahirnya Filsafat Islam


LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM



..\..\..\My Pictures\Umi 1.jpg

Disampaikan dalam Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam Islam Semester 2


Oleh :
DARMAWATI
NIM. : …...03.24.2009


Dosen Pembimbing:
Dr. H. M. Arfah Shiddiq, MA
Dr. H. M. Arif Halim, MA



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR

2010
LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM
Oleh: Darmawati

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan filsafat untuk membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang saat itu sudah lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpul an filsafat yang diambil dari gagasan filsafat Yunani tidak bertentangan dengan iman.[1] Para filosof berusaha memadukan ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan filsafat, atau antara akal dengan wahyu.
Sebagaimana tertera pada berbagai literatur bahwa filsafat yang berkembang dalam dunia Islam merupakan warisan dari filsafat Yunani. Para filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato, maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Muslim.[2]
Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi sekitar masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab seperti Yahudi dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan” atau musyrik (penyembah bintang). Inilah yang membuat Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi menunjuk kemusyrikan orang-orang Yahudi sebagai alasan keberatan mereka kepada filsafat.[3]
Harus ditegaskan bahwa para filosof Muslim secara umum hidup dalam suasana dan lingkungan yang berbeda dengan filosof-filosof lain, dengan demikian pengaruh lingkungan agama terhadap jalan pikiran filosof Muslim tidak bisa terabaikan, sehingga dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.[4]
Perkembangan filsafat dalam Islam juga merupakan buah dari dorongan ajaran al-Qur’an dan hadis, sehingga nuansa berfilsafat para filosof Muslim sangat bermuatan religius, namun tetap tidak mengabaikan masalah kefilsafatan. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain.[5]
Dengan demikian filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih mandiri dalam berfikir tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur, memiliki ciri khas dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajara pokok Islam, walaupun secara umum disadari pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya sama, yaitu soal Tuhan, manusia (mikro kosmos), dan alam (makro kosmos).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis membahas makalah ini dengan fokus utama adalah bagaimana latar belakang timbulnya pemikiran filosofis dalam Islam?
















II. PEMBAHASAN/TIMBULNYA PEMIKIRAN FILOSOFIS DALAM ISLAM

Pembahasan tentang filsafat adalah pembahasan yang identik dengan polemik, debat dan kritik. Banyak kalangan yang menuduh kajian filsafat sebagai sesuatu yang tiada guna. Belajar filsafat pun sering diibaratkan seperti mencari kucing hitam di dalam ruangan yang gelap,[6] bahkan tidak sedikit yang menyebut kajian filsafat dalam Islam identik dengan kekufuran.
Memang kajian filsafat dalam Islam tidak lepas dari polemik, terutama jika pembahasannya terkait dengan masalah Ketuhanan, kenabian dan alam akhirat. Imam al-Ghazali misalnya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al Falasifah dan al Munqidh min al Dalal yang isinya adalah kritik terhadap pemikiran beberapa filosuf muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan umat Islam.[7]
Tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat juga dirasakan oleh Muhammad ‘Abduh, di mana ketika hendak melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Kairo pada jurusan filsafat, ia mendapat teguran dari orang tuanya dan menasehatinya agar mengurungkan niatnya belajar filsafat.[8] Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Tawhidi, berfilsafat adalah salah satu bentuk dari pemanfa’atan nikmat Allah yang berupa akal sesuai dengan fungsinya,[9] di mana akal oleh al-Tawhidi diibaratkan sebagai cahaya bagi kehidupan manusia, sehingga dengan menggunakan akal untuk berpikir, manusia menjadi lebih mulia dari binatang.[10]
Ahmad Amin dalam Mabadi’ al Falsafah mengatakan bahwa semua manusia di dunia ini tanpa terkecuali sedang berfilsafat. Alasannya, semua manusia di dunia ini pasti berpikir, dari mulai yang sederhana hingga pada masalah yang mendalam, karena berpikir adalah bagian dari kehidupan manusia. Berpikir adalah arti sederhana dari berfilsafat, sehingga seseorang yang menolak filsafat dengan berbagai macam argumentasinya, sesungguhnya tanpa disadari ia sendiri telah berfilsafat.[11]
Memang filsafat dalam Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M ketika puncuk kekuasaan khilafah dalam Islam dipegang oleh al-Ma’mun.[12] Akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana filsafat Islam menjadikan al-Qur’an dan hadith atau wahyu sebagai sumber sentral bagi spekulasi filosofisnya, sementara filsafat Yunani menjadikan akal sebagai sumber tunggal bagi spekulasi filosofisnya.[13] Maka inti daripada kajian filsafat dalam Islam sebenarnya adalah mengantarkan umat Islam untuk memahami keberadaan Tuhan, sehingga bisa menjadi semakin dekat dengan Allah bukan sebaliknya. Maka dalam filsafat Islam ditemukan sebuah kajian yang bertujuan untuk mengajak manusia agar selalu dekat dengan Allah. Kajian itu biasa disebut dengan tasawuf.
Bagi orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran, selama bisa dipahami oleh pemikiran manusia. Nuansa filsafat mereka berakar dari tradisi filsafat Yunani yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.[14]
Harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi. Meskipun filsafat memiliki dasar yang kokoh dalam sumber ajaran Islam, namun ia banyak mengandung unsur Hellenisme atau alam pemikiran Yunani.[15]
Filsafat dalam Islam lebih jauh muncul sebagai hasil interkasi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa di sekitarnnya, terutama dengan bangsa-bangsa disebelah utara Jazirah Arab, yakni, Syria, Mesir dan Persia. Interkasi ini terjadi setelah adanya penaklukan (pembebasan/al-futuhat) terhadap daerah-daerah tersebut.[16] Persentuhan antara dunia Islam dengan budaya Yunani bermula ketika bangsa Arab Muslim bergerak menaklukan daerah Bulan Sabit Subur. Khazanah intelektual Yunani yang didapatkan merupakan harta yang tak ternilai harganya. Berkat politik keagamaan penguasa Mulsim berdasarkan konsep toleransi keIslamannya, umat Islam menyimpan rasa dekat atau afinitas tertentu terhadap daerah-daerah yang mereka kuasai, yang melahirkan sikap toleran, simpatik dan akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka. Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam tersebut mendasari adanya interaksi intelektual yang positif diantara mereka.
Memang kenyataannya bahwa ketika melakukan penaklukan, orang-orang Arab Muslim ketika itu belum memiliki tradisi belajar yang dapat diwariskan kepada negeri-negeri setelah dikuasai, sehingga mereka lebih banyak menjadi murid dari orang-orang yang mereka kuasai sendiri. Bahkan menurut Philip Hitti, orang-orang Arab Muslim tersebut tercatat sebagai orang yang sangat rakus akan ilmu.[17] Motifasi mendapat ilmu tersebut merupakan bagian dari proses interaksi yang terjalin antara Muslim Arab dengan daerah-daerah taklukannya.
Gerakan Penerjemahan
Hasil dari interaksi antara bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang ditaklukan itu adalah seperti yang dikatakan Halkin berikut ini:
… Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera setelah diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu yang bukan-Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab….[18]
Namun sebelum proses terjemahan berbagai literatur kedalam bahasa Arab dilakukan, diperbatasan Persia kajian ilmiah tentang tata bahasa Arab telah dimulai terutama oleh para muallaf[19], hal ini dapat dimaklumi untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk Islam baru agar dapat berinterkasi dengan para penakluk dan penguasa Islam yang memang saat itu telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Nasionalnya. Kajian tata bahasa Arab juga menjadi sebuah kenicayaan untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an yang notabenenya berbahasa Arab.
Faktor lain yang sekaligus menjadi faktor utama bagi timbulnya gerakan pemikiran filsafat dalam Islam adalah membanjirnya proses terjemahan berbagai literatur kedalam bahasa Arab. Diantara literatur yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku India, Iran, dan buku Suriani-Ibrani, terutama sekali buku-buku Yunani.[20] Pada pusat-pusat kebudayaan seperti Syria, Mesir, Persia, juga Mesopotamia, pemikiran filsafat Yunani diketemukan oleh kaum Muslimin. Namun kota Baghdad yang menjadi pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah menjadi jalur utama masuknya filsafat Yunani kedalam Islam, dan disinilah timbul gerakan penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab.[21]
Penerjemahan literatur kedalam bahasa Arab sebenarnya telah dilakukan semenjak dinasti Umayyah yang disponsori oleh Khalid Ibn Yazid dan Umar Ibn Abd. Aziz, namun kegiatan itu hanya untuk kepentingan yang sangat terbatas, yakni yang berhubungan langsung dengan kehidupan praktis, seperti buku-buku kimia dan kedokteran.[22]
Barulah setelah kekhalifaan beralih ke dinasti Abbasiyyah, tepatnya pada khalifah kedua Abasiyyah al-Mansur (754-775 M), proses penerjemahan semakin berkembang dengan pesat. Kegiatan penerjemahan pada masa al-Mansur tersebut seperti ditulis Ahmad Daudy berikut ini:
Khalifah al-Mansur, khalifah Abbasiyyah kedua, adalah seorang khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu bintang, sehingga ia menyuruh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazazi (ahli ilmu falak pertama dalam Islam) untuk menerjemahkan Sindahind, buku ilmu falak dari India, kedalam bahasa Arab. Juga beberapa buku lain tentang ilmu hitung dan angka-angka India disuruh salin ke dalam bahasa ini. Dari bahasa Persia diterjemahkan kitab Kalilah wa Dimnah yang terkenal itu, dan juga buku-buku yang berasal dari Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Suryani….[23]
Pasca al-Mansur, aktifitas penerjemahan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya yaitu Harun al-Rasyid (786-809 M) dan mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M). Bahkan dikatakan bahwa titik paling klimas dari pengaruh logika berfikir Yunani kedalam dunia pemikiran Islam terjadi pada masa khalifah al-Ma’mun. seperti di katakana Philip Hitti berikut ini;
Titik tertinggi pengaruh Yunani terjadi pada masa al-Ma’mun. kecederungan rasionalistik khalifah dan para pendukungnya dari kelompok Muktazilah, yang menyatakan bahwa teks-teks keagamaan harus bersesuaian dengan nalar manusia, mendorongnya untuk mencari pembenaran bagi pendapatnya itu dalam karya-karya filsafat Yunani…. Sejalan dengan kebijakan yang ia ambil, pada 830 di Baghdad al-Ma’mun membangun Bayt al-Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakan, akademi, sekaligus biro penerjemahan, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya musium Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M. Dimulai pada masa al-Ma’mun, dan berlanjut pada masa penerusnya, aktivitas intelektual berpusat di akdemi yang baru didirikan itu….[24]
Demikianlah pada masa al-Ma’mun yang dikenal dengan masa keemasan bagi kegiatan penerjemahan, meskipun hal itu bersifat intrinsik berkaitan dengan kepribadiannya yang antusias kepada ilmu pengetahuan, namun membawa dampak positif yang sangat luas dalam pengembangan intelektual di dunia Islam secara umum. Akademi Bayt al-Hikmah yang dibangun tidak hanya menjadi pusat kegiatan penerjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat, sains dan ilmu-ilmu lainnya.
Setelah khalifah al-Ma’mun, kegiatan penerjemahan terus dilakukan, namun tidak lagi menjadi urusan khalifah, tetapi lebih menjadi usaha pribadi oleh orang-orang yang gemar dalam hal ilmu pengetahuan. Menjelang abad kesepuluh, kegiatan penerjemahan semakin matang, bahkan naskah-naskah yang diterjemahkan itu telah diberikan beberapa catatan dan komentar.[25]
Berkat adanya usaha-usaha penerjemahan tersebut, umat Islam telah mampu mewarisi tradisi intelektual dari tiga jenis kebudayaan yang sangat maju, yakni Yunani, Persia, dan India. Warisan intelektual tersebut dimanfaatkan dalam membangun suatu kebudayaan ilmu pengetahuan yang lebih maju, seperti yang kelihatan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat pemikiran Islam.
Membanjirnya berbagai kegiatan penerjemahan pada abad ke-9 tersebut, menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah terdapat masyarakat pembaca Arab yang sangat aktif.[26] Fermentasi intelektual masyarakat Islam itu didorong oleh kebutuhan untuk melengkapi Islam dengan perangkat intelektual yang sudah dimiliki oleh agama-agama non-Muslim sebelumnya. Para intlektual Islam tidak hanya menguasai filsafat dan sains tapi juga mampu mengembangkan dan menambahkan hasil observasi mereka kedalam sains, dan lapangan filsafat.
Dengan semakin meluasnya kegiatan ilmiah, pengetahuan semakin maju dan berkembang, mentalitas ilmu semakin terbina dan metode pemikiran semakin terbentuk. Ini semua terecermin dalam kebudayaan intelektual yang lahir sebagai hasil usaha umat Islam dalam suatu kesatuan sinkritis yang dikemudian hari (baca; zaman sekarang) disebut dengan “falsafah atau filsafat Islam”.


















III. PENUTUP/KESIMPULAN
Lahir dan berkembangnya pemikiran filosofis dalam Islam merupakan sebuah realitas historis yang niscaya karena adanya interaksi yang terbangun antar bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang ditaklukan (bangsa non-Muslim), yakni bangsa Persia, India dan terutama sekali adalah bangsa Yunani, sehingga filsafat Islam dikatakan banyak mengandung unsur Hellenisme. Hasil dari proses interaksi itulah kemudian melahirkan semangat intelektual untuk melakukan penerjemahan terhadap berbagai karya-karya; baik Yunani, Persia, maupun India kedalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan penguasa (khalifah). Dari hasil penerjemahan tersebut, lahirlah pemikiran-pemikiran filosofis dalam Islam. Dalam pengembangan selanjutnya pemikiran-pemikiran para filosof non-Muslim itu dikembangkan sesuai dengan akidah dan ajaran-ajaran Islam, agar tidak bertentangan.










DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar