LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM
Disampaikan dalam Seminar Kelas
Mata Kuliah Sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam
Islam Semester 2
Oleh :
DARMAWATI
NIM. : …...03.24.2009
Dosen Pembimbing:
Dr. H. M. Arfah Shiddiq, MA
Dr. H. M. Arif
Halim, MA
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA
MAKASSAR
2010
LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM
Oleh: Darmawati
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah pemikiran Islam,
filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan
filsafat untuk membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan
Kristiani, yang saat itu sudah lebih maju secara intelektual. Sedangkan para
filosof mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpul an filsafat yang diambil
dari gagasan filsafat Yunani tidak bertentangan dengan iman.[1]
Para filosof berusaha memadukan ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam
(Syari’ah) dengan filsafat, atau antara akal dengan wahyu.
Sebagaimana tertera
pada berbagai literatur bahwa filsafat yang berkembang dalam dunia Islam
merupakan warisan dari filsafat Yunani. Para filosof Muslim banyak mengambil
pemikiran Aristoteles, Plato, maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori
filosof Yunani diambil oleh filosof Muslim.[2]
Pengaruh filsafat
Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi sekitar masalah filsafat dalam
Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan dari luar, khususnya jika datang
dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab seperti Yahudi dan Kristen, tetapi
juga dari orang-orang Yunani yang “pagan” atau musyrik (penyembah bintang).
Inilah yang membuat Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi menunjuk
kemusyrikan orang-orang Yahudi sebagai alasan keberatan mereka kepada filsafat.[3]
Harus ditegaskan
bahwa para filosof Muslim secara umum hidup dalam suasana dan lingkungan yang
berbeda dengan filosof-filosof lain, dengan demikian pengaruh lingkungan agama
terhadap jalan pikiran filosof Muslim tidak bisa terabaikan, sehingga dunia
Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan
keadaan masyarakat Islam itu sendiri.[4]
Perkembangan
filsafat dalam Islam juga merupakan buah dari dorongan ajaran al-Qur’an dan
hadis, sehingga nuansa berfilsafat para filosof Muslim sangat bermuatan
religius, namun tetap tidak mengabaikan masalah kefilsafatan. Kedudukan akal
yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan
akal yang besar dan ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat
lain.[5]
Dengan demikian
filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih mandiri dalam berfikir
tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur, memiliki ciri khas dan tidak
bertentangan dengan ajaran-ajara pokok Islam, walaupun secara umum disadari
pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya sama, yaitu soal Tuhan, manusia
(mikro kosmos), dan alam (makro kosmos).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis
membahas makalah ini dengan fokus utama adalah bagaimana latar belakang
timbulnya pemikiran filosofis dalam Islam?
II. PEMBAHASAN/TIMBULNYA PEMIKIRAN FILOSOFIS DALAM ISLAM
Pembahasan tentang filsafat adalah
pembahasan yang identik dengan polemik, debat dan kritik. Banyak kalangan yang
menuduh kajian filsafat sebagai sesuatu yang tiada guna. Belajar filsafat pun
sering diibaratkan seperti mencari kucing hitam di dalam ruangan yang gelap,[6]
bahkan tidak sedikit yang menyebut kajian filsafat dalam Islam identik dengan
kekufuran.
Memang kajian filsafat dalam Islam tidak
lepas dari polemik, terutama jika pembahasannya terkait dengan masalah
Ketuhanan, kenabian dan alam akhirat. Imam al-Ghazali
misalnya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al Falasifah dan
al Munqidh min al Dalal yang isinya adalah kritik terhadap pemikiran
beberapa filosuf muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan
umat Islam.[7]
Tuduhan negatif yang diarahkan kepada
filsafat juga dirasakan oleh Muhammad ‘Abduh, di mana ketika hendak melanjutkan
studinya di Universitas al-Azhar Kairo pada jurusan filsafat, ia mendapat
teguran dari orang tuanya dan menasehatinya agar mengurungkan niatnya belajar
filsafat.[8]
Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Tawhidi, berfilsafat adalah
salah satu bentuk dari pemanfa’atan nikmat Allah yang berupa akal sesuai dengan
fungsinya,[9]
di mana akal oleh al-Tawhidi diibaratkan sebagai cahaya bagi kehidupan manusia,
sehingga dengan menggunakan akal untuk berpikir, manusia menjadi lebih mulia
dari binatang.[10]
Ahmad Amin dalam Mabadi’ al Falsafah mengatakan
bahwa semua manusia di dunia ini tanpa terkecuali sedang berfilsafat.
Alasannya, semua manusia di dunia ini pasti berpikir, dari mulai yang sederhana
hingga pada masalah yang mendalam, karena berpikir adalah bagian dari kehidupan
manusia. Berpikir adalah arti sederhana dari berfilsafat, sehingga seseorang
yang menolak filsafat dengan berbagai macam argumentasinya, sesungguhnya tanpa
disadari ia sendiri telah berfilsafat.[11]
Memang filsafat dalam Islam lahir dari
spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M ketika puncuk kekuasaan
khilafah dalam Islam dipegang oleh al-Ma’mun.[12]
Akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana filsafat Islam
menjadikan al-Qur’an dan hadith atau wahyu sebagai sumber sentral bagi
spekulasi filosofisnya, sementara filsafat Yunani menjadikan akal sebagai
sumber tunggal bagi spekulasi filosofisnya.[13]
Maka inti daripada kajian filsafat dalam Islam sebenarnya adalah mengantarkan
umat Islam untuk memahami keberadaan Tuhan, sehingga bisa menjadi semakin dekat
dengan Allah bukan sebaliknya. Maka dalam filsafat Islam ditemukan sebuah
kajian yang bertujuan untuk mengajak manusia agar selalu dekat dengan Allah.
Kajian itu biasa disebut dengan tasawuf.
Bagi orang Arab, filsafat merupakan
pengetahuan tentang kebenaran, selama bisa dipahami oleh pemikiran manusia.
Nuansa filsafat mereka berakar dari tradisi filsafat Yunani yang dimodifikasi
dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.[14]
Harus ditegaskan bahwa sumber dan
pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi. Meskipun filsafat memiliki dasar yang
kokoh dalam sumber ajaran Islam, namun ia banyak mengandung unsur Hellenisme
atau alam pemikiran Yunani.[15]
Filsafat dalam Islam lebih jauh muncul
sebagai hasil interkasi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan
bangsa-bangsa di sekitarnnya, terutama dengan bangsa-bangsa disebelah utara
Jazirah Arab, yakni, Syria, Mesir dan Persia. Interkasi ini terjadi setelah
adanya penaklukan (pembebasan/al-futuhat) terhadap daerah-daerah tersebut.[16] Persentuhan
antara dunia Islam dengan budaya Yunani bermula ketika bangsa Arab Muslim
bergerak menaklukan daerah Bulan Sabit Subur. Khazanah intelektual Yunani yang didapatkan merupakan harta yang tak ternilai
harganya. Berkat politik keagamaan penguasa Mulsim berdasarkan konsep toleransi
keIslamannya, umat Islam menyimpan rasa dekat atau afinitas tertentu terhadap
daerah-daerah yang mereka kuasai, yang melahirkan sikap toleran, simpatik dan
akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka. Toleransi dan
keterbukaan orang-orang Islam tersebut mendasari adanya interaksi intelektual
yang positif diantara mereka.
Memang kenyataannya
bahwa ketika melakukan penaklukan, orang-orang Arab Muslim ketika itu belum
memiliki tradisi belajar yang dapat diwariskan kepada negeri-negeri setelah
dikuasai, sehingga mereka lebih banyak menjadi murid dari orang-orang yang
mereka kuasai sendiri. Bahkan menurut Philip Hitti, orang-orang Arab Muslim
tersebut tercatat sebagai orang yang sangat rakus akan ilmu.[17] Motifasi mendapat ilmu tersebut merupakan bagian dari proses interaksi
yang terjalin antara Muslim Arab dengan daerah-daerah taklukannya.
Gerakan Penerjemahan
Hasil dari interaksi
antara bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang ditaklukan itu adalah
seperti yang dikatakan Halkin berikut ini:
… Adalah jasa
orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang secara militer dan
politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukan
dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka
salin ke bahasa Arab segera setelah diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan
tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan,
sehingga kumpulan ilmu yang bukan-Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa
Arab….[18]
Namun sebelum proses
terjemahan berbagai literatur kedalam bahasa Arab dilakukan, diperbatasan
Persia kajian ilmiah tentang tata bahasa Arab telah dimulai terutama oleh para
muallaf[19], hal ini dapat dimaklumi untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk
Islam baru agar dapat berinterkasi dengan para penakluk dan penguasa Islam yang
memang saat itu telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Nasionalnya. Kajian
tata bahasa Arab juga menjadi sebuah kenicayaan untuk mempelajari dan memahami
al-Qur’an yang notabenenya berbahasa Arab.
Faktor lain yang
sekaligus menjadi faktor utama bagi timbulnya gerakan pemikiran filsafat dalam
Islam adalah membanjirnya proses terjemahan berbagai literatur kedalam bahasa
Arab. Diantara literatur yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku India,
Iran, dan buku Suriani-Ibrani, terutama sekali buku-buku Yunani.[20] Pada pusat-pusat kebudayaan seperti Syria, Mesir, Persia, juga
Mesopotamia, pemikiran filsafat Yunani diketemukan oleh kaum Muslimin. Namun
kota Baghdad yang menjadi pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah menjadi jalur utama
masuknya filsafat Yunani kedalam Islam, dan disinilah timbul gerakan
penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab.[21]
Penerjemahan
literatur kedalam bahasa Arab sebenarnya telah dilakukan semenjak dinasti
Umayyah yang disponsori oleh Khalid Ibn Yazid dan Umar Ibn Abd. Aziz, namun
kegiatan itu hanya untuk kepentingan yang sangat terbatas, yakni yang
berhubungan langsung dengan kehidupan praktis, seperti buku-buku kimia dan
kedokteran.[22]
Barulah setelah
kekhalifaan beralih ke dinasti Abbasiyyah, tepatnya pada khalifah kedua
Abasiyyah al-Mansur (754-775 M), proses penerjemahan semakin berkembang dengan
pesat. Kegiatan penerjemahan pada masa al-Mansur tersebut seperti ditulis Ahmad
Daudy berikut ini:
Khalifah al-Mansur,
khalifah Abbasiyyah kedua, adalah seorang khalifah yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan, terutama ilmu bintang, sehingga ia menyuruh Muhammad ibn Ibrahim
al-Fazazi (ahli ilmu falak pertama dalam Islam) untuk menerjemahkan Sindahind,
buku ilmu falak dari India, kedalam bahasa Arab. Juga beberapa buku lain
tentang ilmu hitung dan angka-angka India disuruh salin ke dalam bahasa ini.
Dari bahasa Persia diterjemahkan kitab Kalilah wa Dimnah yang terkenal itu, dan
juga buku-buku yang berasal dari Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Suryani….[23]
Pasca al-Mansur,
aktifitas penerjemahan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya yaitu Harun
al-Rasyid (786-809 M) dan mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun
(813-833 M). Bahkan dikatakan bahwa titik paling klimas dari pengaruh logika
berfikir Yunani kedalam dunia pemikiran Islam terjadi pada masa khalifah
al-Ma’mun. seperti di katakana Philip Hitti berikut ini;
Titik tertinggi
pengaruh Yunani terjadi pada masa al-Ma’mun. kecederungan rasionalistik
khalifah dan para pendukungnya dari kelompok Muktazilah, yang menyatakan bahwa
teks-teks keagamaan harus bersesuaian dengan nalar manusia, mendorongnya untuk
mencari pembenaran bagi pendapatnya itu dalam karya-karya filsafat Yunani….
Sejalan dengan kebijakan yang ia ambil, pada 830 di Baghdad al-Ma’mun membangun
Bayt al-Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakan, akademi, sekaligus
biro penerjemahan, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling
penting sejak berdirinya musium Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Dimulai pada masa al-Ma’mun, dan berlanjut pada masa penerusnya, aktivitas
intelektual berpusat di akdemi yang baru didirikan itu….[24]
Demikianlah pada
masa al-Ma’mun yang dikenal dengan masa keemasan bagi kegiatan penerjemahan,
meskipun hal itu bersifat intrinsik berkaitan dengan kepribadiannya yang
antusias kepada ilmu pengetahuan, namun membawa dampak positif yang sangat luas
dalam pengembangan intelektual di dunia Islam secara umum. Akademi Bayt
al-Hikmah yang dibangun tidak hanya menjadi pusat kegiatan penerjemahan, tetapi
juga menjadi pusat pengembangan filsafat, sains dan ilmu-ilmu lainnya.
Setelah khalifah
al-Ma’mun, kegiatan penerjemahan terus dilakukan, namun tidak lagi menjadi
urusan khalifah, tetapi lebih menjadi usaha pribadi oleh orang-orang yang gemar
dalam hal ilmu pengetahuan. Menjelang abad kesepuluh, kegiatan penerjemahan
semakin matang, bahkan naskah-naskah yang diterjemahkan itu telah diberikan
beberapa catatan dan komentar.[25]
Berkat adanya
usaha-usaha penerjemahan tersebut, umat Islam telah mampu mewarisi tradisi
intelektual dari tiga jenis kebudayaan yang sangat maju, yakni Yunani, Persia,
dan India. Warisan intelektual tersebut dimanfaatkan dalam membangun suatu
kebudayaan ilmu pengetahuan yang lebih maju, seperti yang kelihatan dalam
berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat pemikiran Islam.
Membanjirnya
berbagai kegiatan penerjemahan pada abad ke-9 tersebut, menunjukkan bahwa pada
waktu itu sudah terdapat masyarakat pembaca Arab yang sangat aktif.[26] Fermentasi intelektual masyarakat Islam itu didorong oleh kebutuhan
untuk melengkapi Islam dengan perangkat intelektual yang sudah dimiliki oleh
agama-agama non-Muslim sebelumnya. Para intlektual Islam tidak hanya menguasai
filsafat dan sains tapi juga mampu mengembangkan dan menambahkan hasil
observasi mereka kedalam sains, dan lapangan filsafat.
Dengan semakin
meluasnya kegiatan ilmiah, pengetahuan semakin maju dan berkembang, mentalitas
ilmu semakin terbina dan metode pemikiran semakin terbentuk. Ini semua
terecermin dalam kebudayaan intelektual yang lahir sebagai hasil usaha umat
Islam dalam suatu kesatuan sinkritis yang dikemudian hari (baca; zaman
sekarang) disebut dengan “falsafah atau filsafat Islam”.
III. PENUTUP/KESIMPULAN
Lahir dan berkembangnya pemikiran
filosofis dalam Islam merupakan sebuah realitas historis yang niscaya karena
adanya interaksi yang terbangun antar bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah
yang ditaklukan (bangsa non-Muslim), yakni bangsa Persia, India dan terutama
sekali adalah bangsa Yunani, sehingga filsafat Islam dikatakan banyak
mengandung unsur Hellenisme. Hasil dari proses interaksi itulah kemudian
melahirkan semangat intelektual untuk melakukan penerjemahan terhadap berbagai
karya-karya; baik Yunani, Persia, maupun India kedalam bahasa Arab. Gerakan
penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan penguasa (khalifah).
Dari hasil penerjemahan tersebut, lahirlah pemikiran-pemikiran filosofis dalam
Islam. Dalam pengembangan selanjutnya pemikiran-pemikiran para filosof
non-Muslim itu dikembangkan sesuai dengan akidah dan ajaran-ajaran Islam, agar
tidak bertentangan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar