Selasa, 12 Oktober 2010

Sejarah dan Peradaban Islam


KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
KHALIFAH BANI ABBAS DI BAGDAD


UMI 4.jpg

Makalah


Disampaikan dalam forum seminar kelas
Mata Kuliah Sejarah dan Peradaban Islam I



Oleh :
Muh. Syahrir
NIM :


Dosen Pembimbing :
Prof. DR. H.A.Rahim Yunus, M.A


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
UMI-MAKASSAR
2008
Kemunduran dan Kehancuran Khalifah Bani Abbas di Bagdad

Oleh : Muh. Syahrir


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekuasaan Dinasti Bani Abbas, atau khalifah Abbasiyah adalah merupakan kelanjutan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al Abbas.[1]
Kekuasaannya yang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M)[2] Kejayaan Abbasiyah rupanya hanya sampai periode pertama dari tiga periode.[3] Setelah itu Abbasiyah mengalami kemunduran. Di antara sebab-sebab kemunduran itu ialah hidup mewah yang terjadi pada khalifah Abbasiyah dan keluarganya serta para sahabatnya karena harta kekayanaannya yang melimpah dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan hasil industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari pelabuhan-pelabuhan yang menghubungkan antara dunia barat dengan dunia timur. Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya para khalifah, karena hanya mementingkan harta kekayaan.
Dalam rentang sejarah peradaban Islam sejak zaman Rasulullah         saw. sampai Daulah Abbasiyah,[4] tercatat bahwa pada pemerintahan    Abbasiyah berbagai kemajuan telah dicapai oleh ummat Islam. Terbentuknya daulah Abbasiyah sebagai kelanjutan dari daulah Bani Umayyah, pesat      dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, bidang agama, filsafat dan sebagainya.
Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah berlangsung selama 524 tahun yaitu mulai tahun 132 H/750 M sampai pada tahun 656 H/1258 M. atau kurang lebih lima abad lamanya, dalam waktu yang begitu panjang, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi, selain itu berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam,[5] sehingga pada masa ini berkembang ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum.
            Perkembangan dan kemajuan tersebut dialami, khususnya 7 khalifah sesudah Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far Al-Mansur yakni dimulai dari masa khalifah Al-Mahdi (785-833M), hingga kekhalifahan Al-Wasiq (842-847M). Puncak kejayaan pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833M). Daulah ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, serta perluasan wilayah.[6]
Beranjak dari fenomena tersebut, penulis membahas makalah yang berjudul “Kemunduran dan kehancuran khalifah bani Abbasiyah di Bagdad”.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang tersewbut di atas, penulis merumuskan permasalahan tentang bagaimana Daulat Abbasiyah menyelenggarakan sistem pemerintahannya sehingga terjadi kemunduran bahkan kehancuran. Untuk lebih terarahnya tulisan ini, penulis mengemukakan sub masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemunduran Daulat Abbasiyah di Bagdad?
2. Apakah faktor-faktor kemunduran Daulah Abbasiyah di Bagdad menyebabkan kehancurannya?
Berdasarkan permaslahan tersebut, dapat dipahami bahwa penulis membatasi diri dalam membahas makalah ini pada faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah  di Bagdad sekaligus faktor yang menyebabkan kehandurannya.






II. PEMBAHASAN
Secara historis, kemunduran dan kehancuran Daulah Abbasiyah dapat dilihat beberapa faktor, antara lain: kehidupan mewah, berdirinya dinasti-dinasti kecil, persaingan antara bangsa, kemerosotan ekonomi, komplik keagamaan, dan ancaman dari luar.

A. Hidup Mewah

Bahwa faktor yang turut menentukan kemunduran dan kehancuran Daulat Abbasiyah adalah kehidupan mewah yang bermula dari kemewahan istana terutama dari upacara penobatan khalifah dan perkawinan Al Makmun (Putra Al Rasyid) yang terjadi pada Tahun 825 M. Perkawinan tersebut dinilai sebahagian kalangan sebagai pemborosan besar-besaran, karena acara dimaksud disediakan seribu butir mutiara yang besar-besar diletakkan di atas baki emas lalu ditaburkan kearah kedua mempelai yang berdiri di atas yang dihiasi dengan mutiara dan batu nilam.[7]
Dengan adanya peraktek hidup mewah, bersenang-senang dengan harta kekayaannya, lambat laun sifat keagungan, keharismaan menjadi pudar.

B. Berdirinya dinasti-dinasti kecil

Luasnya wilayah merupakan modal besar untuk pengembangan potensi sumber daya manusia dan pemanfaatan potensi sumber daya alam, tetapi dilain pihak luasnya wailayah merupakan suatu ancaman besar bagi keutuhan daulah Abbasiyah.
Dinasti kecil berdiri diatas wilayah Dinasti Abbasiyah termasuk melemahkan daulah Abbasiyah tersebut.
Dinasti-dinasti yang berdiri pada periode pertama, adalah:
1. Dinasti Idrisiyyah di Maroko Tahun 172-314H/789-926 M didirikan oleh Muhammad ibn Idris beraliran Syi’ah.
2. Dinasti Rustamiyah di Al Jazair pada Tahun 160-269H/771-909M pendirinya Abdurrahman ibn Rustam beraliran Khawarij Ibadiyah.
3. Dinasti Aglabiyah di Sicilia Tahun 184-296 H / 800-909 didirikan oleh Ibrahim ibn Al Aglabiyah.
4. Dinasti Al Murabitun atau Al Murawiyah 448-541H/1056-1147M didirikan oleh Abu Bakar al Lamtuni.
5. Dinasti Al Muwahhidun Maroko dan Spanyol Tahun 524-667H/1130-1269M didirikan oleh Al Mahdi ibn Tumart.
6. Dinasti Mariniyah Tahun 592-956H/1196-1549 pendirinya Bani Marin.
7. Dinasti Hafsiyah Tahun 625-982/1224-1574 di Al Jazair Timur dan Tunisia. Pendirinya adalah Syekh Abu Hafs Umar.
Dinasti yang berdiri pada periode kedua Abbasiyah, yaitu:
1. Dinasti Tuluniah di Mesir pada Tahun 254-292H/868-905M merupakan wilayah otonom dari Bagdad. Pendirinya: Ahmad bin Tulun (Turki).
2. Dinasti Ikhsyidiyah Tahun 232-358H/935-969M, pendirinya adalah Muhammad ibn Tugj (Turki).
3. Dinasti Fatimiyah Tahun 297-567H/909-1171M, pendirinya adalah Ubaidillah al Mahdi Mesir-Syria.
4. Dinasti Ayyubiyah di Mesir 564-1169M. Pendirinya: Salahuddin kemanakan Ayyub.
5. Dinasti Mamluk pada tahun 658-1260 pendirinya/pimpinannya: Utuz dan Baibars.
6. Dinasti Bani Buaih pada Tahun 320-440H/932-1055. Pendirinya: Ahmad, Ali dan Hasan (Irak) beraliran Syi’ah.
7. Dinasti Saljuk Raya lebih dekat dengan kebudayaan Arab, para sultan saljuk yang terkenal ialah: Alp Arslam (455-465H/1063-1072M) dan Malik Syah (465-485H/1072-1092), menterinya yang terkenal ialah: Nizamul Muluk.[8]
Disamping berdirinya dinasti-dinasti kecil, juga disebabkan pusat pemerintahannya yang berpusat di Bagdad yang membawa konsekuensi kemunduran Daulah Abbasiyah, bersamaan dengan itu para pemimpin Daulah Abbasiyah terlalu banyak mempergunakan tentara bayaran yang berasal dari Turki, tentara bayaran tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan Abbasiyah dari berbagai serangan, khususnya tentara yang setia kepada para khalifah dan gubernur sehingga mereka dibayar dan diberi honor.[9] Kenyataan menunjukkan bahwa kemunduran dan kehancuran Daulah Abbasiyah banyak dipengaruhi oleh para pengawalnya yang terdiri dari orang-orang Turki itu.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khalifah Abbasiyah di Bagdad menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lainnya yakni persaingan antara bangsa.





C. Persaingan antara Bangsa

Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan itu dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa, keduanya sma-sama tertindas.
Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, dinasti bani  Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryeska, ada dua sebab Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab. Pertama: sulit bagi orang-orang Arab melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua: Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah kesukuan, dengan demikian khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam.[10]
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Smit. Kecuali Islam pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme keAraban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan Syu’ubiyah.[11]
Fanatisme kebangsaan tersebut dibiarkan berkembang oleh penguasa, sementara para khalifah menjalankan sistim perbudakan baru, budak Turki tersebut dijadikan pegawai dan tentara yang diberikan gaji oleh khalifah Abbasiyah.
Sistem perbudakan ini memperkuat pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang sangat besar, maka mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka, mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.[12]
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri, tetapi karena para khalifah adalah orang-orang kuat, maka mereka mampu menjaga keseimbangan kekuatan stabilitas politik selalu terjaga. Namun setelah Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak dapat terbendung lagi, kekuasaan Bani Abbas pada saat itu sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan selanjutnya kekuasaan tersebut beralih kepada Dinasti Saljuk.

D. Kemerosotan Ekonomi

Kemunduran dibidang ekonomi juga dialami oleh khalifah Abbasiyah, bersamaan dengan kemunduran dibidang politik. Bani Abbasiyah adalah pemerintahan yang kaya raya. Dana yang masuk lebih banyak dari pada yang keluar sehingga Bait al Mal penuh dengan harta yang diperoleh dari al Kharaj (pajak hasil bumi).
Setelah khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara semakin kurang, pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan. Sejarah mencatat bahwa menurunnya pendapatan negara disebabkan semakin menyempitnya wilayah kekuasaan dan banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, pajak diperringan, banyak dinasti-dinasti kecil memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti (pajak), sementara para pejabat banyak korupsi yang menyebabkan negara bangkrut.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.

E. Komplik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan karena ciri-ciri orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka memperopagandakan ajaran Manuisme, Zoroaster, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindik ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al Mansur berusaha keras memberantasnya. Al Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindik dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah.
Manifestasi kelemahan khalifah Abbasiyah tidak hanya dalam bidang politik saja, juga supermasinya dalam bidang religiuspun di serang, lambat laun banyak sakte aliran Syi’ah pengikut Ali dan keturunannya bermunculan. Di antara sakte-sakte yang paling terkenal ialah Fatimiyah, Sakte Druzes di Libanon, dan zaman modern, sakte Babylon di Persia.[13] Semua itu akan diberantas oleh jawatan yang didirikan. Komplik antara kaum yang beriman dengan golongan Zindik berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran sampai kepada komplik bersenjata yang menumpahkan darah. Contoh komplik bersenjata, adalah gerakan Al Afsyin dan Qaramithah.[14]
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pengikutnya banyak yang berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang Ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik Islam yang berhadapan dengan paham Ahlis Sunnah. Antara keduanya sering terjadi komplik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbala dihancurkan. Namun anaknya, Al Muntashir (861-862M) kembali memperkenankan orang Syi’ah menziarahi makam Husein tersebut.
Komplik yang dilatar belakangi agama tidak terbatas pada komplik antara muslim dan Zindik atau Ahlus Sunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan Salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al Ma’mun khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah.[15] Berkenaan dengan komplik keagamaan itu, Amir Ali mengemukakan: “Agama Muhammad saw., seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapatmengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sangit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia……soal kehendak manusia……telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam……pendapat bahwa rakyat dan pemimpin agama mustahil berbuat salah……menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.[16]

F. Ancaman dari Luar

Bahwa apa yang telah dikemukakan oleh penulis terdahulu, adalah merupakan faktor-faktor internal. Disamping itu, adapula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
Pertama: Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Kedua: serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam, sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluakan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun komunitas-komunitas Kristen Timur hanya Armenia dan Moronit Libanon yang tertarik dengan perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.[17]
Akhir kekuasaan Abbasiyah ialah ketika Bagdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan 656H/1258M. Ia adalah seorang saudara Ubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina itu kepangkuannya lagi. Bagdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah.[18]
Khalifah Bani Abbasiyah yang terkahir dengan keluarganya Al Mu’tazim dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke Sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku itu.[19] Dapat dilihat bahwa Hulagu Khan selaku panglima tentara Mongol sangat membenci Islam karena banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al Kitab.














III. KESIMPULAN

Daulah Abbasiyah yang pernah berkuasa kurang lebih 524 tahun yang mulai menampakkan kemundurannya pada periode kedua ketika daulat dipimpin oleh Mutawakkil. Kemunduran-kemunduran Daulah Abbasiyah disebabkan oleh dua faktor  penyebab yakni faktor internal meliputi adanya praktek hidup mewah yang tidak mementingkan urusan negara. Berdirinya dinasti-dinasti kecil, persaingan antara bangsa, kemorosotan ekonomi, kompilk keagamaan, dan faktor eksternal yakni terjadinya perang Salib ditandai dengan penyerbuan Hulagu Khan di Bagdad bersama dengan anti-anti Islam lainnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar