KEMUNDURAN
DAN KEHANCURAN
KHALIFAH BANI ABBAS DI BAGDAD
Makalah
Disampaikan
dalam forum seminar kelas
Mata
Kuliah Sejarah dan Peradaban Islam I
Oleh :
Muh. Syahrir
NIM :
Dosen Pembimbing :
Prof. DR. H.A.Rahim Yunus, M.A
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
UMI-MAKASSAR
2008
Kemunduran dan
Kehancuran Khalifah Bani Abbas di Bagdad
Oleh : Muh.
Syahrir
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan Dinasti Bani Abbas, atau khalifah Abbasiyah
adalah merupakan kelanjutan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khalifah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al
Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al
Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al Abbas.[1]
Kekuasaannya yang berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M)[2]
Kejayaan Abbasiyah rupanya hanya sampai periode pertama dari tiga periode.[3]
Setelah itu Abbasiyah mengalami kemunduran. Di antara sebab-sebab kemunduran
itu ialah hidup mewah yang terjadi pada khalifah Abbasiyah dan keluarganya
serta para sahabatnya karena harta kekayanaannya yang melimpah dari hasil
wilayah yang luas, ditambah lagi dengan hasil industri olahan yang melimpah dan
tanah yang subur serta pendapatan pajak dari pelabuhan-pelabuhan yang
menghubungkan antara dunia barat dengan dunia timur. Kondisi tersebut
diperburuk oleh lemahnya para khalifah, karena hanya mementingkan harta
kekayaan.
Dalam rentang sejarah peradaban Islam sejak zaman Rasulullah
saw. sampai Daulah Abbasiyah,[4] tercatat bahwa pada pemerintahan Abbasiyah berbagai kemajuan telah dicapai
oleh ummat Islam. Terbentuknya daulah Abbasiyah sebagai
kelanjutan dari daulah Bani Umayyah, pesat dalam
bidang politik, pemerintahan, ekonomi, bidang agama, filsafat dan sebagainya.
Pemerintahan
daulah Bani Abbasiyah berlangsung selama 524 tahun yaitu mulai tahun 132 H/750
M sampai pada tahun 656 H/1258 M. atau kurang lebih lima abad lamanya, dalam waktu
yang begitu panjang, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi, selain
itu berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam,[5]
sehingga pada masa ini berkembang ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan agama maupun
ilmu pengetahuan umum.
Perkembangan dan kemajuan tersebut
dialami, khususnya 7 khalifah sesudah Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far
Al-Mansur yakni dimulai dari masa khalifah Al-Mahdi (785-833M), hingga
kekhalifahan Al-Wasiq (842-847M). Puncak kejayaan pada masa khalifah Harun
Al-Rasyid (786-809M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833M). Daulah ini lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, serta perluasan wilayah.[6]
Beranjak dari fenomena tersebut, penulis membahas makalah
yang berjudul “Kemunduran dan kehancuran khalifah bani Abbasiyah di Bagdad”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang tersewbut di atas, penulis
merumuskan permasalahan tentang bagaimana Daulat Abbasiyah menyelenggarakan
sistem pemerintahannya sehingga terjadi kemunduran bahkan kehancuran. Untuk
lebih terarahnya tulisan ini, penulis mengemukakan sub masalah sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan
kemunduran Daulat Abbasiyah di Bagdad?
2.
Apakah faktor-faktor kemunduran Daulah
Abbasiyah di Bagdad menyebabkan kehancurannya?
Berdasarkan permaslahan tersebut, dapat dipahami bahwa
penulis membatasi diri dalam membahas makalah ini pada faktor penyebab
kemunduran Bani Abbasiyah di Bagdad
sekaligus faktor yang menyebabkan kehandurannya.
II. PEMBAHASAN
Secara historis, kemunduran dan
kehancuran Daulah Abbasiyah dapat dilihat beberapa faktor, antara lain:
kehidupan mewah, berdirinya dinasti-dinasti kecil, persaingan antara bangsa,
kemerosotan ekonomi, komplik keagamaan, dan ancaman dari luar.
A. Hidup Mewah
Bahwa faktor yang turut menentukan
kemunduran dan kehancuran Daulat Abbasiyah adalah kehidupan mewah yang bermula
dari kemewahan istana terutama dari upacara penobatan khalifah dan perkawinan
Al Makmun (Putra Al Rasyid) yang terjadi pada Tahun 825 M. Perkawinan tersebut
dinilai sebahagian kalangan sebagai pemborosan besar-besaran, karena acara
dimaksud disediakan seribu butir mutiara yang besar-besar diletakkan di atas
baki emas lalu ditaburkan kearah kedua mempelai yang berdiri di atas yang dihiasi
dengan mutiara dan batu nilam.[7]
Dengan adanya peraktek hidup mewah,
bersenang-senang dengan harta kekayaannya, lambat laun sifat keagungan,
keharismaan menjadi pudar.
B. Berdirinya dinasti-dinasti kecil
Luasnya wilayah merupakan modal besar
untuk pengembangan potensi sumber daya manusia dan pemanfaatan potensi sumber
daya alam, tetapi dilain pihak luasnya wailayah merupakan suatu ancaman besar
bagi keutuhan daulah Abbasiyah.
Dinasti kecil berdiri diatas wilayah
Dinasti Abbasiyah termasuk melemahkan daulah Abbasiyah tersebut.
Dinasti-dinasti yang berdiri pada
periode pertama, adalah:
1. Dinasti Idrisiyyah di Maroko Tahun
172-314H/789-926 M didirikan oleh Muhammad ibn Idris beraliran Syi’ah.
2. Dinasti Rustamiyah di Al Jazair
pada Tahun 160-269H/771-909M pendirinya Abdurrahman ibn Rustam beraliran
Khawarij Ibadiyah.
3. Dinasti Aglabiyah di Sicilia Tahun
184-296 H / 800-909 didirikan oleh Ibrahim ibn Al Aglabiyah.
4. Dinasti Al Murabitun atau Al
Murawiyah 448-541H/1056-1147M didirikan oleh Abu Bakar al Lamtuni.
5. Dinasti Al Muwahhidun Maroko dan
Spanyol Tahun 524-667H/1130-1269M didirikan oleh Al Mahdi ibn Tumart.
6. Dinasti Mariniyah Tahun
592-956H/1196-1549 pendirinya Bani Marin.
7. Dinasti Hafsiyah Tahun
625-982/1224-1574 di Al Jazair Timur dan Tunisia. Pendirinya adalah Syekh Abu
Hafs Umar.
Dinasti yang berdiri pada periode
kedua Abbasiyah, yaitu:
1. Dinasti Tuluniah di Mesir pada
Tahun 254-292H/868-905M merupakan wilayah otonom dari Bagdad. Pendirinya: Ahmad
bin Tulun (Turki).
2. Dinasti Ikhsyidiyah Tahun
232-358H/935-969M, pendirinya adalah Muhammad ibn Tugj (Turki).
3. Dinasti Fatimiyah Tahun
297-567H/909-1171M, pendirinya adalah Ubaidillah al Mahdi Mesir-Syria.
4. Dinasti Ayyubiyah di Mesir
564-1169M. Pendirinya: Salahuddin kemanakan Ayyub.
5. Dinasti Mamluk pada tahun 658-1260
pendirinya/pimpinannya: Utuz dan Baibars.
6. Dinasti Bani Buaih pada Tahun
320-440H/932-1055. Pendirinya: Ahmad, Ali dan Hasan (Irak) beraliran Syi’ah.
7. Dinasti Saljuk Raya lebih dekat
dengan kebudayaan Arab, para sultan saljuk yang terkenal ialah: Alp Arslam
(455-465H/1063-1072M) dan Malik Syah (465-485H/1072-1092), menterinya yang
terkenal ialah: Nizamul Muluk.[8]
Disamping berdirinya dinasti-dinasti
kecil, juga disebabkan pusat pemerintahannya yang berpusat di Bagdad yang
membawa konsekuensi kemunduran Daulah Abbasiyah, bersamaan dengan itu para
pemimpin Daulah Abbasiyah terlalu banyak mempergunakan tentara bayaran yang
berasal dari Turki, tentara bayaran tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan
melindungi kedaulatan Abbasiyah dari berbagai serangan, khususnya tentara yang
setia kepada para khalifah dan gubernur sehingga mereka dibayar dan diberi
honor.[9]
Kenyataan menunjukkan bahwa kemunduran dan kehancuran Daulah Abbasiyah banyak
dipengaruhi oleh para pengawalnya yang terdiri dari orang-orang Turki itu.
Disamping kelemahan khalifah, banyak
faktor lain yang menyebabkan khalifah Abbasiyah di Bagdad menjadi mundur,
masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lainnya yakni
persaingan antara bangsa.
C. Persaingan antara Bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh
Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan itu dilatar
belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah
berkuasa, keduanya sma-sama tertindas.
Setelah khalifah Abbasiyah berdiri,
dinasti bani Abbasiyah tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryeska, ada dua sebab Bani Abbas
memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab. Pertama: sulit bagi
orang-orang Arab melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga
kelas satu. Kedua: Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya
ashabiyah kesukuan, dengan demikian khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia
tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai
dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang
mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap
rendah bangsa non Arab di dunia Islam.[10]
Selain itu, wilayah kekuasaan
Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka
disatukan dengan bangsa Smit. Kecuali Islam pada waktu itu tidak ada kesadaran
yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya
disamping fanatisme keAraban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang
melahirkan gerakan Syu’ubiyah.[11]
Fanatisme kebangsaan tersebut
dibiarkan berkembang oleh penguasa, sementara para khalifah menjalankan sistim
perbudakan baru, budak Turki tersebut dijadikan pegawai dan tentara yang
diberikan gaji oleh khalifah Abbasiyah.
Sistem perbudakan ini memperkuat
pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang sangat
besar, maka mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka, mereka mempunyai
kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.[12]
Kecenderungan masing-masing bangsa
untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah
berdiri, tetapi karena para khalifah adalah orang-orang kuat, maka mereka mampu
menjaga keseimbangan kekuatan stabilitas politik selalu terjaga. Namun setelah
Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak
dapat terbendung lagi, kekuasaan Bani Abbas pada saat itu sebenarnya sudah
berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian
direbut oleh Bani Buaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan selanjutnya
kekuasaan tersebut beralih kepada Dinasti Saljuk.
D. Kemerosotan Ekonomi
Kemunduran dibidang ekonomi juga
dialami oleh khalifah Abbasiyah, bersamaan dengan kemunduran dibidang politik.
Bani Abbasiyah adalah pemerintahan yang kaya raya. Dana yang masuk lebih banyak
dari pada yang keluar sehingga Bait al Mal penuh dengan harta yang diperoleh
dari al Kharaj (pajak hasil bumi).
Setelah khalifah memasuki periode
kemunduran, pendapatan negara semakin kurang, pengeluaran lebih besar dari pada
pemasukan. Sejarah mencatat bahwa menurunnya pendapatan negara disebabkan
semakin menyempitnya wilayah kekuasaan dan banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, pajak diperringan, banyak dinasti-dinasti kecil
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti (pajak), sementara para pejabat
banyak korupsi yang menyebabkan negara bangkrut.
Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang
buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
E. Komplik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat
dengan persoalan kebangsaan karena ciri-ciri orang Persia tidak sepenuhnya
tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka memperopagandakan ajaran
Manuisme, Zoroaster, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan
gerakan Zindik ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al Mansur berusaha
keras memberantasnya. Al Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus
untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindik dan melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid’ah.
Manifestasi kelemahan khalifah
Abbasiyah tidak hanya dalam bidang politik saja, juga supermasinya dalam bidang
religiuspun di serang, lambat laun banyak sakte aliran Syi’ah pengikut Ali dan
keturunannya bermunculan. Di antara sakte-sakte yang paling terkenal ialah
Fatimiyah, Sakte Druzes di Libanon, dan zaman modern, sakte Babylon di Persia.[13]
Semua itu akan diberantas oleh jawatan yang didirikan. Komplik antara kaum yang
beriman dengan golongan Zindik berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran sampai kepada komplik bersenjata yang
menumpahkan darah. Contoh komplik bersenjata, adalah gerakan Al Afsyin dan
Qaramithah.[14]
Pada saat gerakan ini mulai tersudut,
pengikutnya banyak yang berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak
aliran Syi’ah yang dipandang Ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh
penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik
Islam yang berhadapan dengan paham Ahlis Sunnah. Antara keduanya sering terjadi
komplik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al Mutawakkil misalnya,
memerintahkan agar makam Husein di Karbala dihancurkan. Namun anaknya, Al
Muntashir (861-862M) kembali memperkenankan orang Syi’ah menziarahi makam
Husein tersebut.
Komplik yang dilatar belakangi agama
tidak terbatas pada komplik antara muslim dan Zindik atau Ahlus Sunnah dengan
Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung
rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan Salaf. Perselisihan
antara dua golongan ini dipertajam oleh al Ma’mun khalifah ketujuh dinasti
Abbasiyah.[15]
Berkenaan dengan komplik keagamaan itu, Amir Ali mengemukakan: “Agama Muhammad
saw., seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapatmengenai soal-soal abstrak yang
tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir,
selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sangit
dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan
pengetahuan manusia……soal kehendak manusia……telah menyebabkan kekacauan yang
rumit dalam Islam……pendapat bahwa rakyat dan pemimpin agama mustahil berbuat
salah……menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.[16]
F. Ancaman dari Luar
Bahwa apa yang telah dikemukakan oleh
penulis terdahulu, adalah merupakan faktor-faktor internal. Disamping itu,
adapula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan
akhirnya hancur.
Pertama: Perang Salib yang
berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Kedua: serangan tentara Mongol ke
wilayah kekuasaan Islam, sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen
Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M)
mengeluakan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar
semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam.
Namun komunitas-komunitas Kristen Timur hanya Armenia dan Moronit Libanon yang
tertarik dengan perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.[17]
Akhir kekuasaan Abbasiyah ialah
ketika Bagdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan
656H/1258M. Ia adalah seorang saudara Ubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga
ke Asia tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk
mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina itu kepangkuannya lagi.
Bagdad dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah.[18]
Khalifah Bani Abbasiyah yang terkahir
dengan keluarganya Al Mu’tazim dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul
Hikmah dibakar dan dibuang ke Sungai Tigris sehingga berubahlah warna air
sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta
yang ada pada buku itu.[19]
Dapat dilihat bahwa Hulagu Khan selaku panglima tentara Mongol sangat membenci
Islam karena banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian.
Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu
dan diperkeras di kantong-kantong ahl al Kitab.
III. KESIMPULAN
Daulah Abbasiyah yang pernah berkuasa kurang lebih 524
tahun yang mulai menampakkan kemundurannya pada periode kedua ketika daulat
dipimpin oleh Mutawakkil. Kemunduran-kemunduran Daulah Abbasiyah disebabkan
oleh dua faktor penyebab yakni faktor
internal meliputi adanya praktek hidup mewah yang tidak mementingkan urusan
negara. Berdirinya dinasti-dinasti kecil, persaingan antara bangsa, kemorosotan
ekonomi, kompilk keagamaan, dan faktor eksternal yakni terjadinya perang Salib
ditandai dengan penyerbuan Hulagu Khan di Bagdad bersama dengan anti-anti Islam
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar